Beberapa kali saya mendapat pertanyaan itu. Tidak semuanya bernada dan bermaksud sama. Ada yang terdengar mencemooh. Ada yang minta konfirmasi. Namun ada juga yang mengamati, lalu coba menyimpulkan.
Di suatu siang yang terik pada awal tahun 1993-an, saya sedang menunggu bus di halte Slipi Jaya yang cukup ramai ketika seorang pemuda sebaya di samping saya bertanya dengan lirih, sedikit lemas, dan agak sinis: “Anda orang Kristen ya?” Saya, yang tidak menaruh pretensi apa pun pada pertanyaannya, menjawab dengan senyum riang: “Oh ya, benar. Ada apa, Mas?” Sesaat ia memandangi wajah dan penampilan saya. “Enak jadi orang Kristen ya, tidak perlu puasa segala… di agama Kristen tidak diajarkan puasa, kan?” tanyanya sambil tetap mengamati saya. Saat itu memang sedang bulan Ramadhan dan pemuda yang saya yakin Muslim ini pasti sedang berpuasa. Saya ingin langsung menanggapi pernyataannya, sebab saat itu sebenarnya saya sedang berpuasa Prapaska. Kebetulan waktunya bareng.
Namun saya segera teringat untuk tidak melakukannya. Karena itu saya hanya tersenyum dan memberi ucapan selamat: “Selamat berpuasa ya, Mas … semoga dilancarkan niat ibadahnya.” Saya kembali merenung apa yang membuatnya berpikir bahwa saya orang Kristen yang tidak berpuasa. Mungkin ia melihat penampilan saya yang segar dengan tatanan rambut rapi berminyak dan banyak menebar senyum kepada orang sekitar. Dan mungkin menurut dia, hal itu bukan ciri orang yang sedang berpuasa. Saya senang saja mendapat perhatian darinya. Semoga Tuhan memberkatinya.
Bukannya saya sok cool dalam berpuasa sehingga berpenampilan seperti itu, namun saya benar-benar menghayati pesan di Matius 6:16-18 ini: ”Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” Itulah yang menjadikan saya tetap berpenampilan segar, baik saat berpuasa maupun tidak. Biasa seperti sehari-harinya. Ah… penampilan itu memang untuk Bapa yang berada di tempat tersembunyi sana kok.
Bertahun-tahun sebelumnya … Di kedinginan malam kota Malang yang basah, saya kembali ke gereja, setelah menemani Bung Robby pulang ke rumahnya karena sakit. Malam sudah larut, karena itu Zus Coca, istri Bung Robby, meminta saya untuk naik becak saja. Waktu itu belum banyak angkot seperti sekarang, apalagi taksi atau ojek online. Saya naik becak dari depan gang rumah mereka. Hari memang sudah malam, becak pun hanya beberapa yang memangkal. Sebagian sedang mengantar penumpang untuk menggenapi setoran. Pengemudi becak yang saya naiki cukup tua dan tampaknya sudah mengantuk. Di jalan tanjakan menuju jalan Bromo, saya minta turun sejenak dan membantunya mendorong becak itu. Tiba-tiba ia bertanya: “Sampeyan Kristen ya?” Agak terkejut saya mendengar pertanyaannya. Alih-alih menjawab, saya malah balik bertanya: “Kok tahu?” sambil tetap ngos-ngosan mendorong becaknya. Ia tersenyum dan menjawab: “Hanya orang Kristen yang berlaku seperti Sampeyan.”
“Ya, Tuhaaan …,” seru saya dalam hati. “Dahsyat sekali cara-Mu meletakkan kebaikan dan kasih di hati anak-anak-Mu sehingga orang lain bisa mengenalinya sebagai pengalaman yang menunjukkan kehadiran-Mu melalui perbuatan yang sederhana, biasa, dan wajar.” Saya tercenung. Ternyata pengemudi becak ini mengamati, mencatat, menganalisis, dan menyimpulkan melalui pengalaman-pengalaman yang dijumpainya sehingga nama Allah dipermuliakan. Sesudahnya saya berpikir bagaimana kalau anak-anak Tuhan melakukan hal yang justru berbeda dan tidak menunjukkan jati diri mereka melalui tindakan dan perbuatan yang baik? Bagaimana orang-orang sekitar akan menilai Tuhan yang mereka imani? Nada apa yang dilontarkan ketika orang lain merespons perilaku mereka dengan bertanya: “Anda orang Kristen ya?”
Beberapa saat yang lalu saya bertemu dengan seorang bapak di halte busway dekat Alfamart Tanjung Barat. Songkok putih dan jenggotnya yang rapi membuatnya terlihat segar dan lebih muda dari usianya. Kami mengobrol tentang jalan yang sudah mulai berubah ramai sekali dengan adanya jalan layang dan tembusan jalan tol di sekitar daerah itu. Saya tanya apakah ia hendak ke Lebak Bulus juga? Ia menjawab, “Tidak.” Ia mengaku sebagai tukang pijat yang memangkal di halte bus, pangkalan taksi atau ojek online. Para pengemudi itulah pelanggannya. Namun karena hujan terus selama dua hari ini, ia jarang bertemu pengemudi ojek atau taksi yang berhenti di sana, sehingga belum mendapat pelanggan. Ia kemudian bertanya apakah saya punya air minum. Kebetulan saya membawa botol air minum di tas. Saya lalu berbagi dengannya. Karena saya berpikir bahwa saya akan segera sampai di kantor dan bisa mengisi kembali botol itu, saya berniat memberikan sebagian besar air itu kepadanya. Namun setelah separo isi botol saya tuang ke botolnya, ia mencegah saya untuk meneruskannya dengan mengatakan sudah cukup. Ia mengucapkan terima kasih sambil mengundurkan mulut botolnya, lalu dengan sangat antusias mereguk air itu.
Lalu ia melanjutkan ceritanya bahwa sudah dari semalam ia tidak minum karena uangnya tidak cukup untuk membeli air mineral: “Tinggal 2 juta!!!” selorohnya sambil menunjukkan selembar uang duaribuan yang dilipat empat. Ia menjelaskan bahwa ia juga tidak bisa dengan gampang memutuskan untuk pulang karena rumahnya berada jauh di luar Bogor sana. Tanpa berpikir panjang saya berikan kepadanya uang 20 ribuan yang ada di saku baju sambil berpesan: “Untuk sarapan bubur sekadar mengganjal perut, Pak.” Ia terkejut dan berusaha menolak uluran tangan saya. Namun saya jelaskan bahwa melawan kondisi dingin dengan perut kosong bisa sangat berbahaya. Akhirnya ia menerima dan mengucapkan terima kasih.
Obrolan kami berlanjut. Ia menanyakan kantor dan pekerjaan saya. Saya terangkan secara singkat apa itu konsultan SDM dan pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan. Ia menyimak, bertanya, dan menebak bahwa penghasilan saya pasti besar. Saya menjawab bahwa semuanya itu relatif. Saya beri gambaran kepadanya bahwa kalau ia memijat orang, ia pasti dibayar, tapi kadang-kadang saya bisa memberikan jasa dengan gratis. Kalau selama 2 hari ini ia tidak mendapat pelanggan, kadang-kadang saya bisa 3 bulan atau lebih tidak menemukan perusahaan yang memerlukan atau menggunakan jasa saya … jadi ya tidak ada penghasilan. Intinya saya katakan bahwa kadang-kadang kita memandang ‘rumput di halaman rumah tetangga selalu lebih hijau’ padahal kalau mau diselami, semuanya sama saja menurut takarannya masing-masing.
Tiba-tiba ia menyeletuk: “Anda orang Kristen ya?” Dengan senyum antusias saya mengangguk mengiyakan. Ia memandangi wajah saya dengan senyum mengembang hingga saya bertanya kepadanya: “Kenapa Bapak bertanya begitu?” Sambil tetap tersenyum ia menjawab: “Anda cepat akrab, hangat, spontan, dan baik hati.” Agak rikuh juga saya mendapat apresiasi dan pujian darinya. Saya segera menyahut: “Orang baik itu kan biasa, Pak. Fitrah manusia itu kan demikian. Agama mengajar orang untuk berperilaku dan berbuat baik dalam hidupnya… Saya itu malah heran kalau ada orang yang jahat kepada sesamanya. Kok bisa-bisanya begitu? Apakah dia tidak pernah mendengar ajaran dan perintah Tuhan ya?” Kali ini ia tertawa sambil berkata: “Kita sama-samalah. Semua agama mengajarkan kebaikan. Saya nggak fanatik. Kerja saja yang jujur dan baik, mencari rezeki buat anak-istri. Rezeki bisa datang dari mana saja.” Saya tertawa mengiyakan. Ketika bus yang saya tunggu-tunggu telah terlihat dari jauh, saya segera berdiri dan melangkah ke jalan diikuti bapak itu yang sambil tetap tersenyum berucap pelan: “Terima kasih untuk semuanya ya … Orang Kristen memang beda!”
Mak dheg atiku! Sekali lagi nama Tuhan dipermuliakan. Terima kasih telah beroleh kesempatan baik yang tidak memalukan-Mu, Tuhan. Dari pintu bus saya bertanya kepadanya: “Maaf, nama Bapak siapa?” Dia tertawa sambil melambaikan tangan: ”Rahman!”
Sujarwo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.