Pak Pendeta yang baik,
Bapak Pendeta yang baik,
Mohon penjelasannya untuk beberapa hal yang masih membingungkan saya:
- Bukankah semua baptisan Kristen dilakukan dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus? Dengan demikian seseorang yang sudah pernah dibaptis di gereja manapun tidak perlu lagi dibaptis lagi, bukan?
- Saya masih melihat praktIk pembaptisan ulang di gereja tertentu dengan alasan yang menurut saya tidak alkitabiah tapi semata-mata karena kurang mantap/memuaskan pelaksanaan awalnya. Bagaimana Pak Pendeta menyikapi praktik yang demikian?
- Banyak orang yang melakukan wisata ziarah ke Israel dengan pemandu pendeta dari Indonesia. Meskipun rata-rata mereka sudah pernah dibaptis, tetapi banyak yang kemudian minta dibaptis ulang di sungai Yordan. Bagaimana tanggapan pak Pendeta terhadap hal ini?
- Saya pernah mendengar bahwa Pendeta GKI Pondok Indah juga pernah membaptis ulang seseorang yang sudah pernah dibaptiskan sebelumnya. Benarkah demikian? Jika benar, apa alasan pembaptisan ulang ini?
- Apa sikap GKI Pondok Indah secara umum terhadap pelaksanaan pembaptisan seseorang dengan berbagai kondisinya?
Maaf pertanyaannya terlalu banyak. Namun saya benar-benar serius mau belajar. Terima kasih atas perkenan Pak Pendeta menjawab pertanyaan saya dan memberikan pencerahan kepada saya.
(Iswandi Raja)
Jawab:
Pak Iswandi yang baik, sungguh senang jika jemaat, di tengah kesibukan mereka, masih ingin belajar. Semoga makin banyak warga jemaat yang punya kerinduan sama seperti Bapak. Saya akan menjawab pertanyaan Bapak, tapi tidak mengikuti urutan pertanyaan yang Bapak ajukan. Semoga tetap dapat menjawab semua.
Baptisan adalah respons iman kita atas anugerah keselamatan yang Allah sudah nyatakan melalui pengorbanan Kristus di kayu salib. Dengan dibaptiskan, kita menyatakan pengakuan kita atas anugerah keselamatan tersebut dan masuk dalam persekutuan dengan Allah Trinitas yang sudah menyelamatkan kita. Nah, apakah sebuah pengakuan dan tindakan masuk ke dalam persekutuan dengan Allah Trinitas itu bisa terjadi berulang-ulang? Tentu tidak. Karena itu baptisan cukup berlangsung satu kali dan selamanya. Agak berbeda dengan Perjamuan Kudus yang konteksnya adalah ‘mengingat’. Perjamuan Kudus juga sebuah respons iman atas karya keselamatan yang Allah sudah lakukan, namun dalam konteks ‘mengingat’ kita justru harus melakukannya berulang-ulang.
Lalu apa yang terjadi jika kita dibaptis ulang? Berarti kita tidak mengakui baptisan kita yang pertama. Lalu, apa artinya pengakuan iman kita yang lalu itu? Kita juga tidak mengakui bahwa kita sudah masuk ke dalam persekutuan dengan Allah Trinitas. Nah, selama ini kita dalam persekutuan dengan siapa? Baptisan ulang adalah sebuah kesalahan yang terkadang maknanya tidak kita sadari. Kita hanya tertarik pada ‘pengalamannya’, tetapi lupa bahwa tindakan itu salah maknanya. Misalnya waktu kita ikut tur ke Israel lalu minta dibaptis di sungai Yordan. Kita hanya ingin pengalamannya, tetapi lupa bahwa maknanya bisa keliru.
Persoalannya, rumusan baptisan dan tata cara baptisan itu berbeda-beda. Dari sisi gereja, pengajaran tentang baptisan adalah sesuatu yang penting. Karena itu ketika rumusan baptisan dan/atau tata cara baptisannya tidak sama dengan yang lazim berlangsung di tempat gereja itu, maka artinya juga bisa berbeda. Misalnya, ada rumusan baptisan yang bunyinya demikian: ‘Dibaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus yang adalah Yesus Kristus’. Nah, rumusan seperti ini menimbulkan persoalan teologis, apakah Allah Trinitas itu sama dengan Yesus Kristus? Dengan alasan itulah gereja tersebut lalu memberlakukan baptisan ulang.
Ini memang masalah yang sulit. Di satu sisi gereja harus mempertahankan ajarannya, dan di lain sisi—dari sisi orang yang dibaptis—mungkin ia tidak berpikir sejauh itu. Baginya, ia menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya dan bergabung dalam satu gereja, itu saja. Haruskah ia dibaptis ulang? Sebagai awam ia tidak menyadari adanya rumusan atau tata cara yang berbeda dan keliru. Baginya, Allah di dalam Yesus sudah menyelamatkannya dan membawanya bergabung dalam satu gereja-Nya. Lalu bagaimana jika ia pindah gereja dan gereja yang baru itu meminta agar ia dibaptis ulang? Mestinya ia tetap mempertahankan baptisan awalnya dan jangan mau dibaptis ulang. Lalu bagaimana jika kemudian disadari bahwa rumusan baptisannya itu keliru? Haruskah ia bersedia dibaptis ulang atau cukup mengaku percaya saja sesuai dengan keyakinan yang ada di gerejanya yang baru? Semua kembali kepada keyakinan orang tersebut. Ia berhak menolak dibaptis ulang (dengan risiko tidak diterima sebagai anggota) atau ia bersedia dibaptis ulang dengan kesadaran bahwa baptisan yang ia terima pada masa lalu itu keliru.
Nah, sekarang dari sisi GKI, atau lebih spesifik GKI Pondok Indah: Pada dasarnya GKI adalah gereja ekumenis yang bersifat terbuka. Dalam konteks baptisan, keterbukaan GKI tampak dari kesediaannya menerima anggota dari gereja yang tata cara baptisnya berbeda dengan GKI tanpa harus dibaptis ulang (meskipun ketika anggota GKI pindah ke sana harus dibaptis ulang). Namun keterbukaan GKI bukanlah keterbukaan yang seluas-luasnya. Segala sesuatu ada batasnya juga. Salah satunya adalah rumusan baptisan. Kalau tata cara pada umumnya tidak terlalu masalah (kecuali aliran tertentu yang tidak menggunakan air). Namun kalau rumusan baptisan, bagi GKI ini hal yang penting. Jika rumusan baptisannya keliru (seperti contoh di atas), GKI—lebih spesifik GKI PI—memberlakukan baptisan ulang. Memang ini pilihan yang sulit di tengah keterbukaan GKI dan kesadaran GKI bahwa baptisan itu berlangsung satu kali untuk selamanya. Jika tidak dibaptis ulang, maka anggota tersebut harus mengaku percaya atas rumusan baptisan yang diterima GKI. Padahal, pengakuan percaya di GKI hanya berlaku untuk konfirmasi atas baptisan anak yang sudah diterima, jadi jika diterapkan pada kasus ini tidak sepenuhnya benar. Dalam menghadapi 2 pilihan ini (dibaptis ulang atau mengaku percaya saja) GKI PI lebih memilih melakukan baptisan ulang. Jadi, benar GKI PI pernah melakukan baptisan ulang dengan alasan rumusan baptisan yang sebelumnya tidak seperti yang diterima GKI.
Bagi saya, 2 pilihan ini (dibaptis ulang atau mengaku percaya saja) sama-sama punya keterbatasan tetapi juga sama-sama dapat dipilih. Namun yang namanya pilihan hanya satu, kan? Nah, GKI PI sudah menentukan pilihannya untuk melakukan baptisan ulang ketimbang mengaku percaya saja. Sebuah pilihan yang sulit namun apa boleh buat demi tegaknya ajaran GKI.
Demikian jawaban saya, semoga menjawab semua pertanyaan Anda.
>> Pdt. Rudianto Djajakartika
1 Comment
Lasni Woka
Desember 14, 2020 - 5:39 amSaya dari Gereja Kristen Sulawesi tengah, saya penerima babtisan percik dan sejak kecil….dan pengajaran soal babtisan ulang saya sependapat, GKST menghargai setiap babtisan dan mempercayai bahwa babtisan hanya sekali seumur hidup….
Menjadi pergumulan saya, hari ini video bapak Pendeta Gilbert Lumoindong, menyinggung soal babtisan dan.saya sangat protes…disampaikan di ruang publik, apakah itu bukan penyesatan, karena bisa mengombang qmbingkan iman orang percaya tentang babtisan….mohon penjelasannya