Beberapa tahun terakhir, diaspora menarik perhatian banyak negara untuk dimanfaatkan. Kata “diaspora” dalam bahasa Ibrani adalah tefutzah, yang artinya: bebas tersebar, sebagai dampak pembuangan di Babel pada tahun 597 SM. Pada zaman perbudakan kekaisaran Romawi, orang Yahudi tersebar ke seluruh dunia setelah negara Yudea bubar. Pada tahun 1948 terbentuk negara Israel, namun orang Yahudi masih banyak tersebar di berbagai negara. Pada tahun 2005, sebanyak 5.235.000 orang Yahudi telah kembali ke Israel; sisanya tersebar antara lain di USA 5,2 juta, Uni Sovyet 1 juta, Prancis 494.000, Argentina 395.000, Kanada 372.000 dan Inggris 298.000. Israel menjalin hubungan sangat erat dengan diasporanya dan telah lama jaringan ini dimanfaatkan untuk menunjang program pembangunan serta memperbaiki citra bangsa dan negara Israel. Selain orang Yahudi, penyebaran penduduk dunia lainnya juga makin meningkat. Saat ini diaspora Tionghoa tercatat paling banyak (42,5 juta) dan tersebar merata dihampir seluruh pelosok dunia.Warga Afrika, termasuk Pan Afrikanis/Afrosentris, bangsa Negro, dan Kaukasoid hitam, mulai membuat jaringan dalam menyatukan aspirasi kehidupan mereka.
Perantauan masyarakat Indonesia diawali pada abad ke-15, ketika orang Minangkabau menyebar ke Malaysia dan Singapura. Pada abad 19 dan 20, ribuan suku Jawa dikirim Belanda ke Suriname dan Kaledonia Baru. Etnis Tionghoa banyak menyebar ke pelosok dunia, setelah terjadi berbagai kerusuhan pada tahun 1962, 1965, 1978 dan terakhir 1998. Alasan yang digunakan untuk merantau, antara lain: menuntut ilmu, mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih layak, aman dan nyaman. Saat ini terdapat 6-9 juta warga Indonesia yang masuk kategori diaspora, tersebar di 26 negara. Banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri setelah lulus berkarya dan berkeluarga—bahkan setelah statusnya legal sebagai penduduk—menerbitkan petisi untuk menarik orangtua mereka menetap di negara tersebut. Hal ini terjadi beberapa puluh tahun lalu di Amerika Serikat. Namun saat ini, dengan mahalnya biaya pendidikan di sana (USD 65.000/tahun) untuk mahasiswa luar negeri, maka orang lebih mengincar negara lain yang lebih murah, terutama Jerman yang gratis. Menjadi perantau/diaspora yang baik, adalah bisa hidup membumi dengan keadaan/masyarakat setempat, belajar menguasai bahasa dan budaya setempat, serta tidak membuat kegaduhan dan mengunggulkan bahasa, budaya dan agama sebagai pendatang.
Saat reformasi politik dan ekonomi dimulai, Tiongkok secara masif menarik para ilmuwan dan pemilik dana/usaha diasporanya dengan memberikan insentif dan tawaran yang sangat menarik agar mereka kembali ke negeri asal mereka. Di banyak negara, 2-5% penduduk mereka merupakan diaspora Tionghoa. Perhitungan ini bukan didasarkan status negara, melainkan kebudayaan, dengan penegasan bahwa sepanjang seseorang memiliki nama dalam bahasa Mandarin, maka ia dianggap diaspora Tionghoa. Berpedoman hal ini, Tiongkok memasang target untuk melipatgandakan kembalinya diaspora Tionghoa dalam sepuluh tahun mendatang.
Suatu hari saat saya mengantar cucu berlatih renang, saya diajak seorang kakek dari Makassar untuk sarapan di aula belakang supermarket Hongkong di Houston Tx. Ia menjelaskan bahwa sarapan itu gratis dibiayai oleh Konsulat Tiongkok dan diadakan seminggu 3 kali untuk semua orang yang berdarah Tionghoa, tanpa memandang negara asal mereka.Menurut dia, semua bisa hadir tanpa perlu bisa berbahasa Mandarin, bahkan dikatakannya bahwa Tiongkok sedang mempertimbangkan memberi kartu pengenal diaspora Tionghoa untuk setiap orang yang memiliki darah dan/atau nama Tionghoa dalam rangka perlindungan umum. Saat ini, 80% kegiatan ekonomi di negeri Tiongkok dipegang swasta, sedangkan untuk operasi luar negeri, 80% dikuasai BUMN dengan dukungan diaspora. Foreign Direct Investment (FDI) Tiongkok saat ini dilakukan oleh investor diasporanya.
Langkah Tiongkok ini menarik perhatian negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menyelenggarakan kongres diaspora enam tahun lalu dan hasilnya membentuk Indonesian Diaspora Network (IDN). Saat sebelum reformasi, hubungan diaspora Indonesia dengan para pejabat di Kedutaan/Konsulat sangat kaku dan seolah-olah pejabat memiliki derajat lebih tinggi daripada masyarakat umum. Saat ini hubungan tersebut sudah mencair dan banyak masyarakat Indonesia di luar negeri merasa diperhatikan dan sering hadir dalam pertemuan/pesta yang diselenggarakan oleh pejabat luar negeri Indonesia.
Dalam pemerintahaan Jokowi-JK saat ini, peranan diaspora makin diperhatikan. Pada tanggal 3 Agustus 2017, terbit Peraturan Presiden RI (Perpres) no.76 tahun 2017 tentang Fasilitas bagi Masyarakat Indonesia di Luar Negeri. Dalam rangka memberdayakan/meningkatkan pembangunan, diaspora diberi kartu indentitas KMILN dengan kemudahan/fasilitas sebagai berikut: dapat membuka rekening di bank umum, bisa memiliki properti, dan bisa mendirikan badan usaha di Indonesia. Status KMILN disamakan dengan Kartu Penduduk/Kartu Keluarga dan tidak perlu lagi izin kerja dan izin tinggal. Bagi diaspora Indonesia, hal ini cukup menarik. Mereka hanya masih perlu mempertimbangkan hal lain, seperti masalah perpajakan ganda atau prosedur yang lebih terinci, termasuk izin kerja dan izin tinggal. Juga masih ada keinginan untuk mendapatkan status dwikewarganegaraan, seperti telah dilakukan 44 negara bagi diaspora mereka. Khusus masalah keimigrasian, masih ada keraguan tentang ketetapan untuk diaspora yang sudah melepas paspor WNI-nya terkait dengan Peraturan Pemerintah no.26 tahun 2016 tentang KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) dan KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap). Kebanyakan diaspora Indonesia berstatus karyawan, tenaga profesional, dan hanya sedikit sebagai pengusaha, apalagi pengusaha global. Saat saya berjumpa dengan Oom Liem beberapa puluh tahun lalu di Los Angeles, beliau berkata: “Lebih mudah dan cepat berhasil berusaha di Indonesia, karena ibarat memancing, di Amerika dilakukan di lautan luas dengan ombak ganas dan peralatan/modal canggih, sebaliknya di Indonesia dilakukan di danau yang sederhana, tetapi ikannya masih banyak.”
Saat ini makin banyak diaspora manula yang hanya melayani cucu dan hidup terbatas di rumah, karena keterbatasan dana dan tenaga untuk melakukan wisata. Hidup para manula di Indonesia masih bisa lebih nikmat, karena semua serba irit/murah, termasuk berwisata di bumi Nusantara.
Diaspora harus dapat hidup membumi dengan bahasa, budaya dan masyarakat setempat. Jangan bersikap ekslusif, mengunggulkan bahasa, budaya dan agama sebagai pendatang. Tuhan ingin agar manusia menghargai kehidupan di mana pun dia berada dan tetap ingat dan percaya kepada-Nya. Jangan membenci, iri hati, berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jadikan kehidupan itu suci, jangan terlalu senang dan bermewah-mewahan. Tetaplah rendah hati, hidup sederhana, serta menghargai dan mengasihi sesama manusia, seperti kita mengasihi diri kita sendiri.
» Harry Tanugraha
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.