Smartphone Belahan Jiwa
Inovasi teknologi, khususnya di bidang komunikasi visual, sangatlah dahsyat, karena menghasilkan produk-produk perangkat komunikasi dengan kecanggihan fitur dan akses yang sederhana, mudah, dan makin murah. Hal yang dianggap beberapa waktu yang lalu sebagai barang mewah, kini sudah lazim dimiliki semua orang, hingga kepada mereka yang dalam tugas dan aktivitas keseharian tidak dituntut memiliki, menggunakan, dan diperlengkapi dengan hal itu. Contoh yang paling umum adalah ponsel pintar (smartphone).
Tidak terbatas usia, profesi, lokasi, gender, dan status, hampir semua orang memiliki, atau setidaknya menggunakan ponsel pintar. Gawai ini tidak sekadar digunakan untuk menelepon, menelusuri (searching) hal yang sedang dibutuhkan, menulis atau mencatat hal-hal yang penting, dan membarui informasi terbaru sesuai tuntutan profesi, tapi malah ‘memaksa’ orang untuk menelepon meski sebenarnya tidak perlu dilakukan, hanya karena gawai itu ada di genggaman dan bisa dipergunakan. Menelusuri sesuatu bukan karena butuh, melainkan karena asyik menikmati kecanggihan mesin telusurnya (search engine), menulis dan mengirim hal-hal remeh temeh supaya bisa eksis di media sosial, atau menonton apa pun yang tersuguh, dan bukan yang dibutuhkan.
Menurut sebuah penelitian, rata-rata orang menggunakan ponsel pintar 4 jam sehari. Jika diasumsikan waktu yang digunakan untuk tidur adalah 8 jam, bekerja dan berkomunikasi langsung dengan orang lain 8 jam, serta perjalanan dan kegiatan rutin lain termasuk makan butuh waktu 2 jam, berarti lebih dari dua pertiga waktu luangnya adalah untuk ber-smartphone ria. Padahal kenyataan yang kita amati jauh lebih ekstrem dari data itu.
Ponsel pintar membuat kita tergantung dan bodoh. Gawai ini mendekatkan teman-teman yang jauh, tapi sekaligus menjauhkan teman-teman yang dekat, bahkan keluarga dan persekutuan pribadi kita. Untuk berpergian ke suatu tempat, kita tidak begitu resah jika ketinggalan dompet atau buku catatan, asal jangan ponsel pintar. Bahkan demi tujuan praktis, orang mengunduh apapun ke gawainya untuk memudahkan penggunaannya apabila suatu saat diperlukan. Alkitab, kidung pujian, konkordansi, dan kamus yang diunduh memang sangat memudahkan penggunaannya. Namun demikian orang sering lupa membawa KTP, SIM, NPWP, paspor, atau kartu kredit yang tidak kalah pentingnya. Kita menjadi bodoh.
Pengaruh Perkembangan Teknologi pada Anak
Inovasi teknologi yang tidak terbendung dan menyediakan aneka ragam fasilitas bermain bagi anak-anak, membuat mereka tidak lagi tertarik pada family altar dan hal-hal yang rohani. Mereka lebih memilih game yang disukai ketimbang yang lain, bahkan orang lain, termasuk orangtua dan saudara-saudara mereka. Sekalipun sedang berada di suatu tempat bersama-sama, mereka tidak bermain bersama, hanya sama-sama bermain dengan gawai mereka masing-masing.
Menurut hasil riset, anak-anak yang kecanduan game akan makin mencari game yang lebih kompleks dan tidak lagi puas dengan yang gratis, sehingga harus membeli. Hal ini menjadi masalah baru bagi orangtua yang menginginkan anaknya tumbuh normal dalam pergaulan dan komunikasi dengan sesamanya. Ketika keasyikan anak menarik diri ke dalam game sudah menjadi beban bagi orangtuanya, ditambah lagi orangtuanya harus membiayai kegiatan yang makin menjauhkan anaknya dari pergaulan, komunikasi, dan interaksi dengan sesamanya, orangtua merasa tertekan, baik secara moril maupun materiil. Namun demikian, tidak sedikit orangtua yang justru menganggap hal ini sebagai suatu kebaikan dalam menunjukkan kasih sayang kepada anak. Yang terpenting, anak itu tidak mengganggu kegiatan dan keasyikan orangtuanya, yang ternyata juga keranjingan gawai pada aplikasi dan aktivitas lainnya.
Anak yang keranjingan gawai, sulit sekali menjauhkan pandangan dari aktivitas online. Seolah-olah ada yang hilang bila mata dan perhatiannya sejenak teralihkan dari gawainya. Ia menjadi gelisah, terburu-buru, dan tidak fokus melakukan hal lainnya, jika tidak ada gawai di sisinya. Makan, belajar, kebaktian keluarga, dan bermain menjadi hal yang menggelisahkan baginya bila tangannya tidak menggenggam gawai. Akhirnya pemandangan yang tidak selayaknyalah yang sering kita saksikan di sekitar kita ketika anak belajar, ikut kebaktian, bahkan bermain dengan menggenggam dan mengoperasikan gawainya.
Non Critical State of Mind
Otak tidak lagi bekerja seperti biasanya. Karena game sifatnya berburu dengan waktu dan harus menang, maka anak-anak terbentuk menjadi pribadi yang cenderung ingin menjadi unggul dengan mengalahkan lawan-lawan mereka. Tidak ada konsep menang bersama, apalagi berkorban menolong orang lain yang membutuhkan. Semua harus dalam waktu yang cepat, bahkan kalau perlu menghalalkan segala cara. Bagaimana kalau upaya mereka untuk menang dalam game gagal di tengah jalan? Gampang, tinggal reset, lalu mulai lagi. Tidak ada pembelajaran untuk bangkit dari kekalahan atau kegagalan. Semuanya serba instan. Mereka tidak terbiasa atau tidak pernah mendapat pelajaran bagaimana berjuang untuk bangkit dari kejatuhan.
Anak-anak menjadi rentan dan rapuh. 90% anak yang kecanduan gawai tidak lagi bisa konsentrasi dalam pelajaran karena fokus mereka terganggu untuk terus bermain di dunia maya itu. Keinginan untuk membantu pekerjaan di rumah hampir tidak ada, karena hal itu berarti meninggalkan aktivitas bersama gawai mereka. Mereka menjadi tukang marah, karena tuntutan untuk bersosialisasi dan bersentuhan dengan lingkungan hidup mereka berarti mengganggu aktivitas bergawai ria mereka.
Lalu bagaimana sikap orangtua menghadapi kenyataan itu? Mereka yang tidak peduli pada ekses kecanduan ini tidak terlalu mempermasalahkannya, bahkan tidak melihatnya sebagai masalah. Yang lebih parah lagi, mereka justru bangga melihat si anak terlibat dalam aktivitas kekinian, bahkan sering membangga-banggakannya manakala anak itu dianggap sangat piawai dan mengerti banyak hal tentang perangkat dan aktivitas modern ini. Kebanggaan ini bukan karena hal itu berguna dan menunjang upaya keberhasilannya dalam kehidupan dewasanya kelak, melainkan lebih banyak merupakan ekspresi atau lebih tepatnya kompensasi dari ketidakmampuan orangtua mengoperasikan atau memiliki perangkat tersebut pada masa muda mereka.
No Gadget Anymore!
Di sisi lain, ada banyak pihak yang, ketika mulai mengerti ekses gawai bagi anak-anak yang terlalu dini menguasai perangkat itu, jatuh pada sebuah sikap dan keputusan ekstrem untuk melarang, mencabut, meniadakan, menjauhkan, dan mengharamkan anak-anak mereka bersentuhan dengan perangkat modern ini. No gadget anymore!
Benarkah sikap dan keputusan ini? Banyak pihak membenarkan tindakan ini dengan alasan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Melihat eksesnya yang begitu menakutkan, mending menjauhkan anak-anak dari gawai agar tidak menjadi korban.
Tapi, tunggu dulu. Sepertinya ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk tidak mengambil sikap ekstrem seperti itu. Anak-anak perlu mengenal gawai. Mengapa? Ini adalah era informasi digital di mana gawai merupakan alat yang digunakan dalam segala segi kehidupan dan pengembangan diri. Menjauhkan anak-anak dari pengenalan akan gawai akan menjauhkan mereka dari perkembangan peradaban, pengetahuan, dan teknologi. Membuat anak-anak seperti manusia purba di belantara modern yang sarat dengan penggunaan alat-alat bantu yang memudahkan kehidupan dan interaksi dengan sekeliling serta jejaring mereka. Memarginalkan peradaban anak.
Yang menjadi masalah sebenarnya bukan kemajuan teknologi, kemudahan akses, kecanggihan perangkat, dan melimpahnya fasilitas, melainkan penggunaan yang tidak bijak. Kelonggaran batasan penggunaannyalah yang menjadi sumber ekses buruk gawai.
Perkembangan Teknologi dan Dunia Masa Depan Anak
Ke depannya, dunia akan dipenuhi dengan gawai dan perangkat yang jauh lebih modern dari ponsel pintar dan game online untuk memenuhi harkat hidup manusia modern yang lebih simpel, cepat, cerdas, inovatif, detail, akurat, dan otomatis.
Lihat saja google glass, sebuah perangkat laksana kacamata, yang langsung dapat mengakses informasi digital tanpa bantuan alat lain lagi dan mampu bertukar informasi dengan pihak lain. Juga kemunculan 3D printer yang akan menyederhanakan proses produksi komponen-komponen khusus secara manufaktur, sehingga meniadakan rantai pasokan yang panjang. Robot-robot canggih yang akan berdampingan, atau bahkan menggantikan fungsi manusia untuk menghasilkan angka keselamatan kerja, keakuratan, dan kecepatan produksi yang tinggi. Peran drone secara efektif dalam melakukan distribusi barang pada jaringan logistik jarak pendek. Juga pilihan langkah untuk menggunakan jaringan internet sebagai sarana komunikasi, administrasi, pemesanan, pembayaran, pembelian dan transaksi yang lain. Pendeknya segala hal yang bisa dilakukan dengan internet akan diinternetkan. Internet of Things.
Semuanya tidak terlepas dari pengenalan dan penggunaan perangkat modern yang terus berkembang. Bisa dibayangkan akibatnya apabila anak-anak dijauhkan dan diharamkan bersentuhan dengan gawai dan teknologi digital yang terus berkembang dan dikembangkan. Di mana tempat mereka di era digital yang memanfaatkan gawai di segala segi kehidupan mereka nanti. Melalui internet juga terbuka kesempatan besar untuk dapat belajar, bahkan secara gratis, dari universitas-universitas terkemuka di seluruh dunia yang menyediakan konektivitas bagi pengguna internet yang mempunyai minat untuk belajar, mengembangkan diri, dan berupaya keluar dari keterbatasan mereka.
Menyikapi Secara Bijak
Jadi bagaimana sebaiknya orangtua bersikap menghadapi dua tantangan besar yang saling bertolak belakang dampak dan eksesnya ini? Yang terpenting adalah mampu menyikapi fenomena ini secara bijak. Tidak saja melihat dari satu sisi. Dampak dan ekses yang ditimbulkannya adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi. Bagaimanapun dibutuhkan sebuah pemahaman bahwa anak-anak perlu tahu dan kenal dengan gawai. Hanya saja semuanya harus diselenggarakan secara sadar (dampak atau eksesnya) dan terkontrol (dalam pengawasan dan bisa diatur secara kesepakatan).
Bijak Menggunakan Teknologi
Anak-anak juga perlu diberi pemahaman bahwa teknologi dan perangkatnya adalah sekadar alat bantu, sarana pelengkap, dan bukan pengganti manusia-manusia sesama kawan untuk berelasi dan berinteraksi serta bersosialisasi. Karenanya perlu bijak dalam menggunakan teknologi. Menggunakan teknologi secara proaktif adalah sebuah keharusan. Teknologi dipergunakan sesuai dengan tujuan yang dirancang dan direncanakan, bukan sebaliknya hanya menjadi pengguna pasif/penikmat dari aplikasi yang disediakan, tanpa punya tujuan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan berguna. Perlu terus belajar dan menguasai teknologi dan mampu bersikap kritis terhadapnya, sehingga tidak menjadi korban tren pengguna versi-versi baru yang terus menggempur dalam waktu yang cepat.
Teknologi seyogyanya dipergunakan untuk membangun ikatan, menguatkan jaringan, serta berelasi dengan baik dan efektif dalam mencapai keseimbangan hidup antara penggunaan teknologi dengan interaksi antar sesama manusia.
Aturan-Komitmen-Konsekuensi
Bagaimana meyakinkan diri agar anak-anak dapat menggunakan teknologi secara bijak dan aman dari tindak indisipliner maupun jebakan pornografi, judi, sadisme, serta hal-hal lain yang tidak dikehendaki, yang dapat merusak persepsi dan serapan nilai yang tidak sesuai dengan norma agama dan sosial pada umur mereka yang masih belia? Ada baiknya disepakati sebuah aturan yang menuntut komitmen orangtua dan anak untuk secara konsekuen mematuhi, menjalankan, mengawasi, dan membimbing pelaksanaannya.
Meletakkan perangkat yang bisa melakukan akses internet di ruang terbuka (bukan di kamar anak) akan membuat kesan terawasi meskipun tidak ada mata yang langsung memandang ke arahnya saat itu. Anak akan tertolong untuk lebih berhati-hati dan dipupuk kebanggaannya untuk berlaku jujur tanpa diawasi. Membentuk integritas. Lebih aman dan akan sangat membantu anak apabila juga digunakan parental lock.
Kesepakatan akan batasan penggunaan juga akan membantu mendisiplinkan anak dalam mengerem kecanduannya melalui pengurangan aktivitasnya di depan gawai atau perangkat yang lain. Kesepakatan ini akan lebih berdaya guna lagi apabila disertakan konsekuensi di dalamnya. Anak diajar untuk melakukan atau tidak melakukan aktivitasnya secara terhormat melalui sebuah kesepakatan di mana ia turut menentukannya, dan bukan karena peraturan, ancaman, atau kekuasaan orangtua. Dengan demikian hukuman yang timbul karena pelanggaran kesepakatan bisa dianggap sebagai sebuah konsekuensi yang menimbulkan efek jera dan bukannya penindasan atau kesewenang-wenangan kekuasaan.
Di atas semuanya, tetaplah melakukan pendampingan dan pembimbingan karena bagaimanapun anak-anak tetaplah dengan jiwa dan pemikiran anak-anak yang sering kurang berpikiran jauh ke depan. Asal menyenangkan, kenapa enggak, meskipun efek jangka panjangnya akan sangat buruk. Orangtua perlu menyediakan waktu dan perhatian agar anak tidak menjadi korban dari keterbatasan pemahaman usia mudanya.
Tidak berhenti sampai di situ. Pada waktu melakukan pendampingan, secara berkala perlu juga dilakukan evaluasi sebagai kesempatan untuk memberikan pujian, motivasi, dan dorongan untuk makin lama makin baik melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat. Ini momen yang tepat untuk saling membangun kepercayaan. Orangtua bangga akan keberhasilan anaknya untuk berdisiplin, dan anak senang dan merasa dihargai karena orangtuanya mengetahui bahwa ia bisa dipercaya. Interaksi yang lebih baik akan lebih mudah dibangun di atas dasar ini.
Dituliskan kembali dari materi workshop dengan judul: “GADGET BAGI ANAK, BIJAKKAH?” – sebuah strategi menyikapi pola pendidikan di era digital-disampaikan pada Bulan Keluarga GKI Maulana Yusuf Bandung – 2015 dan Bulan Keluarga GKI Delima Jakarta – 2016
>> Sujarwo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.