Ini terjadi pada suatu hari di keluarga saya.
Pagi-pagi menjelang berangkat sekolah, anak saya Joshua mengatakan bahwa angin badai di Houston dan sekitarnya makin besar. Ia membaca beritanya di aplikasi online yang memuat beragam informasi berbasis video. Pagi itu juga, saya melihat istri saya mengirim dokumen melalui layanan kirim Gojek. Ketika saya mengantar anak-anak saya ke sekolah, anak saya Kinanti menyiapkan lagu-lagu yang akan dipasang di mobil dengan aplikasi Spotify, bukan mendengar musik dari radio; sedangkan saya sibuk membuka berbagai aplikasi berita di portal-portal berita sambil mengganti-ganti saluran TV berbayar.
Malam harinya, saya melihat bahwa selain menu masakan yang memang sudah diminta untuk disiapkan di rumah, mbak yang bekerja di rumah kami menambah menu masakan. Ketika ditanya dari mana ia tahu resepnya, ia berkata bahwa ia melihat resep itu di internet.
Hari masih belum berakhir ketika teman kami datang ke rumah dengan menggunakan taksi online, dan sudah bukan lagi taksi-taksi bermerek tertentu. Sambil bercanda ia berkata bahwa mobilnya setiap hari ganti. Bukan karena ia tidak ada mobil di rumah, melainkan semata-mata karena alasan praktis dan nyaman.
Hidup memang jadi lebih mudah dengan bantuan teknologi. Mau makan dan minum, tinggal pesan, lalu diantar. Mau keluar rumah tinggal pesan, dan ada kendaraan yang datang dan siap mengantar kita. Mau mengobrol dengan teman pun tidak usah bayar mahal pulsanya, tinggal telepon dengan fasilitas free call. Ini tidak berhenti sampai di sini saja.
Makin hari, makin banyak aplikasi teknologi yang ditawarkan. Semuanya hadir untuk membantu dan memudahkan setiap anggota keluarga beraktivitas. Teknologi memberi berbagai sentuhan perubahan yang terjadi dalam keluarga, mulai dari pola pikir, pola hubungan, dan pola hidup. Keluarga Kristen tentu saja tidak terlepas dari pengaruh perubahan teknologi ini. Masing-masing harus siap, agar tidak terimbas efek negatif, tapi justru mendapat akibat positif.
Pola Pikir dan Self Censorship
Pola pikir di masyarakat yang ikut berubah, ditandai juga dengan kehadiran generasi milenial. Sudah banyak pembahasan soal pola pikir generasi milenial ini. Mulai dari cara mereka menghadapi sekolah, melamar kerja, sampai dengan pilihan pada jenis pekerjaan yang diinginkan dan karier yang diharapkan. Salah satu teori dasar menyebutkan bahwa pola pikir seseorang dipengaruhi oleh kerangka referensi dan pengalamannya. Teknologi memungkinkan seseorang memperoleh informasi yang baik dari berbagai sumber. Mudah sekali melakukannya, karena kita dibantu oleh mesin pencari seperti Google search. Namun sayangnya, melalui mesin yang sama kita juga bisa mencari hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pola pikir seluruh anggota keluarga. Mempersiapkan anak dan generasi muda agar tetap bertahan dalam iman kristiani yang baik, memang menemukan tantangannya hari ini. Di media seperti televisi, program-program dari saluran-saluran TV berbayar dan IPTV yang ditayangkan sudah melalui aturan sensor yang ketat. Namun dewasa ini, di media-media berbasis digital dengan beragam konten yang tersedia, diperlukan self censorship yang baik. Membangun self censorhip ini perlu diingatkan kepada setiap anggota keluarga. Gereja bisa ikut membantu dengan menyediakan konten-konten yang baik dan menarik—terutama bagi generasi milenial, generasi penerus di gereja kita—dan sekaligus tidak bosan-bosannya mengingatkan dan membangun self censorship di setiap keluarga.
Pola Hubungan: Dari Pertemuan Fisik Jadi Pertemuan Online
Dari persekutuan wilayah dan Kombas kategorial, menjadi persekutuan grup WhatsApp (WA). Dari percakapan di ruang makan, mengobrol di kamar tidur keluarga, menjadi grup chat atau skype keluarga. Dari manusia sosial menjadi manusia anti sosial. Setiap pertemuan fisik akan selalu diikuti dengan diskusi di ruang online. Bahkan terkadang lebih mengasyikkan bicara di online daripada bertemu dan bercakap-cakap langsung. Tidak mengherankan kalau hari ini kita melihat banyak orang lebih terbuka dan bebas bercakap-cakap melalui sarana-sarana media sosial. Namun pertemuan-pertemuan fisik tetap diperlukan, jangan sampai hilang. Jemaat dan anggota keluarga harus mewaspadai pertemuan online ini. Manusia tetap perlu mengasah rasa, kehangatan yang nyata, persahabatan, melihat dan berkomunikasi langsung. Ini tidak akan diperoleh bila jemaat dan anggota keluarga terbiasa memanfaatkan waktu lebih banyak dengan berbagi di online ketimbang melakukan pertemuan fisik. Seperti dua sisi mata uang, kemungkinan pengaruh negatif harus diubah men-jadi positif. Pola hubungan di media sosial harus dimanfaatkan gereja dan keluarga untuk menambah sarana berkomunikasi, bukan menggantikan pertemuan-pertemuan fisik.
Pola Hidup: Akses Kemudahan Jangan Jadi Melemahkan
Pola hidup nyaman, tidak sulit, cari gampang, tidak mau aktivitas fisik, dll. menyertai perubahan gaya hidup kita hari ini. Akses teknologi cenderung membuat kita merasa serba gampang dan mudah. Padahal harus tetap diingat bahwa keberhasilan juga ditempa melalui berbagai tantangan dan pelajaran hidup. Anak-anak muda anggota keluarga kita tetap harus diberi berbagai pengalaman yang hadir dalam berbagai situasi. Jangan sampai ketergantungan pada akses kemudahan teknologi membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kehadiran di rapat gereja tetap penting, tidak bisa diganti dengan rapat grup chat saja. Bergerak belanja ke pasar tetap diperlukan, tidak bisa digantikan dengan mengandalkan jasa pengantaran kiriman saja. Latihan soal-soal dan tugas sekolah jangan selalu mencari jawaban di online, karena bertanya pada guru dan orangtua tetap penting. Memasak sendiri untuk keluarga juga penting, tidak bisa digantikan terus-menerus dengan layanan makanan pesan-antar. Teknologi tidak boleh membuat kita dan anggota keluarga jadi tergantung. Memanfaatkan kemudahan teknologi itu harus, tapi tidak boleh melemahkan.
Selamat datang kemajuan teknologi! Kita ingin memanfaatkannya dan sekaligus makin mendekatkan kita pada kasih Kristus.•
»Bimo Setiawan
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.