Kebiasaan di dunia tawar-menawar biasanya dikaitkan dengan jumlah. Dalam transaksi tawar-menawar sering kita dengar, “Kalau beli banyak harganya berapa?” Memang benar, kalau kita membeli dalam jumlah banyak, mungkin harga satuannya bisa turun, tetapi kalau kita perlunya membeli sedikit, gara-gara harga satuannya turun tetap saja kita harus mengeluarkan uang lebih banyak. Mau hemat malah jadi boros.
Di toko pakaian yang selalu menegur calon pembeli dengan sebutan “kakak” tanpa peduli calon pembelinya umur berapa, kita diiming-imingi harga yang lebih murah kalau membeli kaos atau celana lebih dari satu, karena harga satuannya menjadi lebih murah. Kita pun jadi terintimidasi untuk membeli lebih dari apa yang kita butuhkan dan akibatnya kita mengeluarkan uang lebih banyak. Itulah cara berjualan yang seolah-olah lebih murah. Mungkin si toko pakaian ini terinspirasi dengan kebiasaan tawar-menawar tadi.
Dalam dunia cetak-mencetak, apakah itu mencetak undangan, majalah atau flyer, makin banyak jumlahnya maka harga satuannya akan lebih murah, karena harga masternya dibebankan atau dibagi dengan jumlah yang lebih banyak.
Namun prinsip seperti ini tidak berlaku untuk semua jenis pembelian. Untuk pembelian yang bukan berupa barang, misalnya membeli tiket pesawat, tiket bioskop atau tiket kereta api, mau beli berapapun harganya tetap saja sama.
Dalam hal memesan makanan untuk pesta, sudah ada ketentuannya. Agak sulit untuk melakukan penawaran yang dikaitkan dengan jumlah, paling-paling dianjurkan untuk mengurangi jenis makanannya. Lain halnya kalau memesan makanan untuk rapat, apalagi kalau rapat di gereja. Biasanya diakali seperti ini: kita pesan dua porsi, tapi minta dibungkus menjadi tiga, maka harga per bungkusnya bisa lebih murah.
Namun ada juga pedagang makanan yang tidak mau menurunkan harga walaupun kita membelinya dalam jumlah banyak. Teman saya mempunyai langganan seorang pedagang nasi uduk yang rasanya cukup enak dengan harga 10 ribu rupiah per bungkus. Ketika teman saya diminta untuk menyediakan konsumsi untuk rapat, dia teringat kepada tukang nasi uduk langganannya itu. Maka dia segera memesan 25 bungkus nasi uduk. Dengan pesanan sebanyak itu, sang penjual langganannya itu justru menaikkan harganya dari 10 ribu menjadi 12 ribu per bungkus. Teman saya heran, karena biasanya kalau beli banyak malah bisa dapat harga lebih murah. Ketika ditanyakan ke sang penjual nasi uduk, dengan enteng dia menjawab, “Kalau pesanannya banyak gitu saya kan lebih capek, Bu…. makanya harga saya naikkan.” Rupanya dia tidak mengejar omset penjualan, tetapi ukuran harganya dihitung dari kelelahan fisiknya. Aneh ya… tetapi nyata lo.
Teman saya yang lain, mengalami kempes ban. Ini cerita lama ketika belum ada ban tubeless. Setelah dibawa ke tukang tambal ban, ternyata ditemukan ada dua lubang. Maka untuk menambalnya, ban harus dibongkar dan dikeluarkan ban dalamnya untuk ditambal dan setelah ditambal, ban dipasang kembali. Setelah selesai, teman saya ditagih 20 ribu, karena ongkos untuk menambal satu lubang itu 10 ribu rupiah. Lalu teman saya bilang, “Ongkos 10 ribu rupiah itu ‘kan termasuk bongkar pasangnya ya, Mas? Saya akan bayar 20 ribu kalau Mas bongkar pasang ban itu sekali lagi.” Mendengar jawaban itu, si tukang tambal ban itu bengong, lalu berkata, “Ya sudah, 15 ribu aja deh.”
Tidak selalu membeli lebih banyak akan lebih murah, bukan? Salam damai…
> Sindhu Sumargo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.