“Mam” Douglas

“Mam” Douglas

Belum ada komentar 30 Views

“Ya, halo? Selamat pagi… Dengan siapa? Purboyo?”

“Ya dengan Pendeta Purboyo Mams…”

“Ah! Dominee…. senang saya mendengar suara Bapak.”

“Bagaimana keadaan Mams sesudah seminggu ini keluar dari rumah sakit?”

“Secara umum sih baik… hanya saja masih cepat merasa lelah. Sehingga banyak pekerjaan yang masih belum sempat saya selesaikan. Piring dan gelas bekas makan pagi saja belum saya cuci.”

“Oh.. bagaimana dengan hari ini…?

“Yah… lumayan sih. Kenapa? Pak Pendeta hendak singgah?”

“Sebenarnya begitu, tetapi kalau Mams tidak bisa hari ini, saya akan datang lain kali.”

“Wah jangan dong. Walaupun merasa lesu, kalau didatangi Pak Pendeta, saya akan senang sekali dan mudah-mudahan Tuhan akan menyegarkan saya.”

“Benar tidak apa-apa Mams….?”

“Ya. Silakan datang Pak Pendeta. Jam berapa Bapak akan sampai di sini?”

“Sekitar 1 jam lagi bisa?”

“Tentu… sampai nanti.”


Ibu Douglas adalah seorang janda berumur delapanpuluhan. Ia adalah ibu dari Ibu Jetty, istri dari Bapak Monsanto. Mereka sekeluarga adalah satu-satunya anggota jemaat Gereja Kristen Indonesia Nederland (GKIN) yang tidak berbahasa Indonesia, karena asli asal Suriname, bekas koloni Belanda di bilangan Amerika Selatan. Mereka semua pada mulanya adalah anggota jemaat Gereja Belanda, yang kemudian tertarik dengan suasana bergereja jemaat GKIN yang menurut mereka amat mirip dengan gereja di Suriname.

Ibu Douglas, atau yang secara akrab disapa dengan panggilan “Mams” dari “Mam” menurut kebiasaan di Suriname, yang berarti “ibu”, adalah seorang pensiunan bidan. Ia adalah seseorang yang sangat disiplin dalam waktu, amat ramah dan penuh perhatian kepada semua orang. Itu sebabnya ia selain amat dicintai oleh anak dan menantu serta cucu-cucu, ia juga sangat dicintai oleh segenap warga jemaat GKIN di kota Arnhem dan Nijmegen. Ia menjadi tokoh yang dituakan di jemaat itu. Setiap orang di jemaat GKIN Arnhem/Nijmegen memanggilnya dengan “Mams”.


Beberapa tahun sebelumnya ia kedapatan mengidap kanker yang ganas. Setelah dioperasi beberapa kali ternyata kemudian sel kanker muncul kembali, sehingga kembali ia harus menjalani operasi yang cukup berat. Sehari setelah operasi saya menjenguknya di rumah sakit. Ketika saya tiba di kamarnya, ia tidak ada di tempat ridurnya.

“Apakah Ibu Douglas masih dirawat di sini….?” tanya saya kepada seorang wanita Belanda berumur sekitar tigapuluhan yang rupanya juga dirawat di kamar itu.

“Oh… Mam Douglas, yang berasal dari Suriname?”

“Ya… Mam Douglas…” jawab saya.

“Ya ia masih di sini. Ia harus konsultasi dengan dokter jaga sebentar.”

“Anda sudah lama mengenalnya…?”

“Mengapa… oh karena saya memanggilnya dengan ‘Mams’ ya? Saya mengenalnya di kamar ini. Tetapi ia begitu ramah sehingga kami cepat menjadi akrab. Rasanya seperti sekamar dengan ibu saya sendiri. Mari silakan duduk dulu. Sebentar lagi pasti ia datang.”

“Terima kasih,” kata saya sambil duduk di kursi di sebelah tempat tidur Mam Douglas.

Saya tersenyum sendiri melihat tempat tidur yang walau kelihatan dilakukan terburu-buru, dirapikan dengan baik. Meja kecil di sisi tempat tidur yang penuh sesak dengan obat-obatan, kacamata dan sebagainya juga kelihatan rapi. Tak pelak lagi, tempat tidur Mam Douglas.

“Bapak masih ada hubungan keluarga dengan Mams, soalnya Bapak tidak kelihatan seperti orang Suriname?” tanya wanita teman sekamar Mam Douglas.

“Bukan. Saya pendetanya.”

“Oh… begitu.”

“Saya orang Indonesia. Mams adalah anggota jemaat saya, jemaat Indonesia.”

“Pasti Mams adalah anggota jemaat yang aktif ya?”

“Benar. Ia bersama anaknya sekeluarga sangat aktif.”

“Jetty? Memang keluarga yang sangat mengagumkan.”

“Mengagumkan…? Maksud Anda bagaimana?”

“Ya mengagumkan, terutama Mams. Saya sudah terbaring di sini tiga hari ketika Mams masuk kamar ini. Saya waktu itu dalam keadaan amat tertekan. Karena kemarinnya kedapatan kanker ganas di tubuh saya. Namun Mams yang juga mengidap penyakit sama, bahkan harus dioperasi untuk kesekian kalinya sama sekali tidak kelihatan susah.”

Wanita itu menghela nafas panjang sambil menyeka matanya yang basah. Kemudian melanjutkan:

“Ia selalu menguatkan dan menghibur saya. Ia selalu mengajak saya berdoa. Mula-mula saya tidak mau. Bukan karena saya tidak percaya kepada Tuhan. Tetapi lebih karena sudah bertahun-tahun saya tidak pernah berdoa… Sejak Mams dirawat di sini saya tidak lagi merasa tertekan.”


Itulah Mam Douglas. Seorang wanita dengan kepercayaan yang amat teguh. Seseorang yang dalam kesulitan dalam penderitaan masih dapat menghibur dan menguatkan orang lain. Dari dia saya banyak sekali belajar. Ia bukanlah seorang teolog dalam arti seseorang yang belajar teologia secara formal. Tetapi ia adalah seorang teolog sejati bahkan unik. Seorang teolog adalah seseorang yang selalu mempertanyakan segala sesuatu dalam hidupnya dalam terang relasinya dengan Tuhan. Itulah Mam Douglas, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya. Beginilah seharusnya setiap orang Kristen yang dewasa dan bukan lagi anak-anak.

Ketika ia dikabari bahwa dalam waktu dekat ia harus dioperasi lagi, karena rasa sakit di lambungnya terkadang tak tertahankan lagi, ia tetap tenang, bahkan selalu menemukan sisi positif dari segala sesuatu.

“Pak Pendeta, saya sudah beberapa tahun hidup dengan penyakit ini. Dokter yang akan mengoperasi saya minggu depan adalah dokter yang terakhir mengoperasi saya hampir dua tahun lalu. Dia amat heran bahwa saya masih hidup…! Tidakkah ini berkat Tuhan bahwa saya masih bisa bertahan selama ini?”

“Tentu Mams.”

“Makanya saya tidak pernah mengeluh dan mempersalahkan Tuhan. Saya yang harus belajar untuk menerima ini semua dan menyesuaikan diri serta hidup saya pada kenyataan ini. Saya yakin sikap seperti inilah yang dikehendaki-Nya dari saya. Dan inilah yang membuat saya bertahan.”

Saya mengangguk-angguk dengan kagum. Kerapkali dalam khotbah, renungan atau pembinaan yang saya sampaikan, saya menekankan bahwa hidup bersama dengan Tuhan adalah proses untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Apapun itu, termasuk penderitaan. Mam Douglas tidak perlu memberikan penjelasan teologis tentang itu, tetapi cukup membuktikannya dengan hidupnya. Dan dengan sikap hidup yang begini positif ia menghibur dan menguatkan keluarganya, dan banyak orang, termasuk saya.

Sekitar limapuluh lima menit setelah saya menelponnya, saya menekan tombol bel di pintu muka bangunan apartemen tempat tinggal Mam Douglas.

“Apakah itu Pak Pendeta? Saya tahu Pak Pendeta biasanya tepat waktu.”

“Benar Mams. Saya tidak berani terlambat bila berkunjung ke sini.”

“Ah. Pak Pendeta bisa saja. Silakan naik. Pak Pendeta sudah tahu jalannya kan?”

Setelah pintu dibuka saya masuk ke lobi, dengan lift menuju ke lantai lima, kemudian menyusuri gang menuju ke apartemennya. Di muka pintu apartemen Mams ada beberapa pot bunga yang segar sehingga membuat suasana asri. Dan saya tahu bahwa di balik pintu apartemennya saya akan mendapati sebuah rumah yang nyaman dan hangat, dengan penghuni yang amat menyenangkan untuk dijumpai.

“Selamat datang Pak Pendeta!” sambutnya ketika membukakan pintu. Dan begitu saya masuk langsung ia memeluk dan mencium saya.

“Senang sekali saya kalau Pak Pendeta datang ke sini.”

“Saya juga senang datang ke sini Mams.”

“Mari duduk. Saya sudah membuat kopi susu untuk Pak Pendeta. Silakan… Sebentar lagi Jetty akan datang membawa pastel kesukaan Pak Pendeta…”


Setiap kali saya mengunjungi Mam Douglas saya sangat menikmatinya dan hati saya merasa teduh. Sehingga terkadang saya bertanya-tanya sendiri dan akhirnya saya lontarkan kepada Mams:

“Sebenarnya kalau saya berkunjung ke sini, Mams yang membutuhkan saya atau sayalah yang membutuhkan Mams?”

“Ah! Pak Pendeta bisa saja tentu saja saya yang membutuhkan. Bukankah saya adalah anggota jemaat yang sakit yang perlu perhatian dari sesama saudara seiman, dan tentu dari pendetanya? Tetapi memang dalam kenyataannya yang dibutuhkan juga dapat memperoleh apa yang diperlukannya sendiri dalam perjumpaan ini.” jawabnya seraya tersenyum dengan penuh pengertian.

Entah bagaimana, bila saya dalam keadaan tertekan saya biasanya meneleponnya dan bila memungkinkan mengunjunginya.


Ketika kami sekeluarga kembali ke Indonesia, ia memeluk saya dengan erat seusai kebaktian perpisahan. Sayapun memeluknya dan enggan melepaskannya. Kami berdua tahu bahwa kami takkan pernah dapat bertemu lagi.

“Saya yakin bahwa walau kita berjauhan, hati kita akan selalu dekat.”

Saya tidak dapat menjawab waktu itu. Namun saya amat setuju dengannya. Dan saya tahu bahwa walaupun saya tak berkata apa-apa, ia tahu bahwa saya setuju. Di Indonesia setelah larut dan sibuk dengan pelayanan saya tetap mengingatnya, khususnya bila berada di antara warga jemaat senior. Setiap kali saya melakukannya, hati saya merasa teduh. Setiap kali saya merasa tertekan dan mengalami krisis motivasi, saya mengenangnya dan dikuatkan kembali.


Sekitar dua tahun yang lalu ketika saya mendapat kabar bahwa Mam Douglas dipanggil Tuhan, saya tidak dapat menahan air mata saya….



Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...