Ada aliran-aliran agama (agama apa pun itu) yang ritus-ritusnya membuat jemaat masuk ke dalam suasana emosi tertentu, lalu mengalami fenomena-fenomena psikis yang tak lazim, atau bahkan mengalami hal-hal yang tak bisa (atau belum bisa) dijelaskan dengan nalar dan karenanya juga disebut sebagai hal-hal yang supra-natural.
Kalau kita melihat orang melolong atau menggelepar gelepar di lantai dalam kebaktian sebuah kelompok Kristen di dekat bandara Toronto (yang dikemudian dikenal sebagai Toronto Blessing), atau melihat Bhagavan Sri Sathya Sai Baba memetik uang logam dari udara dan membagikannya kepada jemaatnya, maka semua itu adalah contoh dari ritus aliran-aliran agama yang membuat jemaat masuk ke dalam suasana emosi tertentu, lalu mengalami fenomena-fenomena psikis yang tak lazim atau-bahkan-mengalami hal-hal yang bersifat supra-natural.
Dalam menjalani ritus-ritus seperti tersebut di atas, jemaat mengalami suatu perasaan yang nyaman, menyenangkan, membebaskan, menggetarkan dsb. dan yang mereka klaim sebagai perjumpaan dengan Tuhan. Dan karena perasaan itu memang menyenangkan, maka jemaat bolak-balik pergi mengikuti ritus-ritus yang demikian.
Sebenarnya ritus-ritus keagamaan seperti tersebut di atas sah-sah saja. Dengan lain perkataan, kalau gara-gara pengalaman yang diklaim sebagai “perjumpaan dengan Tuhan” itu seorang jemaat menjadi lebih baik hidupnya (bagi dirinya sendiri dan bagi manusia di sekelilingya) yah kita mau bilang apa?
Yang menjadi masalah ialah, kalau jemaat itu sampai menganggap bahwa itulah satu-satunya ritus keagamaan yang paling benar atau itulah level yang lebih tinggi dalam perjumpaan dengan Tuhan, dibanding dengan ritus-ritus keagamaan dimana emosi jemaat terkesan adem-ayem dan mereka tak pernah mengalami fenomena psikis yang luarbiasa atau hal-hal yang supra-natural dan yang dianggap sebagai “mujizat tuhan”.
Ketika Paulus hidup-yaitu 2.000 tahun yang lalu-ilmu kedokteran, psikologi, psikiatri, neurologi dsb. belum berkembang atau mungkin belum ada. Karena itu berbagai fenomena psikis yang tak lazim, dan berbagai hal supra-natural yang terjadi akibat fenomena psikis itu, cukup dikategorikan sebagai “perbuatan tuhan” atau “perbuatan setan”. Orang yang menderita neurosis atau schizofrenia cukup diberi label sebagai “kerasukan setan” dan karena itu perlu didoakan dengan intens agar setan yang menguasai pikirannya keluar,
Tapi sekarang ilmu psikitari dan neurologi sudah sedemikian majunya. Orang yang menderita neurosis atau schizofrenia tidak cukup hanya didoakan. Dia perlu disuntik, diterapi dan diajak omong-omong agar persepsinya tentang dunia di sekitarnya menjadi sama seperti orang lain.
Dalam kaitan antara fenomena psikis yang tak lazim dan ilmu psikitari, saya jadi teringat akan heboh tentang berita sekelompok murid sekolah di Sumatera Barat (dan sebenarnya juga di banyak tempat lain di Indonesia) yang menangis tersed-sedu tanpa bisa dihentikan. Orang sibuk mendoakan gadis-gadis itu agar kembali normal, namun tak berhasil. Lalu ada seorang pengurus ahli psikiatri Indonesia yang mengatan kira-kira, “Bawa saja ke rumah sakit jiwa. Pisahkan anak-anak yang menangis berkepanjangan itu (karena stress adalah sesuatu yang contagious) lalu suntik dengan obat penenang….” Ahli psikiatri itu juga menerangkan secara ilmiah mengapa sekelompok orang bisa tiba-tiba menangis tersedu-sedu seperti “kerasukan setan” atau “disapa roh halus”.
Sekarang orang sudah tahu, bahwa kalau permukaan tertentu dari otak manusia “dikili-kili” dengan jarum atau dirangsang dengan zat kimia tertentu maka orang itu bisa mengalami ekstase keagamaan sebagaimana yang selama ini diperolehnya lewat ritus-ritus. Orang juga sudah tahu bahwa lewat gerak tubuh tertentu yang berulang-ulang, lewat pelafalan bunyi tertentu yang berulang-ulang, atau lewat manipulasi cahaya dan bunyi-buyian, sekelompok orang bisa dibuat menangis, tertawa, menggelepar-gelepar dan mengklaimnya sebagai pengalaman berjumpa dengan Tuhan. (Saya rasa teknik itu jugalah yang dimanfaatkan sebuah lembaga penyelenggara pelatihan “kecerdasan spiritual” yang kini sedang “trend” dan banyak menggelar acaranya di hotel-hotel berbintang itu, dan dimana untuk mendapatkan pengalaman berjumpa dengan tuhan peserta harus membayar jutaan rupiah).
Fenomena supra-natural pun demikian halnya. Memang kadang-kadang kita bingung bagaimana seseorang bisa berjalan di atas bara api dan tidak merasa kesakitan, atau bagaimana seseorang selama beberapa detik terapung di udara setinggi 25 sentimeter. Tapi karena kita belum mengetahui nalar di belakang fenomena itu (dan ilmu pengetahuan sebenarnya sedang bekerja untuk mencari jawaban yang empirik) maka tak usahlah kita langsung mengklaimnya dengan gegap-gempita sebagai mujizat tuhan atau perbuatan setan. Bagi saya fenomena-fenomena itu tidaklah lebih mencengangkan daripada fenomena pesawat model yang diterbangkan dengan bantuan remote-control, kemampuan search-engine google untuk mencari (dalam hitungan sepersekian detik) beberapa definisi dari sebuah kata di antara lautan jutaan kata yang sama yang ada di “luar” sana dsb.
Disebabkan oleh kesadaran bahwa fenomena psikis yang tak lazim atau hal-hal yang bersifat supra-natural itu adalah sesuatu yang sebenarnya bisa (atau akan bisa) dijelaskan oleh ilmu psikologi, psikiatri,nerurologi dsb. maka saya pribadi tidak terlalu tertarik untuk bergabung dengan kelompok keagamaan (baca: gereja) yang terlalu menekankan pentingnya pengalaman seperti itu. (Lagipula, saya pikir-pikir, kelompok pertunjukan kuda lumping di pinggir jalan-yang entah dari mana sumber kekuatannya-juga mampu menghadirkan fenomena-fenomena sebagaimana saya uraikan di atas).
Saya lebih tertarik untuk bergabung dalam gereja yang “biasa-biasa” saja; yang mencoba mengalami perjumpaan dengan tuhan dalam interaksi keseharian antar manusia yang wajar-wajar, dan yang mencoba melihat “magic” atau mujizat tuhan dalam perbuatan kasih yang terkesan biasa.
Kalau pendeta-pendeta saya tidak bisa “mengusir roh jahat” dari tubuh seseorang, maka saya tidak akan jadi minder dan menganggap mereka kalah hebat dari pendeta lain. Mereka memang tidak dilatih untuk itu. Dan lagipula di gereja saya nyaris tak pernah ada fenomena orang “kerasukan roh jahat”. Dan kami pun memang tidak bicara dalam atmosfir keagamaan yang seperti itu.
Di tengah dunia yang diwarnai oleh kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi (dan yang dalam waktu cepat atau lambat pasti bisa menjelaskan sebagian besar rahasia di balik fenomena psikis yang tak lazim atau hal-hal supra-natural yang dianggap sebagai “mujizat tuhan” itu) maka saya lebih tertarik dengan ritus-ritus yang bisa mengasah kepekaan hati-nurani dan yang memampukan saya “menangkap tuhan” dalam peristiwa biasa-biasa yang terjadi di sekitar saya.
Tulisan ini saya posting dengan Wi-Fi. Dengan lain perkataan, saya mengetik di atas komputer laptop yang tak ada kabelnya. Lalu ketika laptop saya klik tulisan saya “terbang” ke udara dan masuk (atau, akan masuk) ke komputer jutaan orang di dunia ini. Bagi saya ini adalah juga sebuah mujizat yang tak kalah hebat dengan “bahasa roh”.
Mula Harahap di wordpress.com
1 Comment
Raditya Tri Wibowo Adi
Agustus 12, 2009 - 4:01 pmSaya setuju dengan konsep bahwa perjumpaan kita dengan Tuhan, nggak melulu dimanifestasikan dengan hal-hal yang sifatnya spektakuler. Karena hal-hal tadi harus diuji lagi, apakah benar berasal dari Tuhan atau justru sebaliknya.
Perjumpaan kita dengan Tuhan adalah baik dilakukan dengan perjumpaan kita secara pribadi, dan menjadikan perjumpaan itu menjadi pengaruh buat orang lain melalui kehidupan keseharian kita.