Bagaimana caranya supaya anak saya terbuka ya?
Bagaimana supaya anak saya mau bicara kalau dia mengalami kesulitan di sekolah ya?
Kenapa ya saya tahu berita penting tentang anak saya dari temannya?
Bukan hal yang mudah membuat anak-anak kita terbuka kepada kita. Prinsip parenting yang kita pegang memengaruhi, apakah anak-anak dapat terbuka kepada kita atau tidak. Anak yang selalu dilarang dan diperintah, akan menutup mulutnya kuat-kuat saat ia melakukan, melihat, memikirkan hal-hal yang dilarang. Ia juga akan menutup mulutnya saat ia tidak melakukan yang diperintahkan kepadanya.
Benar, Tuhan sendiri mengajar kita untuk melakukan yang benar dan menjauhi yang salah. Mazmur 37:27, “Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik…” Namun demikian, bukan berarti Pemazmur tidak pernah melakukan yang jahat dan selalu melakukan yang baik. Ada sebuah pergumulan yang sering kali diceritakan dalam Mazmur yang berbeda, “Aku sendiri bergumul dengan dosaku…” (Mazmur 51:3).
Keterbukaan tidak identik dengan kejujuran. Kejujuran mengajak anak untuk mengatakan yang sebenarnya, yang baik, yang benar dan tidak membohongi orangtua. Sementara keterbukaan, yang lebih luas dari itu, mengajak anak untuk mengatakan apapun yang dipercayai, dipikirkan, dirasakan dan dialaminya sekalipun hal itu tidak benar dan tidak baik. Dengan keterbukaan seperti itu, kita dapat berdialog.
Hans-Georg Gadamer melukiskan dialog sebagai proses yang dilakukan oleh dua orang atau lebih di mana setiap orang yang memiliki cara pandang yang berbeda dapat berbagi dan membuka diri. Hasil dari dialog bukanlah menyimpulkan satu hal yang terbaik, tetapi berbagi perbedaan satu dengan lainnya.
Ada kalanya saat anak berbicara kepada orangtua, ia memiliki pendapat yang berbeda. Dengan dialog, anak diberi kesempatan untuk menyatakan perbedaannya itu. Tentu bukanlah hal yang mudah untuk menerima perbedaan. Misalnya saja saat kita menghadapi anak yang tidak mau makan bubur yang sudah kita masak. Dialog membuka kesempatan kepada anak untuk menyatakan, apakah dia suka dengan bubur yang kita buat. Bukan sebaliknya, kita memaksa anak untuk menyukai bubur buatan kita. Bisa jadi dia tidak mau memakannya karena dia menyukai bubur yang lebih manis dibandingkan bubur asin yang kita buat. “Saya suka bubur yang manis,” kata si anak. “O… maaf, Mama masak bubur yang agak asin,” kata Mama menerima keterbukaan si anak.
Beberapa kata kunci yang berkaitan dengan keterbukaan dapat menolong kita agar anak dapat lebih terbuka dengan kita.
“AKU JUGA PERNAH!”
Seorang anak tidak dapat duduk tenang di dalam ruang kelas, apalagi di ruang kebaktian. Secara cepat orangtuanya menghakiminya dengan mengatakan bahwa dia nakal dan tidak dapat disiplin. Akibatkan, si orangtua menghukum anaknya di rumah dengan duduk diam selama 1 jam tanpa boleh bangun dari tempat duduknya. Setelah menghukum, orangtua bertanya, “Kenapa kamu tidak bisa diam di kelas?” Dengan takut si anak menjawab, “Aku enggak suka disuruh duduk diam.” Dengan marah si Mama menjawab, “Kalau jadi murid harus belajar duduk diam. Bagaimana nanti kalau kamu sudah besar tidak bisa duduk tenang? Kamu akan menyusahkan dirimu sendiri!” Dan sejak saat itu, diamlah sang anak di hadapan orangtuanya saat ia melakukan sesuatu yang berbeda.
Lain halnya jika kita mengajarkan keterbukaan. Kita dapat mengajak anak untuk berdialog dari hati ke hati. Apa sih yang sebenarnya membuat anak tidak dapat duduk tenang? Dari pembicaraan, si anak berkata, “Aku merasa tersiksa jika harus duduk diam, Mama!” lalu si Mama menjawab, “Mama juga pernah mengalami hal yang sama.” Dengan mengatakan hal tersebut, tiba-tiba terbukalah hati si anak, “O… Mama merasakan hal yang sama dengan aku.” Hanya saja waktu itu, Mama mencari cara supaya bisa tetap duduk tenang. “Bagaimana Ma, caranya?” tanya si anak.
Dengan beberapa tips yang diberikan Mamanya, akhirnya sang anak mencoba untuk duduk tenang di dalam kelas. “Hore… aku berhasil mencatat setiap kata yang guru katakan!” Keterbukaan anak terjadi saat orangtua pernah merasakan dan mengalami apa yang anak alami.
Bagaimana jika orangtua tidak pernah mengalaminya? Referensi pengalaman orang lain juga sangat berguna untuk menjadi pintu masuk saat orangtua berbicara-berdialog dengan anak.
“O, BEGITU… TERUS?”
“Kemarin, temanku nangis Ma, setelah kubentak!” kata Dimas.
“Nah… sudah Mama bilang, jangan berulah!” kata si Mama sambil asyik meneruskan permainan ponselnya.
Sebagian besar anak dan remaja yang pernah saya ajak bicara, sesungguhnya berminat untuk terbuka dengan orangtuanya. Hanya saja, orangtua mereka tidak terlalu berminat dengan kisah-kisah mereka. Ada orangtua yang sibuk bekerja, ada orangtua yang merasa lebih asyik memainkan ponselya daripada mendengarkan cerita anaknya, ada pula orangtua yang langsung jump into solution alias lompat pada solusi atau kesimpulan tentang cerita anaknya. Seperti, “Sudah Mama bilang…” atau “Mangkanya jangan seperti itu!” atau “Ingat yang Papa katakan kemarin?” atau “Sebagai anak, kamu harus…”
Anak akan terbuka jika ia melihat bahwa orangtua tertarik pada apapun yang diceritakannya. Memang ada tipe anak yang sangat detail dalam menceritakan kisahnya, dan ada pula yang sangat singkat. Tapi jika sedini mungkin kita memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan storytelling maka ia akan merasa nyaman. Apalagi jika orangtua menunjukkan ketertarikannya pada kisah si anak, “O… terus bagaimana kelanjutannya?” … “Wow…” atau “O ya?”
“AKU MERASAKANNYA…”
Istilah “I feel you” saya dapatkan dari anak-anak remaja. Mereka menjadi sahabat yang baik bagi teman-teman mereka karena mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh teman-teman mereka tanpa menggurui atau memberikan larangan.
Waktu seorang anak remaja tidak dihargai pekerjaannya oleh teman sekelompoknya, seorang anak remaja lain yang melihatnya menangis berkata, “Aku tahu apa rasanya berada di posisimu! Sedih sekali…”
Perasaan anak adalah pintu baginya untuk menemukan cinta Tuhan. Anak-anak kita membutuhkan figur Tuhan yang berkata, “Aku merasakan yang kamu rasakan…” melalui orangtua mereka. Jika orangtua tidak melakukannya, segera mereka akan mencari dan menemukan seorang teman atau sekumpulan teman yang dapat melakukannya. Tidak heran ada anak-anak yang baru berusia Sekolah Dasar sudah memiliki pacar. Mereka hanya perlu seseorang yang dapat berkata, “Aku tahu rasanya di posisi kamu…” … “I feel you…”
Bagaimana jika anak saya tidak memiliki perasaan-perasaan yang menonjol seperti itu? Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan Tuhan dengan pikiran dan perasaan. Perasaan mencintai dan dicintai merupakan modal dasar bagi seorang manusia sejak bayi untuk belajar percaya kepada Tuhan dan kepada orang lain. Sejak kecil anak-anak bayi merasakan cinta dari orangtua mereka. Sebaliknya, saat orangtua atau pengasuh mereka tidak memberikan cinta yang mereka perlukan, lambat laun perasaan cinta dan sukacita itu akan luntur terkubur dalam batin mereka.
Saya pernah menolong seorang yang kehilangan rasa cinta di dalam hatinya. Setelah kami telusuri bersama, ternyata rasa cinta itu terkubur sejak ia berusia 5 tahun, ketika Simbok keluar dari rumahnya. Simbok adalah ibu pertama baginya. Waktu ibu kandungnya marah, ia akan berlindung di ketiak Simbok. Setelah Simbok pergi, ia mengalami patah hati. Tidak ada lagi ketiak yang melindunginya sejak bayi, sehingga ia mencari dan akhirnya menemukan bahwa lemari bajunyalah yang membuatnya nyaman. Tidak ada seorang pun yang bisa dipercayainya lagi, tidak ada seorang pun yang dapat membuatnya dicintai secara penuh. Yang ada hanyalah kecurigaan dan kehausan cinta.
Mari sejak dini, rasakan apa yang anak-anak kita rasakan, sebelum mereka tidak mampu lagi terbuka. Mereka membutuhkan kita sebagai orangtua, mereka membutuhkan cinta. Mereka membutuhkan seseorang yang dapat berkata, “Aku juga pernah melakukannya!” dan “O… begitu. Terus?” dan “Aku merasakannya!”
Selamat menyambut tahun baru! Selamat menjalani resolusi untuk menanti keterbukaan anak-anak dan semoga mereka semakin terbuka! God bless.•
>> riajos.pdt
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.