Berbahagialah dia karena cepat dipanggil `mama’. Aku dulu menunggu 5 tahun untuk dipanggil `mama’ oleh anakku. Itu juga setelah terapi 1,5 tahun lamanya. (RH-seorang ibu dari anak penderita asperger syndrome)
Pengakuanmu mengingatkan saya terhadap beberapa orang tua yang juga mengalami pergumulan yang sama.
Pertama, saya teringat kepada Ibu T, sahabat isteri saya. Dua belas atau tiga belas tahun yang lalu ia menceritakan kepada kami bahwa J, cucu pertamanya, dari anaknya yang pertama, menderita autis. Secara sepintas tidak akan ada orang yang tahu bahwa anak lelaki berambut pirang, yang berumur 2 tahun, dan yang menyerupai anak orang barat itu, menderita sebuah kelainan. Tapi kalau dilihat lebih seksama, barulah kita menyadari bahwa J memang tidak sama dengan anak-anak sebayanya. Ia belum bisa berbicara. Ia tidak bisa menatap mata orang. Ia tidak bisa menanggapi hal yang diminta oleh lawan bicaranya. Perhatiannya selalu terpusat kepada hal lain yang mungkin lebih menarik hatinya.
Selama tiga atau empat bulan, dua kali dalam seminggu, J selalu dibawa oleh neneknya Ibu T, ke rumah kami. Isteri saya bukan seorang terapist dan yang mengerti soal-soal autis. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang pernah kuliah psikologi. Tapi karena 2 anak kami sudah beranjak dewasa, ia punya waktu luang. Dan kebetulan ia juga menaruh minat dalam masalah-masalah perkembangan anak.
J hanya diajar untuk duduk dengan tenang-selama beberapa saat-di atas sebuah bangku pendek. Ia diajar untuk menggenggam sesuatu. Ia diajar untuk menyebutkan beberapa perkataan. Itulah saatnya saya mengenal J dan mulai menyadari bahwa ternyata di dunia ini ada sebuah sindrome yang bernama autis.
Setelah menjalani beberapa bulan latihan amatiran di rumah kami rupanya orangtua dan kakek-nenek J menyadari betapa pentingnya sebuah penanganan khusus dan profesional terhadap anak dan cucu mereka. Lalu J pun dibawa ke seorang terapist yang memang terlatih untuk itu.
Karena Ibu T adalah sahabat isteri saya, maka dari waktu ke waktu kami selalu bertemu J dan melihat kemajuan yang dicapainya. Kini J telah menjadi seorang remaja lelaki yang gagah. Kalau mengikuti kebaktian di gereja, ia sudah bisa duduk dengan tenang di samping neneknya Ibu T, yang dipanggilnya sebagai mama.
Kalau melihat isteri saya, J akan datang mendekat dan menyapa, “Hai, Rieka!” Lalu ia akan diam. Tapi kalau isteri saya bertanya, ia akan menjawab.
Beberapa waktu yang lalu, ketika bertemu dengan kami di gereja, isteri saya bertanya sambil meletakkan tangan di salah satu bahunya, “Kau sudah punya pacar?”
Dengan wajah sumringah J menjawab, “Belum. Ada sih anak perempuan yang saya suka di sekolah, cuma dia tidak mau sama saya….”
Kami tertawa mendengar jawabannya itu. Tapi di dalam tawa itu terbersit juga ucapan terimakasih dan harapan kepada Tuhan: Terimakasih atas penyertaan-Nya selama ini terhadap J. Dan harapan semoga J terus disertai-Nya dan menjadi orang yang membuat dunia di sekelilingnya ceria.
Kedua, saya teringat kepada anak kedua dari IH-sepupu atau anak amanguda saya.
IH dan keluarganya sering berkunjung ke rumah kami. Ketika anaknya nomor dua, seorang lelaki yang bernama I itu, berumur sekitar satu setengah tahun, saya dan isteri saya telah melihat sesuatu yang tidak lazim. Anak itu hanya berjalan kesana-kemari tanpa henti dan tak pernah memberi perhatian kalau disapa. Tapi kami tak berani mengatakan apa-apa.
Tapi tak lama kemudian kabar yang tidak enak itu datang juga. IH memberitahukan kepada kami bahwa ternyata I menderita autis. Kami lama hanya bisa terdiam. Tapi kemudian saya berkata, “Yah, besarkan hatimu, dik. Kau tidak sendiri dalam menanggung persoalan ini. Ada ribuan orangtua yang sama seperti kau. Pergilah mencari sokongan moril dari mereka. Tapi yang lebih utama lagi, pergilah mencari penanganan yang intensif…”
IH memang bertindak cepat. Ia mencari dokter dan terapist yang khusus. Beberapa waktu kemudian ia dan isterinya bahkan mengambil keputusan, bahwa demi memberi perhatian yang lebih banyak lagi kepada I, isterinya terpaksa harus meninggalkan pekerjaan yang sudah dirintisnya di sebuah bank swasta sejak tamat perguruan tinggi. Tentu saja ini adalah sebuah keputusan yang berat. Tinggallah IH menjadi “the bread winner” satu-satunya bagi keluarga. Sementara, pada saat yang sama, keluarga itu membutuhkan biaya yang relatif lebih besar untuk obat, menu khusus dan terapi anaknya.
Kami terhenyak. Kepada isterinya kami hanya bisa berkata, “Sabarlah kau, dik. Pengorbanan ini adalah demi masa depan anakmu….” Sebagai abang dan kakak seharusnya kami bisa melakukan lebih banyak hal.
Tapi pada suatu hari IH berkata kepada saya dan isteri saya, “Saya selalu merasa aman membawa anak saya ke rumah ini. Dia bebas memegang apa saja, dan saya tak perlu deg-degan.”
Saya tertawa dan berkata, “Di rumah yang centang-perenang ini apa lagi yang harus dijaga? Bebaskan sajalah semua anak melakukan apa saja sepanjang hal itu tidak membahayakan dirinya. Menempelkan gambar di dinding, membawa kura-kura amangtua ke ruang tamu, memeriksa kamar tidur amangtua dan inangtua, atau apa saja, semua bebas….” Selama bertahun-tahun pada sebuah sisi tembok di ruang makan kami tergantung sebuah pigura yang bertuliskan: “My House Is Clean Enough To Be Healthy, And Dirty Enough To Be Happy”. Dan saya rasa hanya itulah sumbangsih yang bisa kami berikan kepada keluarga adik sepupu saya ini.
Karena IH selalu bersikap terbuka terhadap kelainan yang diderita anaknya, maka kami pun selalu ingin tahu segala hal yang terjadi atas diri I. Beberapa waktu yang lalu IH menceritakan sebuah kejadian yang membuat kami menangis campur tertawa:
I disekolahkan di sebuah TK yang biasa. Setiap pagi ia diantar oleh bapaknya. Begitu tiba di sekolah dan turun dari mobil maka ia langsung menuju ke tempat arena bermain dimana ada ayunan, jungkat-jangkit, perosotan dsb. Nanti, bila lonceng berbunyi, barulah ia masuk ke kelas.
Tapi suatu hari I datang terlambat. Ketika tiba di sekolah, teman-temannya telah masuk ke kelas. Namun I tetap menjalankan ritusnya yang biasa: Ia menuju ke arena permainan dan sibuk bermain sendiri.
Ayahnya mencoba menyeretnya ke kelas, tapi ia menolak, meronta dan kembali ke arena permainan. Ayahnya menjadi bingung. Tapi untunglah kemudian ayahnya mendapat akal. Ia pergi menghadap kepala sekolah dan minta izin agar bel dibunyikan. Kepala sekolah memahami apa yang terjadi. Dengan sukacita ia membunyikan bel. Begitu mendengar suara bel, I memungut termos dan kotak rotinya lalu menghambur masuk ke kelas.
Pergumulan IH dengan anaknya yang menderita autis itu membuatnya jauh lebih matang dan bijaksana daripada orang-orang yang seusianya. Kalau sedang bercakap-cakap di rumah, saya sering berkata kepada isteri saya, “Dia sebenarnya anak bungsu. Tapi saya selalu merasa bahwa dialah yang paling abang dari saudara-saudaranya….”
Ketiga, saya teringat akan cerita seorang perempuan dalam acara Kick’s Andy di Metro TV beberapa waktu yang lalu. Bagaimana perempuan itu ditinggal oleh suaminya, terpaksa harus berjuang sendiri membesarkan anaknya yang menderita autis, dan berhasil.
Keempat, saya teringat akan filem “Snow Cake” yang saya tonton belum lama ini. Filem ini pernah memenangkan “Berlin International Film Festival”. Saya bisa merasakan keharuan sekaligus melihat keindahan dalam jiwa tokoh utamanya-seorang penderita autis-yang dalam filem ini diperankan dengan sangat baik oleh Sigourney Weaver.
Begitulah, Itoku RH! Secara fisik saya tidak mengenalmu, dan tidak mengenal anakmu. Tapi saya pernah mengenal beberapa orang tua dari anak penderita autis, dan mengenal beberapa anak penderita autis. Karena itu saya bisa merasakan apa yang kau rasakan. Dan biarlah perasaan itu menjadi sebuah solidaritas yang meringankanmu.
Atau, kalau pun solidaritas itu tidak bisa meringankanmu, karena secara fisik kita berjauhan dan tak saling mengenal, maka saya berharap, paling tidak saya boleh menunjukkan bahwa kau tidak sendiri dalam pergumulanmu.
Saya ikut berdoa agar Tuhan senantiasa memberimu kekuatan dan kebijaksanaan dalam membesarkan anakmu, dan agar Tuhan senantiasa campur-tangan dalam semua upaya yang dilakukan oleh orang-orang lain demi proses penyembuhan, pendidikan dan perkembangan jiwanya. Saya percaya bahwa dengan campur-tangan Tuhan semua akan indah pada waktunya.
Mula Harahap di wordpress.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.