Kejujuran, Kesantunan & Etika MAKIN PUDAR

Belum ada komentar 243 Views

Jujur, santun dan beretika adalah tiga kata yang sangat menentukan dalam peringkat kehidupan seseorang atau sebuah bangsa. Negara-negara tanpa sumber alam seperti Denmark dan Selandia Baru dinobatkan sebagai negara-negara termakmur dan ternyaman di dunia. Hal ini dapat terwujud karena sistem pendidikan menekankan nilai etika dan kejujuran lebih tinggi daripada pelajaran-pelajaran lain. Rakyat di kedua negara ini hidup makmur, nyaman dan bebas korupsi.

Peristiwa OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK awal September 2016 terhadap Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) tidak saja mengejutkan, tapi sudah sangat memprihatinkan. Mengherankan, Pejabat Penyelenggara Negara dengan gaji/fasilitas lebih dari Rp 200 juta/bulan, (di luar kendaraan/rumah dinas/tunjangan/ADC) dan harta kekayaan (LHKPN) yang dilaporkan ke KPK Rp 31,9 miliar, masih memperdagangkan pengaruh jabatan hanya untuk menerima suap Rp 100 juta. Makin lengkaplah pejabat-pejabat tinggi penyelenggara negara yang mencoreng citra bangsa, setelah Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, BPK, DPR RI, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Kejaksaan, Kepolisian, Partai Politik dan mantan-mantan Menteri dijatuhi hukuman. Kejadian-kejadian ini menggugah ingatan saya akan slogan kampanye JOKOWI/JK dalam Pilpres 2014: “Lakukan revolusi mental”. Slogan ini tidak saja tepat, tetapi juga sangat perlu diprioritaskan dan dilaksanakan seutuhnya.

Jujur atau lurus hati, tidak curang, tidak munafik dan tidak menipu/mencuri, mudah diucapkan tetapi sangat sulit dilaksanakan. Jika tertanam benih tinggi hati serta keserakahan yang dibekali dengan jabatan tinggi dan kekuasaan besar, maka banyak manusia akan lupa kejujuran dan terjerumus ke dalam keduniawian.

Hal-hal kecil tentang lunturnya kejujuran, dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Di kasir supermarket, jika kita tidak jeli, maka kadang-kadang ia memasukkan barang-barang yang tidak kita beli atau menarik uang tunai, yang baru kita sadari setelah pulang ke rumah dan memeriksa kembali kertas tagihannya. Barang-barang yang sudah kadaluwarsa tetap dijual dengan mengubah tanggal/tahunnya. Timbangan/takaran liter di pasar dan pompa-pompa BBM di SBPU serta tabung-tabung gas Elpiji banyak yang dimanipulasikan. Karcis Damri ke Bandara kadang-kadang sengaja tidak diberikan. Demikian juga sopir taksi sering memasang “argo kuda” untuk memeras penumpangnya. Kejahatan “kerah putih” terjadi di kantor-kantor swasta dan Pemerintah, aparat penegak hukum, hingga menembus ke komunitas agama.

Sopan santun dan etika makin hilang dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kurikulum sekolah 2013, pendidikan budi pekerti dipadukan dengan pendidikan agama. Saat ini sedang dirancang tambahan mata pelajaran yang berjudul PPK (Pendidikan Penguatan Karakter). Para pendidik mengajarkan dan berusaha mengubah bentuk watak/tabiat siswa mereka untuk memanfaatkan akal/perasaan agar dapat mempertimbangkan untuk berlaku baik atau buruk. Para pendidik dituntut pula untuk memberi/menjadi contoh berkelakuan yang baik, sopan, sabar, tenang, suka menolong serta berbelas kasihan.

Hal ini tidak terlepas dari etika, yaitu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik atau buruk berkenaan perilaku manusia (sudut pandang tradisi filsafat).

Ucapan terima kasih, permisi, maaf, salam/pamit, sudah jarang terdengar. Tabrakan saat jalan berpapasan makin sering terjadi, demikian pula saat selesai belanja, bukan penjual yang berterima kasih, tapi lebih sering si pembeli yang mengucapkan terima kasih. Di jalan raya, tiba-tiba mobil/motor berhenti untuk menanyakan letak suatu tempat/jalan dan setelah dijawab langsung tancap gas.

Budaya antre masih jauh dari kenyataan, bahkan serobot menyerobot terjadi di mana-mana. Bukan hanya di jalan raya, melainkan juga terjadi saat mengambil sajian dalam pesta-pesta di gedung mewah. Setelah makanan didapat, terdengar ketukan sendok/garpu dan suara-suara keras/nyaring. Di sudut ruangan, duduklah sepasang muda perlente makan dengan tenang, dan tidak menghiraukan sepasang lansia yang berdiri di samping mereka dengan tangan bergetar memegang piring. Seorang ibu tua di dekat mereka menggerutu: “O, o, die jonge mensen zijn ongemanierd” (anak-anak muda itu tidak sopan). Kami teringat, saat Pastor Rick Warren dari Saddleback Church di Lake Forrest CA mengungkapkan pengalamannya di tempat parkir. Mobil-mobil saling sodok memperebutkan tempat untuk parkir dan bahkan ada beberapa pengemudi yang beradu mulut. Beliau dengan sabar menunggu giliran di kejauhan dan datanglah seorang lansia menghampirinya, sambil berkata: “Anda sangat sabar dan tenang, pasti Anda rohaniwan.”

Pengetahuan budi pekerti seharusnya mulai diajarkan di rumah, meluas di sekolah dan di berbagai komunitas, termasuk komunitas agama. Pendidikan budi pekerti bukan hanya sekadar untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, melainkan harus dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Budi pekerti harus dapat mengubah perilaku sehingga akhirnya menjadi budaya keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26).

Pudarnya kejujuran, kesantunan, dan etika memicu demoralisasi di masyarakat dan sudah makin nyata terjadi, seperti: keberingasan sosial, pemerkosaan, korupsi, kejahatan, kekerasan termasuk KDRT, serta tak terkendalinya pesta/tontonan/pemberitaan yang tidak edukatif. Budaya tepa selira mengajarkan: Kita baru senang apabila orang lain senang dan kita ikut sedih, jika orang lain sedih. Manusia tidak akan menyusahkan/menghina orang lain, karena dia sendiri tidak mau disusahkan/dihina orang. Selain itu manusia juga senang dihormati/disayang, maka dia pun harus menghormati/menyayangi orang lain. Saat ini budaya tepa selira makin luntur dan terjadi kebalikan dari yang diajarkan.

Hanya dengan budaya jujur, santun dan beretika, kehidupan suatu bangsa akan nyaman dan makmur serta bebas korupsi. Untuk mencapai hal ini, aspek pendidikan yang mengutamakan kejujuran dan etika menjadi kunci utama. Bagi orang beragama yang saleh berlandaskan kasih, maka jujur, santun dan etika, seharusnya telah terpadu dalam perwujudan kehidupan di masyarakat. Untuk memperoleh simpati dari orang lain, tidak cukup hanya dengan harta, namun harus didasari dengan wajah dan perilaku yang baik. Sebagai makhluk yang diciptakan serupa Allah, manusia perlu mengembangkan sifat cinta kasih, takut akan Allah, memiliki kecerdasan/keterampilan, budi pekerti yang luhur, ramah lingkungan dan ikut bertanggung jawab mewujudkan komunitas serta masyarakat luas yang jujur, santun dan beretika.•

» Harry tanugraha

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...