Sementara acara bedah buku “Dengarlah yang Dikatakan Roh” yang ditulis oleh Pdt. Eka Darmaputera tengah berlangsung di GKI Pondok Indah, di pembaringan sebuah rumah sakit, penulis sedang berjuang melawan penyakit kanker hati yang ia derita sebagai seorang “atlit sejati yang ingin segera mengakhiri pertandingan yang baik dengan tetap memelihara iman”
Pdt. Eka Darmaputra akhirnya meninggalkan kita semua pulang ke Rumah Bapanya di Sorga tetapi dengan meninggalkan kesan yang amat indah sebagai teladan bagi setiap kita yang masih berada di arena pertandingan.
Selama 21 tahun Pdt. Eka telah berjuang melawan penyakitnya itu. Dan akhirnya hari Senin tanggal 27 Juni 2005 suara lembut Bapa Sorgawi yang mengasihinya memanggilnya pulang membebaskannya dari semua penderitaannya. “Cukup sampai di sini anak-Ku, pulanglah!”
Inilah kesan indah yang ditinggalkannya itu: Pdt. Eka Darmaputra di akhir kembaranya di dunia ini menyempatkan diri melayangkan sebuah surat syukur untuk dibacakan pada acara doa bersama di rumah Pdt. Em. Suatami Sutedja tanggal 8 Maret 2005 dan juga dalam acara yang sama di GKI Panglima Polim tanggal 9 Maret 2005. Surat ini berisi pelajaran yang indah bagi setiap anak Tuhan dalam menghadapi akhir perjalanan kembara di dunia fana ini.
Inilah suratnya terakhir yang ditulis di tengah pergulatannya melawan penyakit kanker hati di ujung pengembaraannya itu:
Rekan-rekan sepelayanan, kawan-kawan seperjuangan, dan saudara-saudara seiman yang saya kasihi dengan segenap hati!
Terpujilah Tuhan yang telah berkenan mengantarkan saya melalui perjuangan panjang, kurang lebih 21 tahun lamanya! Selama 21 tahun itu, saya akui, saya tidaklah seperkasa singa, sekuat gajah atau setegar baja. Saya adalah “darah” dan “daging”, manusia biasa-biasa saja, yang sekadar berusaha untuk setia kepada Tuhannya.
Tidak jarang, 21 tahun itu saya lalui dengan amarah, cemas, dan rasa terluka di jiwa. Namun demikian, pada saat yang sama, tahun-tahun tersebut juga adalah tahun-tahun yang amat “kaya” dan limpah dengan rahmat dan berkat.
Saya disadarkan, betapa Tuhan yang saya ikuti tak selalu menyenangkan, tapi tak pernah Ia mengecewakan. Mata rohani sayapun dicelikkan, untuk melihat betapa saya adalah orang yang sangat diberkati. Tuhan mengaruniai saya dengan kekayaan yang luar biasa, berupa istri, anak dan menantu yang maknanya tak tergantikan oleh apapun juga.
Dan saya ditakjubkan serta amat diteguhkan oleh ribuan sahabat yang begitu peduli memperhatikan dan menyayangi saya. Mereka terdiri dari segala bangsa, tinggal di pelbagai belahan dunia, penganut beraneka ragam agama dan berasal dan beragam usia serta kedudukan sosial, dari seorang presiden Republik Jerman sampai seorang tukang parkir jalanan.
Kesimpulannya: Apalagi yang masih kurang? Apalagi yang pantas saya tuntut?
Saudara-saudara sekalian, kini saya telah hampir tiba di penghujung jalan, berada di etape-etape akhir perjalanan hidup saya. Para dokter telah menyatakan tak ada lagi tindakan medis yang signifikan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan saya, kecuali mungkin dengan transplantasi hati.
Dalam situasi seperti itu, ketika tangan dan upaya manusia tak lagi mampu melakukan apa-apa yang bermakna, kita bersyukur karena bagi orang beriman selalu ada yang amat berarti yang dapat dilakukan. Dan itulah yang kita lakukan malam ini: BERDOA. Kita menyatakan penyerahan diri kita, seraya mempersilahkan tangan-Nya bertindak dan kehendak-Nya berlaku dengan leluasa. Dalam hubungan ini, perkenankanlah saya menceritakan sebuah kesaksian.
Pada suatu ketika sewaktu “lunch break”, anak saya Arya yang berdiam dan bekerja di Sidney diajak ngobrol oleh salah seorang rekan sekantornya yang dikenal punya “indra keenam”. Tanpa “ba” dan “bu” teman tersebut bertanya: Apakah ayah Arya adalah seorang pejabat atau seorang tokoh masyarakat?
“O, tidak, ayah saya seorang pendeta”, jawab Arya.
“Adakah ayah anda sedang sakit?” tanyanya pula.
“Ya, sudah 20 tahun” kata Arya.
Kemudian terjadilah sesuatu yang mengejutkan yang mendorong saya menceritakan kejadian ini. Orang itu, ia bukan “orang Kristen” berkata:
“Ayah anda itu seharusnya sudah lama pergi!. Tapi masih bisa bertahan sampai sekarang, karena ada ribuan orang di seluruh dunia yang selalu berdoa baginya!”
Melalui kisah ini saya mengatakan, betapa berartinya yang kita lakukan malam ini! Sebab itu, tolong jangan pernah anda katakan “Saya cuma bisa berdoa!” Doa itu, bukan “Cuma”!
Terima kasih dari lubuk hati terdalam saya, Evang, Arya dan Vera, kepada para rekan yang telah memprakasai dan memfasilitasi acara petang ini. Pekerjaan sederhana ini, saya yakin tidak sia-sia. Namun demikian ada permintaan saya: Bila anda berdoa untuk saya baik di sini maupun di mana saja, saya mohon janganlah terutama memohon agar Tuhan memberi saya kesembuhan atau mengaruniai saya usia panjang, atau mendatangkan mujizat dahsyat dari langit! Jangan! Biarlah tiga perkara tersebut menjadi wewenang dan “urusan” Tuhan sepenuhnya!
Saya cuma mohon didoakan agar sekiranya benar ini adalah tahap pelayanan saya yang terakhir biarlah Tuhan berkenan memberikan saya dan keluarga saya keteguhan iman, kedamaian dan keikhlasan dalam jiwa. Semoga Tuhan berkenan menganugerahi saya perjalanan yang tenang, kalau boleh tanpa kesakitan dan tidak mahal biayanya sampai saya tiba di pelabuhan tujuan. Dan kemudian, biarlah tangan Tuhan dengan setia terus tanpa putus menggandeng, bila perlu menggendong Evang, Arya, Vera serta (mudah-mudahan) cucu-cucu saya, melanjutkan perjalanan mereka.
Saudara-saudara sekalian, Paulus pernah menulis “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia, bagiku itu berarti bekerja memberi buah, jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu!” (Filipi 1: 21-22). Itulah kerinduan saya segera bersama-sama Kristus. Namun bila Ia masih menghendaki saya di dunia ini, entah lama, entah sebentar, doakanlah saya agar itu dapat saya manfaatkan untuk bekerja memberi buah.
Tidak berlama-lama di pembaringan dan dalam kesakitan, demikianlah Saudara-saudara isi hati saya! Saya mengikuti persekutuan Saudara-saudara malam ini dengan terima kasih yang dalam dan keharuan yang sangat. Dan tolong jangan lupa berdoa pula bagi hamba-hamba-Nya yang kini juga tengah bergulat dengan penyakit, khususnya Andar Ismail dan Lydia Zakaria.
Terima kasih dari kami berempat, Eka Darmaputra.
(mjw/rw/skt)
* Surat Pdt. Eka Darmaputra ini sesuai yang diungkap Reflecta, kiriman Sumbada.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.