Haleluya, Segala puji dan syukur kami panjatkan selalu kepada Tuhan Yesus Kristus, Sang Pemberi Berkat.
Menerima dan menjalani panggilan pelayanan sebagai pendeta pada jemaat kecil di pedesaan merupakan tantangan tersendiri bagi saya. Apalagi Jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) tempat saya melayani sebagai pendeta sekarang ini termasuk sebuah jemaat kecil di pedesaan, bahkan tergolong jemaat pelosok desa.
Berada di wilayah Propinsi Jawa Barat paling timur, di pesisir sungai Citanduy, Banjar Patroman (40 km dari Ciamis, 60 km dari Tasikmalaya dan Pantai Pangandaran. Dari seluruh kepala keluarga yang berjumlah 44 KK, hampir semuanya bekerja sebagai petani sederhana atau buruh tani dengan penghasilan yang tidak menentu.
Persoalan klasik yang menjadi pergumulan jemaat pedesaan pada umumnya antara lain hal perekonomian gereja, yaitu bagaimana dengan keterbatasan ekonomi, gereja dapat menjalankan tugas panggilannya untuk memelihara iman jemaat dan bersaksi memberitakan Injil.
Masalah keterbatasan ekonomi gereja juga menjadi pergumulan jemaat yang saya layani ini sejak dulu. Bahkan sampai tahun 1998 ada Visitator Sinode GKJ yang mensurvai kelayakan gereja ini untuk memiliki pendeta sendiri, (rencana program wiyata bhakti) kesimpulannya bahwa gereja ini tidak layak untuk mempunyai pendeta sendiri.
Karena gereja ini memang belum layak mempunyai pendeta sendiri, maka sejak terbentuknya persekutuan jemaat 50 tahun yang lalu dan setelah 26 tahun didewasakan menjadi gereja, jemaat ini baru dapat menahbiskan pendeta pertamanya atas diri saya.
Selalu defisit
Sampai saat ini, hampir setiap bulan bendahara gereja melaporkan defisit anggaran atau saldo minus. Total pendapatan gereja dari persembahan jemaat setiap bulan berkisar antara Rp 750.000.- sampai Rp 850.000,-.
Namun demikian, selama enam (6) tahun saya melayani, Tuhan selalu mencukupkan segala kehidupan saya sekeluarga dan pelayanan dapat berjalan sesuai dengan kemampuan yang ada. Bahkan jemaat semakin berkembang dan bertumbuh dengan baik dan memperoleh banyak kemajuan. Berbagai kemajuan itu antara lain:
- Pertambahan jumlah jemaat dari 30 KK menjadi 44 KK, dari 106 jiwa menjadi 144 jiwa. Pertambahan itu berasal dari pertobatan, kelahiran dan perkawinan serta pindahan jiwa dari daerah lain.
- Sumber daya manusia semakin baik. Semula rata-rata berpendidikan SD-SMP, sekarang SMA dan Perguruan Tinggi. Berkat bantuan dari GKI Pondok Indah untuk pertamakalinya ada sarjana berprestasi, lulusan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sebentar lagi akan menyusul lulusan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Gereja juga menyalurkan beasiswa untuk 50 anak SD, SMP dan SMA baik dari warga gereja maupun anggota masyarakat lainnya.
- Pengembangan ekonomi jemaat sudah mulai berjalan. Program yang belum lama dimulai ini, gereja sekarang telah memiliki lebih dari 30 ekor kambing. Kambing ini merupakan hasil dari kerjasama yang dijalin antara GKJ Waringinsari dan GKI Pondok Indah. Sebagian besar kambing gereja ini dipelihara oleh masyarakat sekitar. Gereja juga telah memiliki sebidang tanah sawah dan Dana Abadi lokal lebih dari Rp 50 juta.
- Beberapa penambahan bangunan di komplek gereja, antara lain: aula remaja, perluasan pastori, kantor gereja, sertifikasi tanah dan IMB untuk gedung gereja, dan lain-lain.
Semua kemajuan tersebut saya yakini dapat terjadi karena campur tangan Tuhan Yesus sendiri, melalui uluran tangan berbagai pihak yang peduli pada pelayanan di pedesaan, termasuk dalam bentuk kerjasama pelayanan dengan Jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta.
Saya sekeluarga juga senantiasa merasakan berkat dan pertolongan Tuhan selalu tepat pada waktunya. Hal ini sungguh sangat saya rasakan, baik ketika isteri saya sakit typus hingga harus dirawat di rumah sakit atau waktu anak kami lahir dan juga segala kebutuhan sehari-hari, semua keperluan ini diberikan Tuhan tepat pada waktunya.
Tuhan menggerakkan hati dan mengutus para hamba-Nya yang lain untuk menjadi saluran berkat bagi saya sekeluarga. Warga gereja dan jemaat GKI Pondok Indah juga terus dipakai Tuhan untuk menjadi saluran berkat itu bagi kami.
Setiap tahap dalam pelayanan selalu kami nikmati dengan penuh ucapan syukur. Kami bersyukur ketika dua tahun pertama pelayanan, saran transportasi yang ada hanya sebuah sepeda jengki. Sampai sekarang jalan yang dilalui masih berlumpur jika hujan dan berdebu serta “nggronjal-nggronjal” waktu kemarau. Kami juga bersyukur ketika sepeda motor sekarang menjadi sarana pelayanan kami.
Tantangan lain
Ada tantangan lain yang kami rasakan sekeluarga dari lingkungan pelayanan. Kita semua tahu dari catatan sejarah bangsa Indonesia, bahwa Kabupaten Ciamis dan sekitarnya merupakan basis Islam garis keras DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Sekarang juga masih menjadi salah satu basis kelompok Islam garis keras. Sampai sekitar tiga tahun lalu, perusakan dan pembakaran gereja dan rumah orang Kristen masih terjadi di sekitar daerah pelayanan saya.
Itulah sebabnya mengapa surat pindah penduduk yang saya bawa sewaktu pindah dari Jakarta tahun 1999 ditolak oleh pihak pemerintahan desa setempat dengan berbagai alasan dan diharuskan menambahi berbagai syarat. Hal itu terutama karena mereka tahu bahwa saya akan menjadi pendeta di desa ini.
Akhirnya saya urus kembali ke Jakarta berbagai persyaratan yang diperlukan pihak pemerintahan desa itu. Namun setelah surat pindah dan berbagai persyaratan lainnya sudah terpenuhi secara lengkap, dokumen tersebut tidak saya berikan ke pemerintahan desa, melainkan saya serahkan ke kantor kecamatan yang membawahi desa itu, sehingga saya sekeluarga dapat diterima sebagai penduduk setempat.
Tantangan iman juga saya rasakan pada empat bulan pertama pelayanan saya di desa itu. Pada suatu malam Minggu, ketika saya sedang melayani para remaja-pemuda di gereja, tiba-tiba datang ratusan massa dengan membawa obor dan berbagai senjata tajam hendak menghancurkan gereja dan menghabisi pendeta beserta keluarganya.
Sebagai alasan niat massa itu menyerang gereja adalah karena ada pohon orang Kristen (bukan warga jemaat gereja saya) yang roboh terserang angin dan menimpa pagar masjid yang terletak di depan gereja. (Gereja kami berhadapan persis dengan masjid tersebut).
Massa mulai tidak terkendali ketika pemilik pohon itu melarikan diri dan bersembunyi. Pertama mereka mengancam keluarga kyai yang bersahabat dengan kami sekeluarga agar mereka tidak usah membela kami. Jika mereka nekad, maka kyai sekeluarga yang akan terlebih dulu mereka habisi.
Selanjutnya sebagian massa dengan kasar mulai masuk ke rumah salah seorang sesepuh gereja yang tinggal paling dekat dengan gereja. Sementara sebagian massa lainnya (yang kemudian ketahuan berasal dari daerah basis Islam garis keras) mulai berteriak-teriak dengan mengatakan “Sembeleh pendetane ndisik” (Sembelih pendetanya terlebih dahulu), “Ayo gempur gerejane” (Ayo kita gempur gerejanya) serta kata-kata yang bersifat provokatif lainnya untuk mendorong massa bergerak.
Melihat situasi seperti itu, saya meminta semua remaja-pemuda gereja untuk segera meninggalkan gedung gereja. Dan saya langsung masuk ke dalam rumah sesepuh gereja yang sedang dipojokkan massa tersebut dengan perlakuan kasar. Dengan penuh keyakinan akan pertolongan Allah, saya bersama sesepuh gereja tersebut mencoba menenangkan dan berdialog dengan mereka.
Sementara itu, di luar rumah ada beberapa ibu warga gereja saya dan mendengar keributan yang terjadi. Di antara mereka kemudian ada seorang ibu dengan berani menghadang kerumunan massa itu dan berkata “sak durunge nyembeleh pendetaku, sembeleh ndisit aku, nyoh tak mapan” (Sebelum menyembelih pendeta saya, sembelih dulu saya, ini saya sudah siap. Red), dan suasanapun semakin tegang.
Pada akhirnya atas segala hikmat dan kuasa Tuhan, ratusan massa yang sudah siap membakar dan menghancurkan, bahkan siap menganiaya semua orang Kristen itu mulai dapat terkendali dan akhirnya membubarkan diri tanpa ada korban… Halleluya!
Esok paginya saya mengajak warga gereja saya dan gereja lain untuk memulai pekerjaan perbaikan pagar masjid yang kejatuhan pohon tadi.
Terjalin persahabatan
Puji Tuhan, melalui berbagai dialog dan pendekatan yang kami lakukan terus-menerus, hingga sekarang ini hubungan gereja dengan masyarakat dan pemerintah desa telah terjalin dengan baik.
Persahabatan saya dengan kyai sepuh yang tinggal di samping masjid yang berada di depan gereja saya, maupun dengan warga Muslim juga tetap baik. Setiap hari pak kyai membuat dan menjual tempe, dan hampir setiap hari pula saya sekeluarga makan tempe buatannya.
Ketika isteri saya baru melahirkan, keluarga pak kyai turut menyumbang dana, demikian pula ketika pak kyai sakit, saya boncengkan beliau ke Puskesmas. Insyaallah, hubungan kami tidak terpengaruh oleh berbagai provokasi dari luar.
Jika semula anggota masyarakat setempat tidak menghargai keberadaan gereja serta menolak segala bantuan dari gereja, termasuk menolak batu untuk memperbaiki jalan, maka sekarang ini kehadiran gereja dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Masyarakat tidak hanya mau menerima batu pemberian gereja untuk perbaikan jalan, tetapi kini justru mereka yang memintanya.
Masyarakat juga mau memelihara kambing yang ditawarkan oleh gereja, bersedia menerima beasiswa untuk anak-anak sekolah mereka, menerima pelayanan kesehatan dari gereja serta bersedia menerima berbagai bantuan dan pemberian dari gereja. Semua yang kami berikan itu kami peroleh dari berbagai pihak yang peduli pada pelayanan gereja di pelosok pedesaan.
Demikian pula sampai saat ini saya sering diminta untuk memberikan saran dan masukan untuk kemajuan desa, baik dari masyarakat maupun dari pemerintahan desa … Puji Tuhan!
Kendati demikian, kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras beberapa waktu lalu, masih sering terjadi di wilayah sekitar tempat pelayanan saya. Sehingga pernah ada seorang pendeta gereja Pentakosta (sekitar tujuh kilometer dari tempat pelayanan saya dan dekat dengan basis kelompok Islam garis keras di Banjarsari) yang dibacok oleh seseorang dengan golok ketika sedang berbelanja di pasar.
Bacokan tersebut mengenai leher dan pipi kirinya. Ajaib! Tuhan melindungi dirinya… Namun, meski tidak sampai meninggal dunia, mata kiri hamba Tuhan tersebut kini menjadi buta. Padahal, baru sekitar dua bulan isterinya meninggal.
Hamba Tuhan itu kini hidup bersama dua orang anaknya, satu diantaranya adalah seorang anak perempuan yang masih balita. Saya mengajak anggota jemaat saya serta sahabat-sahabat saya untuk bergantian menjenguk dan membantunya.
Saya juga menceritakan kejadian tersebut kepada sebuah rombongan ibu-ibu dari Jakarta yang mengadakan kunjungan kasih ke gereja saya. Dan rombongan tersebut menyerahkan dana sebesar Rp 2 juta melalui gereja saya untuk disampaikan kepada hamba Tuhan dari gereja Pentakosta yang terkena musibah tersebut.
Atas dasar keyakinan iman dan banyaknya anugerah Tuhan Yesus Kristus yang terus saya lihat, terima dan rasakan itulah, maka ketika ada kesempatan untuk mengembangkan diri dan pelayanan melalui studi lanjutan pada jenjang strata dua (S-2) dalam program studi Master of Ministry di Universitas Kristen “Duta Wacana” di Yogyakarta, maka kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan.
Sampai sekarang, dukungan jemaat berupa surat rekomendasi studi dan doa, telah menjadi modal utama bagi saya dalam menjalani studi ini. Sekalipun di tangan saya tidak pernah memegang dana untuk studi lanjut, diperkirakan sebesar Rp 25 juta untuk keperluan studi dan lain-lain selama dua tahun, namun Puji Tuhan, sekarang sudah dapat menyelesaikan semester tiga dari empat yang harus saya jalani.
Dana studi yang diberikan Tuhan melalui Sinode GKJ sebesar Rp 3 juta sampai selesai dan dari almarhum Bpk. Radius Prawiro melalui sebuah yayasannya sebesar Rp 4 juta sampai selesai, dan bantuan dana studi dari kedua lembaga tersebut sudah saya terima.
Demikian pula bantuan dari jemaat GKI Pondok Indah sebesar Rp 1 juta yang dikirim melalui rekening pribadi saya dan dari jemaat GKI lainnya di Jakarta melalui seorang teman pendeta yang melayani di jemaat itu, telah mengusahakan bantuan studi dari gerejanya sebesar Rp 2 juta dan dikirim langsung ke rekening kampus di BNI atas nama Universitas Kristen “Duta Wacana”.
Hal ini bukti bahwa selain keluarga dan jemaat GKJ, para hamba Tuhan dari gereja lain juga sangat peduli dan memperhatikan studi saya. Semua berkat Tuhan ini sungguh di luar dugaan saya. Tuhan memang sering bertindak di luar dugaan kita. Inilah kenyatannya… Hingga saat ini memang saya masih mempunyai tunggakan yang belum saya bayar, yaitu sumbangan pertama masuk kuliah dan konsumsi sebesar Rp 2.300.000,- ditambah dana untuk semester empat (mulai 12 Oktober 2005) sebesar Rp 2.400.000,-. Tetapi saya yakin dan percaya bahwa Tuhan akan mencukupkan semua keperluan studi saya tersebut. Tuhan pasti tahu akan kesungguhan hati saya untuk terus belajar dan mengembangkan diri dalam pelayanan.
Hanya Tuhan Yesus
Dalam segala hal yang telah saya jalani, saya memang bukan orang hebat, sama sekali tidak hebat. Bagi saya, yang hebat hanya Tuhan Yesus Sang Penuntun si Jati. Apa hebatnya saya?
Sebagai contoh, setiap akan kuliah, bahkan sampai sehari menjelang keberangkatan ke Yogyakarta, hati saya selalu harap-harap cemas, karena tidak ada uang di tangan. Untung selalu masih ada sedikit tempat untuk iman di hati, sehingga berkat Tuhan selalu dapat dinikmati tepat pada waktunya.
Sekarang inipun, menjelang awal kuliah di akhir studi ini, harap-harap cemas juga ada di hati, semata-mata karena belum ada dana di depan mata (Ini mungkin karena iman saya masih belum sebesar biji sesawi seperti Firman Tuhan Yesus). Semoga sedikit tempat bagi iman di hati ini terus membuat berkat tiada berhenti. Amin.
Saya senang sekali dapat bertegur sapa dengan Bapak, Ibu dan Saudara semua di GKI Pondok Indah melalui media ini. Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan di hati. Tetapi jika berkenan, kiranya Bapak, Ibu dan Saudara dapat menjalin hubungan dengan saya sekeluarga.
Semoga surat terbuka ini berguna untuk menguatkan iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Sebab Tuhan Yesus memang hebaatt!!!
Desa Indah Penuh Tantangan Iman dan Kasih, 29 Agustus 2005
Teriring Salam Hormat dan Doa.
Pdt. T.A. Hartono Jati, S.Si. GKJ. Waringinsari, Sukanegara, Banjar, Jawa Barat(Skt)
1 Comment
feb
September 21, 2010 - 12:33 amLuar biasa!