Setelah pesta keramahtamahan ilahi usai, yaitu setelah lebih dari 5.000 orang diberi makan oleh Yesus (Yoh. 6:1-dst.), penginjil Yohanes meneruskan simbol roti untuk menegaskan keilahian Yesus. Sejak ayat 25, percakapan tentang “Roti Hidup” muncul, dimulai dengan catatan tentang orang banyak yang mencari-cari Yesus, si pembuat mujizat.
Terhadap para pencari itu Yesus mengecam keras, bahwa mereka mencari-Nya hanya karena mujizat-mujizat yang Yesus selenggarakan. Mujizat tak lagi menjadi “tanda” (Yun. semeion) yang menggiring manusia pada Allah. Roti adalah tanda yang mustinya menggiring manusia pada Sang Roti Hidup. Ketika manusia terpaku pada tanda dan tak melanjutkan kembara pencarian makna pada Yang Ditandakan, maka tanda-tanda itu berubah menjadi idol, berhala.
Terhadap kegagalan banyak orang untuk beralih dari tanda menuju Yang Ditandakan, Yesus menegaskan dan menyatakan diri, menyibakkan identitas ilahi-Nya. Ayat 35 menjadi satu dari puluhan contoh dalam Injil Yohanes, di mana penyibakan diri Yesus muncul: Ego eimi ho artos tes zoes, Akulah roti hidup.
Di tengah dunia masa kini yang begitu padat dengan simbol-simbol keagamaan, semua orang diundang untuk menemukan Dia Sang Pemberi Hidup. Kita diundang untuk menemukan suara sayup di dalam kerumunan pasar malam agama itu: “Akulah … ego eimi …”
JA
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.