ZEBRA CROSS
Satu hari saya kedatangan seorang tamu dari Eropa, dan saya menawarkannya melihat-lihat objek-objek wisata kota Jakarta. Pada saat kami ingin menyeberang jalan, kawan saya ini selalu berusaha mencari zebra cross. Berbeda dengan saya dan orang-orang Jakarta lainnya yang dengan mudah menyeberang di mana saja, teman saya ini tetap tidak terpengaruh oleh situasi, dan terus mencari zebra cross setiap kali mau menyeberang. Padahal di Indonesia tidak setiap jalan dilengkapi dengan zebra cross. Yang lebih memalukan, meskipun sudah ada zebra cross, para pengemudi tidak mau memberikan jalan dan tetap tancap gas, sehingga rekan saya sering menggeleng-gelengkan kepala, tanda begitu kagumnya terhadap perilaku bangsa kita.
Akhirnya saya coba menanyakan pandangan teman saya ini mengenai fenomena menyeberang jalan tadi. Saya bertanya mengapa orang-orang di sini menyeberang tidak pada tempatnya, meskipun tahu bahwa zebra cross adalah untuk menyeberang jalan, sementara dia selalu konsisten mencari zebra cross.
Pelan-pelan ia menjawab pertanyaan saya. Katanya, It’s all happened because of the education system. Wah, bukan main kagetnya saya mendengar jawaban rekan saya. Apa hubungan menyeberang jalan sembarangan dengan sistem pendidikan?
Ia melanjutkan penjelasannya, di dunia ini ada dua jenis sistem pendidikan: yang pertama adalah sistem pendidikan yang hanya menjadikan anak-anak kita menjadi makhluk “knowing” atau sekadar tahu; sedangkan yang lainnya adalah sistem pendidikan yang mencetak anak-anak menjadi makhluk “being”. Maksudnya?
Ya kebanyakan sekolah hanya mengajarkan banyak hal untuk diketahui para siswa, namun tidak mampu membangun kesadaran mereka untuk menerapkan apa yang mereka ketahui itu sebagai bagian dari hidup mereka. Anak-anak hanya tumbuh menjadi makhluk “knowing” yang sekadar mengetahui bahwa zebra cross adalah tempat untuk menyeberang, tempat sampah untuk menaruh sampah, tapi mereka tetap menyeberang dan membuang sampah sembarangan.
Sekolah semacam ini biasanya mengajarkan banyak sekali mata pelajaran, sehingga tak jarang para siswanya stres dan mogok sekolah. Segala macam diajarkan dan banyak hal diujikan, tetapi tak satu pun siswa yang menerapkannya setelah ujian, karena ujiannya hanya sekadar untuk tahu… “knowing”.
Kondisi ini juga akan terbawa dalam kehidupan sosial jika mereka menjadi tenaga ahli. Mereka bisanya hanya mencela, mengkritik, dan tak memberikan teladan dalam implementasi kepemimpinan.
Lebih lanjut ia mengatakan…
Di negara kami, sistem pendidikan benar-benar diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang tidak saja tahu apa yang benar, tapi juga mau melakukan apa yang benar itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Anak-anak hanya belajar 3 mata pelajaran pokok, yakni Ilmu Dasar, Seni Dasar dan Ilmu Sosial yang dikembangkan melalui praktik langsung dan studi kasus terhadap kejadian nyata di seputar kehidupan mereka. Mereka tidak saja tahu, tetapi juga menerapkan ilmu yang mereka ketahui itu dalam keseharian hidup mereka. Anak-anak ini tahu persis alasan mengapa mereka mau atau tidak mau melakukan sesuatu.
Cara ini mulai diajarkan pada anak-anak sejak usia sangat dini agar membentuk kebiasaan yang kelak membuat mereka menjadi makhluk-makhluk “being”, yang melakukan apa yang mereka tahu benar.
Betapa sekolah memegang peran yang sangat penting bagi pembentukan perilaku dan mental anak-anak bangsa.
CATATAN SEORANG MANTAN KSAU
“Pada tahun 1969, saya mengikuti latihan para dasar, terjun payung statik di pangkalan Udara Margahayu Bandung, bersama lebih kurang 120 orang yang ditampung dalam dua barak panjang.
Setiap makan pagi, siang dan malam hari yang dilaksanakan di barak, kami memperoleh makanan ransum latihan yang diberikan dengan ompreng dan/atau rantang standar prajurit. Di ujung barak tersedia ‘drum’ berisi sayur, di sampingnya ada sebuah karung plastik berisi kerupuk milik seorang ibu, yang dijual kepada siapa saja yang merasa perlu/mau untuk menambah lauk makanan jatah.
Sang ibu paruh baya ini tidak pernah menunggui barang dagangannya. Dia meletakkan karung plastik berisi kerupuk dan di sampingnya diletakkan pula kardus bekas untuk tempat uang, bagi orang yang membeli kerupuknya. Setelah selesai waktu makan, ibu itu datang dan mengemasi karung plastik dengan sisa kerupuk dan kardus berisi uang pembayaran kerupuk.
Ibu itu percaya pada semua siswa latihan terjun, karena ia sudah bertahun-tahun berdagang kerupuk di barak tersebut dengan cara demikian. Selama itu, ia tidak pernah mengalami defisit. Setiap orang dengan kesadaran mengambil kerupuk, lalu membayar sesuai harganya. Kalaupun ada kembaliannya, si pembeli mengambil sendiri uang kembaliannya di kardus itu.
Beberapa pelatih terjun bercerita bahwa dalam pengalaman mereka, semua siswa terjun payung yang berlatih di sana tidak pernah berani mengambil kerupuk tanpa membayar. Mereka takut, bila mereka melakukan hal itu, payung mereka tidak akan mengembang dan mereka akan terjun bebas lalu mati berkalang tanah.
Sampai sekarang, saya selalu berpikir, kenapa orang bisa jujur dan dapat dipercaya, hanya karena pintu kematian berada di depan wajahnya? Bagaimana caranya membuat manusia jujur dan dipercaya setiap saat?
RENUNGAN HARIAN
2 Timotius 3:15 Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.
Zaman sekarang, gaya hidup jadi risiko bawaan perilaku korup pejabat di Indonesia. Nilai kesederhanaan sudah tidak ada lagi. Dari partai politik, pejabat, anggota DPR, sampai anak sekolah, sudah teracuni virus materialisme. Yang jadi persoalan adalah, mengapa orang bisa hidup mewah dan sulit berubah? Apakah hanya urusan tampak luar semata yang menjadi tuntutan manusia? Memang pembinaan karakter yang ditanamkan sejak usia muda, bahkan kanak-kanak, sangat penting. Sebab, bila sejak kecil seseorang sudah diajar untuk membandingkan bagusnya baju dengan teman atau saudara, maka hal itu akan memicu persaingan bahwa ia harus unggul dari orang lain, dalam arti fisik. Teknik memotivasi orang dengan materi, sangat marak. Akibatnya, orang menakar kehidupan dari kesuksesan jasmani, berapa uang yang dimiliki, baju yang dikenakan, ponsel yang digunakan, dan sebagainya. Orang yang tidak punya semua itu dianggap gagal. Inilah salah satu taktik Iblis untuk menghancurkan manusia yang seharusnya mewarisi sifat Allah, sebab kita telah diciptakan oleh Tuhan dan diberi napas roh-Nya. Gereja harus berperan dalam pembinaan karakter yang menekankan nilai kesederhanaan. Tetapi itu bukan hal yang baru, sebab dunia pun mampu mengajarkan hal yang serupa. Oleh sebab itu yang terpenting adalah, gereja harus memberi ajaran yang menguatkan roh jemaatnya agar mampu meneladani pribadi Kristus.
Sebagai bagian dari gereja, marilah kita mulai mengubah diri kita agar mencerminkan kehidupan yang seharusnya kita jalani sebagai anak Tuhan. Tentu bukan dengan maksud agar kita menggunakan baju compang-camping dan meninggalkan mobil mewah lalu naik kendaraan butut atau berjalan kaki. Namun, kita harus terus mempelajari kebenaran Injil dan melakukannya. Ketika belajar Alkitab, dengan media apapun, kita sedang memberi makan roh kita, agar hidup dan dipimpin oleh Roh Allah. Maka sebenarnya segala persoalan akan terselesaikan di dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Artinya, kita termasuk akan mengerti kapan menempatkan diri dengan baik dalam semua kegiatan, berusaha tidak melukai orang lain, dan menjadi saksi Kristus yang sejati, termasuk menyaksikan kesederhanaan-Nya. Esensi kekristenan adalah memperkuat roh kita dan memperlemah keinginan daging. Memperkuat roh kita akan lebih mengubah hidup kita daripada sekadar pembinaan karakter.•
Sumber: dari posting kawan-kawan dan Renungan Harian di internet. (Nia Gatugapan)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.