Menjadi Saksi Bagi Sang Terang

Belum ada komentar 587 Views

Kegaduhan dalam menyiapkan sukacita Natal sudah terasa sejak memasuki masa penantian pada Adven pertama. Mal dan toko-toko sekitar perumahan, selain menawarkan berbagai pernak pernik Natal, dengan agak tergesa-gesa dan takut terlambat, sudah mulai memperdengarkan lagu-lagu Natal, maklumlah melodi bernuansa ‘O Holy Night’ itu tidak lagi terlalu punya ‘greget’ kalau diperdengarkan di luar bulan Desember. Sayangnya, ketergesaan itu tidak hanya sebatas dalam menyiapkan perayaan, dalam penyelenggaraan perayaan itu pun acap kali sudah terjadi pada masa Adven (masa penantian). Mungkin karena tidak sabar, masa penantian yang seharusnya merupakan ruang untuk melakukan perenungan menjadi pudar dan cenderung sirna.

Masa penantian (adventus) seharusnya merupakan masa penting, karena menuntut ketabahan dan disiplin untuk tidak berpaling pada jalan lain yang lebih mudah dan menyenangkan. Penantian dapat menjadi saat yang membosankan, tetapi dapat juga menjadi saat di mana kita secara sukarela mendengarkan rencana Allah yang dinyatakan satu demi satu.

Dalam masa Adven kita menantikan kelahiran Yesus. Penantian akan kehadiran Allah sebaiknya disikapi dengan sabar (latin: patior, yang berarti menderita). Menanti dengan sabar berarti menyiapkan diri untuk menderita dalam masa sekarang, menderita karena penantian bukanlah penantian yang kosong atau pasif, seperti menanti datangnya bus, redanya hujan, atau terbitnya matahari, melainkan menanti secara aktif, artinya kita menghayati saat sekarang dengan kesediaan untuk diubah. Layaknya tanah liat yang menyerahkan diri untuk dibentuk sang Pencipta sesuai dengan kehendak-Nya. Apa saja yang terjadi di depan mata, apakah itu sesuatu yang menggembirakan atau bahkan sesuatu yang menyedihkan, seharusnya dipahami sebagai bagian dari rancangan Tuhan dalam rangka membentuk kehidupan manusia sesuai dengan kehendak-Nya.

Idealnya, manusia mampu menderita dengan benar. Viktor Frankl, seorang psikiater Austria yang bertahan hidup dalam kamp konsentrasi Jerman, pernah menafsirkan manusia sebagai homo patient, makhluk yang mampu menderita. Dalam ketangguhan menghadapi keadaan itu, terbukalah kesempatan bagi manusia untuk bertemu dengan makna hidupnya. Namun, menjalani penantian sulit dengan sabar dan benar tidaklah semudah mengucapkannya. Beberapa cerita dalam Alkitab menggambarkan sulitnya menanti dengan benar, bahkan kehilangan pengharapan ketika menjalaninya, seperti bangsa Israel. Sikap pesimistis dan kehilangan pengharapan umat Israel dapat dimengerti, kala memahami tekanan hidup yang begitu berat serta waktu yang cukup lama dalam masa pembuangan. Apa rencana Tuhan di balik seluruh peristiwa ini? Masihkah umat dapat melihat bahwa justru melalui peristiwa ini, Allah akan memurnikan hidup mereka? Sikap hidup yang bimbang ini terjadi karena situasi kehidupan yang mereka alami telah membuat mereka kehilangan iman, kurang sabar, akhirnya jatuh dalam lembah keputusasaan. Karena itu, hati yang seperti “lembah” inilah yang harus diratakan, supaya dapat melihat kemuliaan dan keselamatan yang dari Tuhan. Seruan seperti ini jugalah yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis, ketika ia diberi tugas mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Mengapa? Karena situasinya juga kurang lebih sama ketika Kristus datang dalam dunia ini. Banyak orang yang putus asa menjalani hidup dalam himpitan penderitaan, penjajahan Romawi, pemimpin politik yang korup, pemimpin agama yang munafik dan konformis, telah membawa hati umat menjadi pesimistis dan hilang harapan. Selama hati seseorang dikuasai oleh keputusasaan, ia tidak akan pernah melihat dan menyambut keselamatan yang dari Tuhan.

Masa penantian terkadang terasa seperti palung tanpa dasar, gelap dan tampak tak ada sumber terang. Segala di depan kita tampak tak jelas dan mengkhawatirkan. Kegelapan ini mendadak memucatkan warna-warni hidup. Yang sering terjadi, kita merasa tak lagi punya kekuatan untuk meneruskan mencari sumber terang itu. Atas gejala ini, maka menjalani masa penantian dengan segala tantangannya juga menuntut sikap iman: taat dan setia. Apa yang terjadi di depan kita adalah suatu misteri, setiap hari kita dihadapkan pada hal-hal yang tak terduga. Menerima hal-hal yang tak terduga itu bahkan akan membuka dan menyediakan suatu ruangan baru dalam batin kita. Seperti yang dialami oleh Maria, suatu kejutan yang tak pernah diduganya bahwa ia terpilih sebagai mitra Allah yang akan melahirkan sang Juru Selamat dunia. Maria tunduk karena ia menyadari dirinya sebagai hamba yang taat dan setia menerima apa yang diinginkan oleh yang empunya kehidupan ini. Dalam penantian akan janji Allah itu, Maria membuka diri dan menyediakan ruang dalam batinnya, ia bergumul namun sekaligus menikmati saat-saat bersama dengan Tuhan. Seperti Maria, kita pun tidak dapat memastikan apalagi menguasai sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini, namun kita masih dapat memilih atau menentukan sikap dalam menghadapi atau menerima hal-hal itu. Justru pilihan-pilihan inilah yang menentukan apakah kita menghargai hidup kita dengan mulia atau tidak.

Dalam ketaatan dan kesetiaan menanti, Allah bertindak. Kegelapan dan kemuraman hidup hilang seiring janji penyertaan Allah dalam setiap momen hidup kita. Kita diterangi oleh Allah, sang Sumber Terang itu. Ketaatan dalam penantian memberi pengharapan dalam diri kita. Pengharapan itu mewujud dalam sejarah kedatangan Allah ke dunia. Pengharapan berpuncak pada kehadiran Allah sendiri bagi manusia. Ketaatan dalam penantian membuahkan hasil yang manis. Orang-orang yang berada pada titik ini, menemukan pengalaman iman yang menakjubkan: diterangi oleh Allah sendiri. Maka akhirnya Natal dihayati sebagai perayaan datangnya Sang Terang itu. Namun, perjuangan belum berakhir di sini. Seperti kutipan dalam film Spiderman: “with great power, comes great responsibility”. Sebagai umat yang telah dipenuhi terang dan pengharapan dari Allah, kita memiliki tanggung jawab: menjadi saksi bagi Sang Terang!

Marturia (kesaksian) sebagai salah satu tugas panggilan gereja, perlu mendapatkan perhatian kita yang sama bobotnya dengan koinonia (persekutuan) dan diakonia (pelayanan). Namun kesaksian itu bukanlah kesaksian tentang diri kita semata, melainkan tentang terang Firman Tuhan yang diperhadapkan pada pergumulan yang kita hadapi dalam kehidupan kita. Dengan demikian iman percaya kita akan bertumbuh karena pengalaman nyata ketika mewujudkan Firman Tuhan itu.

Seperti Yohanes Pembaptis, posisinya yang penting tidak dapat dilepaskan dari perannya dalam mempersiapkan jalan untuk kehadiran Tuhan Yesus ke dunia ini. Yohanes bukan Terang itu sendiri, melainkan utusan Allah yang harus memberikan kesaksian tentang terang itu, sehingga banyak orang menjadi percaya. Apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab Yohanes dilanjutkan oleh para murid Yesus dan termasuk kita, yang juga mempunyai kewajiban untuk memberi kesaksian tentang “terang itu.” Kita bukan terang itu, namun perlu menjadi saksi akan kehadiran Sang Terang yang diwujudkan melalui sikap, pemikiran dan tindakan kita dalam kehidupan ini. Kristus yang menerangi hidup kita, sehingga menjadi hidup yang bisa disaksikan oleh banyak orang dan sekaligus menginspirasi dan memberikan pencerahan pada orang lain karena terang yang ada dalam kehidupan kita (Yoh.1:8).

“Akulah terang dunia, barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yohanes 8:12). Firman Tuhan ini menunjuk keberadaan Tuhan Yesus sebagai Sang Terang yang hadir ke dunia. Kehadiran-Nya telah memberikan harapan dan suasana baru bagi dunia yang dikuasai kegelapan, kejahatan, kepalsuan, kemunafikan. Harapan baru itulah yang memberikan keberanian kepada seseorang untuk hidup sebagai “manusia siang yang berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan” (I Tesa-lonika 5:8). Demikian juga kehadiran Sang Terang memberikan suasana baru mata hati kita melihat warna dinamika kehidupan yang terpancar melalui setiap hal yang kita hadapi. Sambutlah Sang Terang dan lihatlah hidup kita akan dicerahkan, pengalaman hidup bersama dengan sang Terang itulah yang akan kita saksikan pada dunia ini, sehingga banyak orang akan mempunyai pengharapan baru dan menikmati cara pandang, sikap berpikir, berbuat, dan berkata yang baru.

Pada akhirnya, semua terang yang lebih kecil akan menjadi pengingat kepada yang lebih besar: terang di timur mengingatkan matahari terbit, terang di barat mengingatkan matahari terbenam, cahaya lembut bulan menjadi pantulan, terang-terang di altar dan tempat suci, terang yang terpantul dan terbias, bahkan berkas terang-terang kecil yang bermain dalam bayangan. Semuanya itu menunjuk pada sumber terangnya. Demikianlah hidup kita akan disaksikan bagai terang-terang kecil, untuk mengingatkan orang kepada sumber Terang yang tak terlihat, Sang Terang yang sepatutnya dipuji, disembah dan dimuliakan. Soli Deo Gloria!

» Pdt. Tumpal Tobing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...