69 Tahun Indonesia Merdeka

69 Tahun Indonesia Merdeka

Belum ada komentar 71 Views

Hari Minggu 17 Agustus 2014, kita merayakan hari kemerdekaan bangsa dan hari ulang tahun negara kita Indonesia yang ke-69. Sebuah usia yang belum tergolong tua, tetapi juga tidak terlalu muda bagi sebuah bangsa. Menjelang usia yang ke-69 ini, bangsa kita melakukan hajatan-hajatan besar. Tanggal 9 April yang lalu, kita melaksanakan pemilihan umum (pileg) demokratis yang ke-5, lalu pada tanggal 9 Juli kita melaksanakan pemilihan presiden langsung ke-3. Memang, setelah 59 tahun merdeka, barulah pada tahun 2004 ini kita melakukan sirkulasi 5-tahunan kekuasaan di negara kita dengan cara demokratis. Semua anggota badan perwakilan dipilih oleh rakyat, tidak ada lagi yang diangkat. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi 5 tahun dan hanya boleh menduduki jabatan tersebut untuk 2 masa jabatan berturut-turut. Sebelumnya, kita pernah mempunyai seorang Presiden seumur hidup dan seorang Presiden yang terus-menerus. Pada masa Orde Lama, DPR kita bukan hasil pemilu. Pada masa Orde Baru, DPR bukan hasil pemilu yang demokratis.

Ada perubahan besar yang terjadi pada negara kita menjelang akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini. Kita berhasil melakukan reformasi fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia berubah dari negara tidak demokratis terbesar ke-2 di dunia setelah Tiongkok menjadi negara demokrasi terbesar ke-3 dunia, setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia yang sangat majemuk, dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, telah mengejutkan dunia sebagai keajaiban demokratisasi (Mirjam Kunkler & Alfred Stephan, 2013).

Melalui amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002, Indonesia telah menganut demokrasi konstitusional, di mana kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut ketentuan konstitusi. Artinya, kedaulatan rakyat dilakukan sejalan dengan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, menghormati hak-hak tradisional, dan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Amandemen juga mempertegas peran dan tanggung jawab negara memajukan pendidikan yang adil dan terjangkau dan untuk membangun ekonomi kesejahteraan yang berkeadilan.

Sekarang, untuk menjadi Presiden, seseorang tidak harus beragama Islam (seperti wacana sebelum kemerdekaan), tidak pula harus orang asli (seperti ketentuan UUD 1945 yang lama, sebelum amandemen), tetapi harus WNI sejak kelahirannya. Ketentuan ini sesuai dengan hakikat Sumpah Pemuda, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bhinneka-tunggal-ika, sebuah bangsa yang majemuk dan bersatu. Bukan bangsa yang dibentuk berdasarkan sentimen suku, agama, ras, dan asal-usul. Bangsa Indonesia dipersatukan oleh cita-cita luhur untuk bersama-sama hidup dalam keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945.

Perlu dicatat bahwa tidak semua negara berhasil melewati masa transisi dengan selamat. Uni Soviet lenyap dari muka bumi, demikian pula Yugoslavia dan Cekoslowakia yang telah menjadi kenangan sejarah. Mesir masih terjebak dalam masa peralihan yang melelahkan, belum selesai sampai sekarang. Begitu pula Irak dan banyak negara lain. Myanmar masih belum menemukan jalan yang tepat untuk melaksanakan reformasi.

Pada sisi lain, Indonesia telah menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-10 dunia (GDP-PPP), setelah AS, Tiongkok, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Prancis, dan Inggris (World Bank 2014). Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong tinggi (5.8%, World Bank 2013). Indeks pembangunan manusia (HDI) terus membaik, dari 0.540 pada tahun 2000 menjadi 0.629 pada tahun 2012 (UNDP 2013). Artinya jangkauan ketersediaan sarana pendidikan, kesehatan dan sejenisnya telah makin membaik. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 5,70%, turun dibanding TPT Agustus 2013 sebesar 6,17% dan TPT Februari 2013 sebesar 5,82% (BPS Mei 2014). Di samping itu, anak-anak Indonesia juga sering menjuarai olimpiade sains dunia, dan sebagainya.

Pers Indonesia adalah salah satu pers yang paling bebas dan terbuka di dunia. Dan pada sisi lain, ada fenomena baru yang menarik. Dari daerah-daerah mulai muncul para pemimpin yang berkarakter pelayan masyarakat, kepala-kepala daerah yang berjuang membersihkan aparat dari perilaku koruptif, menghargai karyawan yang berprestasi dan tidak segan menghukum pegawai yang curang.

Memang, cukup banyak kemajuan yang telah kita capai.

Berbagai Tantangan
Namun kita juga harus melihat dengan jujur permasalahan dan juga kemunduran yang kita alami. Misalnya, sistem politik kita belum tuntas dibangun menurut ketentuan konstitusi. Seharusnya, kita menganut sistem presidensial, tetapi bentuk kabinet koalisi yang diterapkan selama ini menyebabkan sistem presidensial menjadi lemah, dibebani oleh berbagai kepentingan koalisi. Walaupun hak warga untuk mendirikan partai politik tetap dihormati, tetapi jumlah partai politik peserta pemilu masih terlalu banyak dan harus disederhanakan, melalui penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang progresif. Maksudnya agar sistem presidensial ditopang oleh jumlah partai yang kecil, 5-6 partai politik saja.

Demikian pula, seharusnya pilpres dilakukan serentak dengan pemilihan legislatif dan capres sudah diumumkan sebelum pemilu. Hal itu diatur oleh konstitusi dengan maksud untuk mencegah politik dagang sapi dan transaksional antar partai dan kerja sama partai politik dilakukan atas dasar visi dan misi membangun bangsa. Juga untuk mencegah kecenderungan politik oportunis tidak berkarakter seperti yang dipertontonkan banyak politisi sekarang.

Sesungguhnya, tidak diperlukan koalisi, sebuah sistem yang tidak dikenal oleh UUD 1945. Sayangnya DPR dan Presiden membuat UU yang keliru. Baru tahun 2019, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, pilpres akan serentak dengan pileg dan capres diumumkan sebelum pemilu, tidak menunggu hasil pemilihan legislatif.

Di lain pihak, walaupun ekonomi bertumbuh cukup pesat, tetapi perbedaan kaya-miskin membesar (BPS 2012). Kesenjangan pembangunan antar daerah masih jauh dari teratasi. Impor bahan pangan utama meningkat, penanda bahwa ketahanan pangan kita melemah. Kesejahteraan petani dan nelayan, demikian pula kaum pekerja pada umumnya, masih kurang memperoleh perhatian.

Seiring dengan menurunnya toleransi, kekerasan atas nama agama meningkat (Wahid Institute). Dukungan terhadap paham negara agama masih hidup, terlihat dari dukungan dan baiat terhadap negara khilafiyah ISIS (Islamic State of Syria and Iraq). Sejalan dengan itu kelompok fundamental-radikal-terorisme masih bergiat. Demikian pula, benturan antara hak tradisional yang sah dengan kekuasaan masih sering terjadi.

Disiplin sosial masih rendah. Gaji terlalu kecil, sementara korupsi dan suap di mana-mana. Gaya hidup konsumtif ditopang oleh pendapatan yang tidak halal. Banyak yang menghalalkan segala cara untuk keuntungan pribadi. Kerja keras dan kejujuran masih sesuatu yang langka. Sampah juga di mana-mana. Pemandangan biasa dari mobil-mobil mewah yang membuang sampah ke jalan, karcis tol dilemparkan ke jalan begitu saja. Seluruh dunia, termasuk kali, adalah tempat sampah gratis. Lalu lintas semrawut. Pejalan kaki, pengendara sepeda, penyeberang jalan, bagai bertarung nyawa. Terutama di berbagai pojok kota besar, kehidupan berjalan mengikuti hukum rimba. Aturan tidak punya arti. Secara umum, hukum tidak dihormati dan tidak cukup ditegakkan. Sedangkan tanpa penegakan hukum dan disiplin sosial, dalam sekejap demokrasi akan berubah menjadi anarki.

Pada umumnya, karakter manusia dan keadaan Indonesia belum siap dan harus dipersiapkan untuk mencapai kemajuan yang lebih hakiki-substansial.

Era 2014 -2019 dan Seterusnya
Melalui pilpres 2014 rakyat telah memberikan mandat kepada Presiden dan Wakil Presiden baru. Melalui pilpres itu, kita melihat betapa rakyat, melalui jutaan sukarelawan, menunjukkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab atas negeri ini. Luar biasa. Tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa rakyat kita tidak tahu apa-apa.

Selanjutnya, kita berharap, ke-pemimpinan nasional era baru akan fokus menjawab tantangan yang nyata menghadang di depan. Pemimpin kita tidak perlu berpidato berapi-api, beretorika tinggi, lebih suka berbicara pada tataran garis besar dan abstrak. Dulu, pada waktunya, itu memang diperlukan, tetapi era itu telah lama lewat.

Begitu pula, tidak ada perlunya berharap untuk kembali ke era lama, era otoriter yang katanya menjanjikan keamanan dan kemajuan ekonomi, tetapi dengan bayaran hilangnya kebebasan dan harga diri manusia.

Tantangan kita bukan lagi penjajahan dan kolonialisme, tetapi adalah kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan. Dalam garis besarnya, tantangan kita adalah mengonsolidasikan apa yang sudah kita capai di bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya seraya menggerakkannya untuk memajukan taraf hidup masyarakat. Sekarang waktunya untuk bersungguh-sungguh mencegah kebocoran, menggunakan anggaran lebih tepat guna, memberi perhatian lebih besar pada mereka yang kurang beruntung, kaum tani, nelayan dan pekerja pada umumnya. Seyogianya, usaha itu dipimpin oleh pemerintah dengan partisipasi masyarakat. Tetapi, kalau pun tidak demikian, mengingat luasnya Indonesia dan sangat beragamnya permasalahan, masyarakat perlu berinisiatif untuk ikut menggerakkan perubahan dan perbaikan, dan pemerintah mengayomi.

Ibaratnya, dalam membangun rumah, kerangka bangunan telah ditegakkan. Bentuk bangunan sudah terlihat. Tahapan selanjutnya adalah membangun bagian-bagiannya. Dan tahap itu lebih rumit, membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Pada tahap seperti itu, pembangunan bangsa sangat memerlukan keikutsertaan masyarakat untuk mencapai kualitas pembangunan yang diharapkan, masyarakat dengan kualitas disiplin sosial yang tinggi.

Penegakan hukum perlu dikukuhkan. Meskipun untuk masalah yang melibatkan faktor sosial-budaya diperlukan pendekatan musyawarah, tetapi sisi pelanggaran hukum (korupsi, penipuan, pengrusakan, pelanggaran lalu lintas, dan sejenisnya), besar ataupun kecil, mencuri sebutir mangga ataupun korupsi ratusan miliar rupiah, hukum yang tegas dan hitam putih (legal-formal) perlu ditegakkan.

Langkah penyederhanaan sistem kepartaian perlu diteruskan dan ketentuan konstitusi tentang pileg dan pilpres juga harus dilaksanakan. Demikian pembentukan undang-undang oleh DPR dan Presiden harus dilakukan sesuai konstitusi. DPR dan/atau Presiden sama-sama bertanggung jawab penuh agar undang-undang sesuai dengan keperluan dan tidak melanggar UUD 1945. Presiden harus berani mengambil tanggung jawab menjalankan sistem presidensial, memegang kendali pembangunan nasional. Memang ada risiko dipersukar oleh konstelasi politik di DPR. Tetapi dukungan rakyat, karena dipilih langsung, dan ketentuan konstitusi sebenarnya menjamin bahwa Presiden akan didukung menjalankan mandatnya, asal saja programnya adalah untuk kemajuan bangsa dan tidak ada kepentingan pribadi atau kelompok yang tersembunyi.

Keterlibatan warga juga perlu didorong, baik dalam tataran sosial-kemasyarakatan, maupun dalam tataran sosial-politik. Dalam segala lini, kita dapat bekerja membangun kebersamaan, melakukan pendidikan warga, membangun disiplin sosial. Mengonsolidasikan demokrasi, memajukan penegakan hukum, dan sebagainya. Kita dapat berperan bersama masyarakat, baik lingkungan yang luas, maupun lingkungan yang terdekat, berpartisipasi dalam tahapan pembangunan sekarang dan selanjutnya.

Tetapi kita perlu menyadari bahwa keterlibatan kita bukan keterlibatan warga yang merasa sedang dalam pembuangan (Yeremia 29:7). Kita tidak sedang dalam pembuangan. Tetapi sebagai rekan sekerja Allah yang mendatangkan kesejahteraan bagi semua (1 Korintus 3:9). Bukan pula karena merasa takut kepada kaum radikalis-ekstremis, tetapi karena dipanggil untuk melayani (Yesaya 41:10; Roma 12:6-8).

Hal mana sesuai dengan visi GKI Pondok Indah: “Sebuah jemaat yang hidup, terbuka, partisipatif dan peduli.”

Dirgahayu Negara Kesatuan Repubik Indonesia ke-69. Tuhan memberkati.

Jakob Tobing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...