Sebuah senja yang sempurna, sepotong kue brownies, dan lagu cinta yang lembut. Adakah yang lebih indah dari itu bagi sepasang manusia yang memadu kasih? Raka dan Dara duduk di punggung senja itu, berpatah-patah kata terucap, beratus tawa lepas, lalu Dara pun memulai meminta kepastian, ya, tentang cinta, “Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?” Dengan cepat Raka menjawab, “Kamu dong?” “Menurut kamu, aku ini siapa?” timpal Dara dengan manjanya. Maka Raka pun berpikir sejenak, lalu menatap Dara dengan tajam, setajam silet, “Kamu tulang rusukku!” katanya penuh kepastian.
Dalam kitab Kejadian pasal 2 ayat 22 tertulis, “Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.” Semua pria mencari tulang rusuknya yang hilang dan saat menemukan wanita untuknya, ia tidak lagi merasakan sakit di hati.
Singkat cerita, mereka pun menikah. Setelah menikah, Dara dan Raka mengalami masa yang indah dan manis untuk sesaat. Setelah itu, pasangan muda ini mulai tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan kepenatan hidup yang kian mendera. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang kejam membuat mereka mulai menyisihkan impian dan cinta satu sama lain. Mereka mulai bertengkar dan pertengkaran itu mulai memanas. Pada suatu hari, pada akhir sebuah pertengkaran, Dara lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, ia berteriak, “Kamu nggak cinta lagi sama aku!” Raka sangat membenci ketidakdewasaan Dara dan secara spontan balik berteriak, “Aku menyesal kita menikah! Kamu ternyata bukan tulang rusukku!”
Tiba-tiba Dara terdiam, berdiri terpaku untuk beberapa saat. Matanya basah. Ia menatap Raka, seakan-akan tak percaya pada apa yang telah didengarnya. Raka menyesali ucapannya. Tetapi seperti air yang telah tertumpah, kata-kata itu tidak mungkin ditarik kembali. Dengan berlinang air mata, Dara kembali ke rumah dan mengambil barang-barangnya, bertekad untuk berpisah. “Kalau aku bukan tulang rusukmu, biarkan aku pergi. Biarkan kita berpisah dan mencari pasangan sejati masing-masing.”
Lima tahun berlalu. Raka tidak menikah lagi, tetapi berusaha mencari tahu kehidupan Dara. Dara pernah ke luar negeri, menikah dengan orang asing, bercerai, dan kini kembali ke kota semula. Dan Raka, yang tahu semua informasi tentang Dara, merasa kecewa, karena ia tak pernah diberi kesempatan untuk kembali. Dara tidak menunggunya. Dan di tengah malam yang sunyi, saat Raka meminum kopinya, ia merasa ada yang sakit di dadanya. Tapi ia tidak sanggup mengakui bahwa ia merindukan Dara.
Suatu hari, mereka akhirnya kembali bertemu. Di bandara, di tempat banyak orang bertemu dan berpisah, mereka dipisahkan hanya oleh sebuah dinding pembatas, dan mata mereka tak saling mau lepas. “Apa kabar?” Raka memulai pembicaraan. “Baik… eh… apakah kamu sudah menemukan rusukmu yang hilang?” sahut Dara. “Belum,” jawab Raka singkat. Dara manggut-manggut dan ia memberitahukan bahwa ia akan terbang ke New York dengan penerbangan berikut. Maka Raka pun menimpalinya, “Aku akan kembali dua minggu lagi. Telepon aku kalau kamu sempat. Kamu tahu nomor telepon kita, belum ada yang berubah. Tidak akan ada yang berubah.” Dara tersenyum manis, lalu berlalu, “Good bye….”
Seminggu kemudian, Raka mendengar bahwa Dara mengalami kecelakaan dan jiwanya tidak tertolong. Malam itu, sekali lagi, Raka mereguk kopinya dan kembali merasakan sakit di dadanya. Akhirnya ia sadar bahwa sakit itu adalah karena Dara, tulang rusuknya sendiri, telah menusuk hatinya karena dengan bodoh telah dipatahkannya.
Kadang-kadang kehidupan ini ironis dan terjadi paradoks. Kita sering melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya sering kali fatal.
Selamat mencintai selagi sempat!
Eddy Nugroho
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.