Dan Yesus berkata juga kepada orang yang mengundang Dia: “Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.” (Luk. 14:12-14)
WAJAH ALLAH, WAJAH GEREJA
Marcus J. Borg pernah mengatakan, “Tell me your image of God, and I will tell you your theology” (Ceritakan padaku gambaranmu tentang Allah, dan aku akan menunjukkan kepadamu teologimu). Meneruskan ucapan Borg, saya dapat juga mengatakan, “Tell me your image of God and I will tell you your image of the church” (Ceritakan padaku gambaranmu tentang Allah, dan aku akan menunjukkan kepadamu gambaranmu mengenai gereja). Jika memang gereja hidup berpusat pada Allah, maka pemahaman tertentu yang paling dominan mengenai Allah akan menciptakan pemahaman tertentu tentang gereja dan cara-hidup tertentu dari gereja tersebut.
Gereja yang memahami Allahnya sebagai Penguasa yang menolak dunia dan menunjukkan murka ilahi pada mereka yang non-Kristen, misalnya, akan memahami diri sebagai ecclesia militans, gereja prajurit, yang siap memerangi siapa pun yang berbeda dari mereka, apalagi yang menolak dan memusuhi mereka. Sebaliknya, jika gereja memahami Tuhannya sebagai Allah Persekutuan yang menampilkan persekutuan kasih Bapa, Anak, dan Roh Kudus, maka gereja itu akan memahami diri sebagai persekutuan terbuka yang ingin meneladani Allahnya.
Pada kesempatan ini kita akan bersama-sama mendalami tema hospitalitas (keramahtamahan atau kesanggrahan) sebagai sebuah model menggereja masa kini yang berakar kuat pada hospitalitas Allah sendiri. Benarlah yang ditulis oleh Diana Butler Bass, “Christians welcome strangers as we ourselves has been welcomed into God through the love of Jesus Christ. Through hospitality, Christians imitate God’s welcome” (Orang-orang Kristen menyambut orang-orang asing sebagaimana kita sendiri telah disambut ke dalam Allah melalui cintakasih Yesus Kristus. Melalui hospitalitas, orang-orang Kristen meneladani penyambutan Allah). Kalimat Bass ini menjadi rangkuman dari konsep dasar kita mengenai hospitalitas.
Kata hospitality berasal dari kata Latin hospes yang berarti “tamu” dan sekaligus “tuan rumah.” Namun, kata hospes sendiri adalah gabungan dua kata Latin lain, hostis dan pets. Kata hostis berarti “orang asing,” namun juga memiliki konotasi “musuh.” Sedangkah kata pets (potis, potes, potentia) berarti “memiliki kuasa.” Dari kata hostis itu kita mengenal kata Inggris hostile dan hostility. Asosiasi makna “orang asing” dan “musuh” di dalam kata hostis mungkin muncul karena kemenduaan atau ambiguitas dari orang asing itu sendiri—ia dapat menjadi musuh atau menjadi tamu. Jadi, di dalam hospitalitas sekaligus terdapat risiko bahwa tamu menjadi musuh.
Di dalam Bahasa Yunani, sebagaimana muncul di dalam beberapa teks Alkitab, kata hospitalitas diterjemahkan sebagai philoxenia (φιλοξενία), yang terdiri atas dua kata, philos atau philia (kasih persahabatan) dan xenos (orang asing). Jadi hospitalitas berarti “mengasihi orang asing sebagai sahabat” atau “menyahabati orang asing.” Di tempat lain, dipakai kata xenodocheō (xenos dan dechomai) yang berarti “menerima orang asing.”
HOSPITALITAS DI DALAM ALKITAB, KHUSUSNYA PERJANJIAN BARU
Berikut beberapa teks Alkitab yang dapat kita jadikan rujukan, yang secara eksplisit berbicara mengenai hospitalitas pada orang asing.
Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan (philoxenia)! (Rm. 12:13)
Peliharalah kasih persaudaraan (philadelphia)! Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang (philoxenias), sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat. (Ibr. 13:1-2)
Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan (philoxenos), cakap mengajar orang, (1Tim. 3:2)
[seorang penilik jemaat] … suka memberi tumpangan (philoxenos), suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri. (Tit. 1:8)
Berilah tumpangan (philoxenos) seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut. (1Ptr. 4:9)
Tidak jauh dari tempat itu ada tanah milik gubernur pulau itu. Gubernur itu namanya Publius. Ia menyambut kami dan menjamu kami (xenizō) dengan ramahnya selama tiga hari. (Kis. 28:7)
Salam kepada kamu dari Gayus, yang memberi tumpangan (xenos) kepadaku, dan kepada seluruh jemaat. Salam kepada kamu dari Erastus, bendahara negeri, dan dari Kwartus, saudara kita. (Rm. 16:23)
dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan (xenodocheō), membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang hidup dalam kesesakan—pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik. (1Tim. 5:10)
Tentu saja jauh lebih banyak teks dan narasi di dalam Alkitab yang mencerminkan hospitalitas. Kisah penerimaan tiga orang asing oleh Abraham di dalam Kejadian 18, misalnya, sering menjadi model bagi hospitalitas yang bahkan dimaknai sebagai penyambutan terhadap Allah Trinitas yang tampil sebagai orang asing. Teks Ibrani 13:1-2 yang dikutip di atas tampaknya merujuk pada kisah hospitalitas Abraham tersebut. Yang terdaftar di atas hanyalah teks-teks yang secara eksplisit menampilkan sikap mengasihi atau menerima “orang asing,” khususnya di dalam Perjanjian Baru. Terdapat beberapa hal menarik yang perlu kita pahami.
Pertama, hospitalitas pada orang asing di luar (philoxenias) sering didampingkan dengan kasih persaudaraan di dalam persekutuan (philadelphia), sebagaimana paling jelas muncul di dalam Ibrani 13:1-2, namun juga tercermin di dalam Roma 12:13 dan teks-teks lain. Tampaknya, kualitas persahabatan sebuah komunitas iman selalu diukur oleh dua dimensi ini bersama-sama, yaitu kasih persaudaraan kepada anggota komunitas dan kasih persahabatan kepada orang-orang asing di luar komunitas. Yang satu tidak lebih penting dari yang lain.
Kedua, tidak jarang hospitalitas pada orang asing dipahami justru di dalam persekutuan itu sendiri, misalnya di dalam 1 Petrus 4:9. Artinya, bahkan seorang anggota komunitas adalah seorang asing bagi anggota komunitas lainnya. Di sini kita sampai pada sebuah pemahaman yang lebih fundamental mengenai sesama sebagai satu sosok yang selalu memiliki misteri yang tidak pernah dapat kita tangkap dan rengkuh sepenuhnya. Sama seperti seorang suami atau isteri tidak akan pernah sepenuh-penuhnya memahami dan mengenal pasangannya, bukan? Ia akan tetap menjadi “orang asing” selamanya.
Ketiga, sangat menarik bahwa hospitalitas bukanlah trademark seorang Kristen. Di dalam beberapa teks yang kita daftarkan di atas, hospitalitas bahwa ditampilkan oleh orang-orang non-Kristen kepada orang-orang Kristen (misalnya Kisah Para Rasul 28:7). Hospitalitas dengan demikian adalah kualitas manusiawi yang luhur yang berwatak lintas budaya dan universal. Namun, pada saat bersamaan, nanti kita akan melihat bahwa sebagai orang Kristen kita dapat memaknainya secara teologis sebagai komitmen meneladani hospitalitas Allah yang kita kenal di dalam Kristus di dalam kuasa Roh Kudus.
Keempat, akar kata hospitalitas (philoxenia) adalah philos atau philia, atau “kasih persahabatan.” Sangat disayangkan, selama berpuluh-puluh tahun para pendeta kita telah memakai pandangan yang tak tepat, yang mereka peroleh dari pendidikan teologi pada masa itu, dari tulisan seorang teolog Swedia bernama Anders Nygren, di dalam buku yang berjudul Eros and Agape. Di dalam buku ini Nygren menegaskan bahwa agape merupakan satu-satunya cinta yang paling otentik di dalam iman Kristen dan demikian ia merendahkan makna eros dan philia. Pandangan ini keliru, karena di dalam banyak teks, philia dan bahkan eros merupakan dimensi lain dari cinta yang juga luhur dan mencerminkan cinta Allah pada dunia (mis. Yoh. 5:20; 17:27; Luk. 7:34). Philia merupakan kasih yang luhur, karena menghargai kebaikan internal di dalam diri sahabat yang dikasihinya. Itu sebabnya, Yesus sendiri menyapa para murid-Nya (termasuk kita semua) sebagai sahabat, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba … tetapi Aku menyebut kamu sahabat” (Yoh. 15:15). Bahkan, Ia menegaskan, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Kini, melalui hospitalitas, kita diundang untuk menghadirkan kasih persahabatan yang sama kepada orang asing!
HOSPITALITAS DI DALAM LUKAS DAN KISAH PARA RASUL
Agaknya kita perlu memperhatikan lebih mendalam bagaimana Injil Lukas dan Kisah Para Rasul—keduanya berasal dari seorang penulis yang sama—menampilkan teologi hospitalitas yang mempertautkan hospitalitas ilahi dan hospitalitas manusiawi bersama-sama. Saya sangat berutang pada pembahasan yang dilakukan oleh sahabat saya, Amos Yong, Dekan Sekolah Teologi Regent University, dalam bukunya, Hospitality & the Other: Pentecost, Christian Practices, and the Neighbor (2008). Untuk itu, hanya sebagian insights dari kedua kitab ini yang akan saya bagikan, walaupun secara meluas kedua kitab ini sungguh-sungguh dapat kita gali untuk menemukan begitu banyak tema hospitalitas.
Kisah Emaus: Allah sebagai Tuan Rumah atau Nyonya Rumah
Kisah penampakan Kristus yang bangkit kepada dua orang murid (salah satunya bernama Kleopas) sangatlah menarik. Yesus mendekati kedua murid yang berjalan dari Yerusalem ke Emaus. Ternyata kedua murid ini “tidak dapat mengenali Dia” karena “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka” (ay. 15). Kita tidak bisa memastikan apa yang menghalangi mereka mengenali Yesus—sangat mungkin kesedihan mereka karena kematian Sang Guru. Di sepanjang perjalanan itu mereka bertiga bercakap-cakap tentang Yesus, tanpa kedua murid itu mengenali bahwa yang tengah mereka percakapkan sesungguhnya bersama dengan mereka. Sesampai di Emaus, kedua murid ini mengundang Yesus, si orang asing, untuk singgah dan bermalam, “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (ay. 29). Dari perkataan inilah Henry F. Lyte menggubah sebuah himne berjudul “Tinggal Sertaku” (Abide with Me, Fast Falls the Eventide) pada tahun 1820. Hal ini mengindikasikan bahwa hospitalitas merupakan sebuah keluhuran budaya yang memang berlaku saat itu di Israel, sebagaimana juga di banyak budaya lain. Dan Yesus pun menyanggupi tawaran tersebut. Di dalam rumah, Yesus Sang Tamu dijamu makan malam. Hospitalitas dan jamuan makan senantiasa menjadi dua tema yang saling terkait di seluruh Injil. Namun, sebuah peristiwa “aneh” terjadi. Yesus Sang Tamu tiba-tiba menjadi Kristus Sang Tuan Rumah, “Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka” (ay. 30). Apa yang seharusnya dilakukan oleh tuan rumah atau nyonya rumah kini justru dilakukan oleh tamu, orang asing, itu.
Ada empat hal yang terjadi sesudahnya. Pertama, “terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia” (ay. 31a). Hospitalitas Kristus menghadirkan Sang Ilahi dan dikenali oleh manusia. Kedua, “tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka” (ay. 31b). Saya menafsirkan lenyapnya Yesus sebagai kesempatan yang diberikan oleh Yesus bagi kedua murid untuk merespons hospitalitas Yesus secara bebas dan kreatif. Dan kedua murid itu melakukannya … Ketiga, kedua murid menegaskan pengalaman spiritual itu dengan berkata, “Bukankah hati kita berkobar-kobar?” (ay. 32). Keempat, kedua murid itu pergi ke Yerusalem dan menyaksikan hospitalitas ilahi yang mereka alami di dalam Kristus (ay. 33-35). Di dalam kisah Emaus, Allah menjadi Tuan Rumah atau Nyonya Rumah bagi manusia!
Kisah Pentakosta: Allah sebagai Tamu
Kisah Para Rasul yang meneruskan Injil Lukas mengawali kisah-kisah perjalanan misi para murid, khususnya Paulus, dengan kisah Pentakosta (Kis. 2:1-13). Ketika para murid bersembunyi di dalam ketakutan, Roh Kudus hadir sebagai “lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing” (ay. 3). Roh yang satu hadir dalam lidah yang banyak dan beragam. Akibatnya, “penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain” (ay. 4). Kunjungan Allah yang sebelumnya berlangsung di dalam Kristus, kini berlangsung melalui Roh Kudus. Hati yang berkobar di dalam kisah Emaus mendapatkan paralelnya di dalam pengalaman kepenuhan oleh Roh Kudus di dalam kisah Pentakosta. Juga, keberanian dan semangat kedua murid Emaus untuk bercerita paralel dengan keberanian para murid Pentakosta berkata-kata dalam bahasa lain (glossolalia). Melalui para murid itu, “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (ay. 11) disampaikan. Allah mengunjungi bangsa-bangsa melalui kuasa Roh Kudus yang hadir di dalam diri para murid. Singkatnya, jika di dalam kisah Emaus, Allah menjadi Tuan Rumah atau Nyonya Rumah bagi manusia, di dalam kisah Pentakosta, Allah menjadi Tamu bagi bangsa-bangsa. Atau, melalui Kristus, Allah menyambut manusia sebagai tamu-tamu-Nya; melalui Roh Kudus Allah disambut sebagai Tamu bagi bangsa-bangsa.
Selanjutnya, Kisah Para Rasul (dan juga Injil Lukas) mengisahkan banyak sekali kisah tentang hospitalitas manusiawi. Namun, semuanya hadir di dalam bingkai hospitalitas ilahi yang dihadirkan di dalam Kristus dan Roh Kudus.
HOSPITALITAS ILAHI DAN HOSPITALITAS MANUSIAWI
Di dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, pertukaran peran antara tuan rumah/nyonya rumah dan tamu ini menarik untuk memperlihatkan dimensi teologis dari hospitalitas. Hospitalitas adalah inti dari relasi Allah dan manusia, sekaligus menjadi inti dari relasi antarmanusia yang harus dibangun oleh orang-orang percaya. Bahkan, ketika kita menjadi tuan rumah atau nyonya rumah bagi seorang asing, pada saat bersamaan kita menjadi tamu bagi rumah-batin orang asing tersebut.
Selain itu, menjadi tuan rumah atau nyonya rumah bagi orang asing tentu memiliki risiko yang besar, sebab bisa jadi orang asing tersebut menyakiti tuan rumah atau nyonya rumah (menjadi hostis). Saya jadi teringat pada disertasi kolega saya, Septemmy Lakawa, yang judulnya mengilustrasikan hal ini: Risky Hospitality. Namun, tanpa keberanian mengambil risiko itu persahabatan tidak akan terjadi. Di sisi lain, orang asing juga memiliki risiko untuk memasuki rumah lain, menyerahkan diri untuk menjadi bagian dari komunitas yang mungkin dapat menyakitinya. Lebih dari itu, hospitalitas menuntut tuan rumah atau nyonya rumah untuk menerima tamu sebagai adanya mereka; demikian pula tuntutan tersebut berlaku bagi tamu terhadap tuan rumah atau nyonya rumah.
Lebih dari itu, patut dipahami bahwa hospitalitas gereja sesungguhnya merupakan respons atas dan usaha meneladani hospitalitas Allah yang dengan rahmat-Nya melimpahi kita dengan cinta dan mengundang kita untuk berpartisipasi ke dalam persekutuan Trinitaris. Jika hospitalitas ilahi tersebut berwatak tanpa-syarat, maka hospitalitas manusiawi juga harus diusahakan untuk tidak menuntut imbalan atau upah.
Akhirnya, saya ingin menginformasikan bahwa banyak sekali dokumen gerejawi dan ekumenis masa kini yang mempergunakan tema hospitalitas ini untuk menegaskan karakter utama gereja, baik dalam hal misi, relasi antaragama, diakonia dan sebagainya. Saya akan kutipkan dua kalimat dari dua dokumen berbeda.
We affirm our belief that God is the ultimate host of the whole creation, and we are the recipients and agents of God’s hospitality through Jesus Christ, churches, religions and creation. We also affirm that our hospitality is simply an overflowing of God’s abundant hospitality and our joyful and thankful response to it. We speak of hospitality in a theological and moral sense, which does not assume any return or profit, and not in a commercialized and commodified sense. (Embracing and Embodying God’s Hospitality Today—A Message from the Seventh Congress of Asian Theologians; Seoul, Korea, July 1-5, 2012)
Kami menegaskan keyakinan kami bahwa Allah adalah Tuan Rumah/Nyonya Rumah utama dari seluruh ciptaan, dan kita merupakan penerima dan agen-agen hospitalitas Allah melalui Yesus Kristus, gereja-gereja, agama-agama, dan ciptaan. Kami juga menegaskan bahwa hospitalitas kami sekadar merupakan sebuah hospitalitas Allah yang mengalir dan respons kami yang penuh sukacita dan syukur atasnya. Kami berbicara mengenai hospitalitas di dalam pengertian teologis dan moral, yang tidak mengandaikan imbalan atau keuntungan apa pun, dan tidak dalam pengertian yang terkomersialisasi atau terkomoditasikan. (Merengkuh dan Mengejawantahkan Hospitalitas Allah pada Masakini—Sebuah Pesan dari Kongres Ketujuh Teolog-Teolog Asia; Seoul, Korea, 1-5 Juli 2012)
Thus, it is our faith in the trinitarian God, God who is diversity in unity, God who creates, brings wholeness, and nurtures and nourishes all life, which helps us in our hospitality of openness to all. We have been the recipients of God’s generous hospitality of love. We cannot do otherwise. (Religious Plurality and Christian Self-understanding—WCC General Assembly, Porto Alegre, 2006)
Maka, adalah iman kami pada Allah Trinitaris, Allah yang merupakan keberagaman di dalam kesatuan, Allah yang menciptakan, yang mengutuhkan, dan merawat serta menumbuhkan segala kehidupan, yang menolong kami di dalam hospitalitas keterbukaan kami pada semua orang. Kami telah menjadi penerima hospitalitas cintakasih Allah yang melimpah. Kami tak dapat melakukan hal-hal selain itu. (Pluralitas Agama dan Pemahaman-Diri Kristen—Sidang Raya WCC, Porto Alegre, 2006)
EMBODYING HOSPITALITY
Kini saatnya bagi kita untuk menerapkan tema hospitalitas itu di dalam cara hidup jemaat kita. Harus ditegaskan sejak awal bahwa hospitalitas bukanlah satu dari banyak program kerja jemaat. Hospitalitas adalah napas dari program dan aktivitas apa pun yang dikerjakan oleh sebuah jemaat. Hospitalitas harus menjadi nilai luhur yang merembesi seluruh aktivitas gereja atau menjadi bagian utama dari corporate culture kita. Itu berarti, hospitalitas perlu menjadi semangat yang dimiliki oleh setiap anggota jemaat.
Pada saat bersamaan, hospitalitas harus diusahakan secara sadar dan sengaja. Artinya, perlu juga jemaat menciptakan secara kreatif program-program hospitalitas atau program-program yang mengedepankan hospitalitas. Atau juga, jemaat perlu menilai ulang seberapa jauh program-program yang ada sekarang sudah menempatkan hospitalitas sebagai nilai yang diperjuangkan secara nyata. Saya akan mencatat beberapa pertanyaan konkret—hanya sebagai contoh saja:
Bagaimana pertemuan-pertemuan jemaat, khususnya ibadah Minggu, memberi ruang khusus bagi penyambutan orang asing. Sungguh tidak mudah menjadi seorang asing yang anonim dan tak dikenal di dalam sebuah komunitas yang baru.
Apakah ada momen khusus di mana anggota-anggota jemaat dapat berkomunikasi dan berkenalan secara langsung. Misalnya, 15 menit setelah ibadah Minggu adalah momen terpenting bagi seorang pendatang baru, namun juga untuk siapa saja, untuk memutuskan, “Apakah saya akan datang kembali ke gereja ini minggu depan?” Di mana penatua pada 15 menit terpenting itu? Menghitung kolekte?
Bagaimana sistem pelayanan ushers dan greeters dilatih secara serius untuk menjadi wajah pertama gereja? Apakah anggota jemaat juga dilibatkan di dalam pelayanan mahapenting ini?
Bagaimana pegiat-pegiat komisi dilatih untuk bersikap hospitable terhadap orang-orang asing yang baru pertama kali datang?
Bagaimana wajah gereja bagi masyarakat sekeliling yang setiap hari bersinggungan dengan aktivitas gereja: tukang becak, tukang bakso, petugas kebersihan, dan sebagainya?
Apakah ada program-program yang secara imajinatif dan kreatif dirancang sebagai wajah hospitalitas gereja bagi masyarakat yang hostile ini?
Hospitality means primarily the creation of free space where the stranger can enter and become a friend instead of an enemy. Hospitality is not to change people, but to offer them space where change can take place. It is not to bring men and women over to our side, but to offer freedom not disturbed by dividing lines.
― HENRI J.M. NOUWEN, REACHING OUT
Hospitality is the virtue which allows us to break through the narrowness of our own fears and to open our houses to the stranger, with the intuition that salvation comes to us in the form of a tired traveler. Hospitality makes anxious disciples into powerful witnesses, makes suspicious owners into generous givers, and makes close-minded sectarians into interested recipients of new ideas and insights.
— HENRI J. M. NOUWEN, MINISTRY AND SPIRITUALITY
Pdt. Joas Adiprasetya
1 Comment
Tigor Mulo Horas Sinaga
Juli 26, 2020 - 3:54 pmSaya sangat terberkati atas artikel ini. Dan sangat merasa perlu bertemu untuk berdiskusi dengan Pdt.Joas Adiprasetya selaku penulis, dikarenakan saat ini saya sedang menginisiasi edukasi politik hospitalitas.
Saya, Horas Sinaga – Ketum Visi Indonesia Unggul, akan sangat senang menunggu kesempatan berkomunikasi secara langsung. Terima kasih & Tuhan Yesus Memberkati.