Waktu anak-anak kita lahir, mereka bukanlah setengah bagian dari seseorang atau sebagian kecil dari seorang manusia. Mereka adalah manusia seutuhnya, mereka secara komplet sama seperti kita, yaitu pribadi yang utuh, unik dan berharga di mata Allah. Bagi Tuhan, memang mereka memiliki potensi untuk berbuat dosa, tetapi mereka juga diberi kesempatan untuk diselamatkan dan hidup baru mengikut Dia.
Mungkin kita belum mengenal mereka secara tuntas, namun disadari atau tidak mereka adalah seorang pribadi yang juga sudah memiliki ciri, karakter atau sifat yang unik, yang Tuhan khusus rancangkan buat dirinya. Memang akibat dosa, mereka berpotensi untuk memikirkan, melakukan bahkan memiliki kebiasaan-kebiasaan yang tidak disukai Tuhan, tetapi sama seperti kita, Tuhan memberi kemampuan pada mereka untuk berjuang me-ngalahkan yang tidak baik dalam diri mereka dan juga sebaliknya, kemampuan untuk mempertahankan yang baik.
Masalahnya, harus ada seseorang yang memberitahukan kepada mereka atau membuka jalan agar mereka mengenal dirinya sendiri dan mengenal Tuhan Sang Pemberi. Untuk itulah Tuhan memberikan kita sebagai orangtua mereka. Kita dipanggil bukan hanya melahirkan, menghadirkan dan memfasilitasi mereka, tapi lebih mulia dari itu kita dipanggil untuk menyaksikan cinta Tuhan sehingga mereka dapat melanjutkan cinta itu sepanjang hidupnya.
Untuk menyaksikan cinta Tuhan dan membuat-Nya hidup dalam hati anak-anak kita, diperlukan sebuah usaha yang serius. Salah satu jalan untuk melancarkannya adalah dengan bersahabat dengan anak. Melalui persahabatan, kita dapat menunjukkan jalan, mendampingi dan berbicara kepada mereka, bukan hanya sekadar memerintahkan mereka melakukan aturan dan larang-an. Menjadi sahabat bagi anak, berarti menjadi jembatan bagi anak untuk bertemu Tuhan yang sangat mengasihi mereka.
Menjadi Sahabat Bagi Anak
Sahabat yang baik adalah sahabat yang menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran (Amsal 17:17). Persahabatan seperti itu bukanlah milik orang dewasa saja. Persahabatan bisa terjadi antar 2 orang yang seumur, antar seorang nenek dengan seorang muda, antar seorang anak kecil dengan seorang anak kecil lainnya, antar seorang remaja dan seorang pemuda, tetapi juga antar orangtua dengan anak-anaknya.
Dalam Amsal, apa saja yang dapat kita beri dalam persahabatan? Sebuah persahabatan adalah ibarat seorang membangun rumah. Kadangkala, ada yang harus dibongkar karena kesalahan pembuatnya sendiri. Namun pembangunan itu tetap berjalan karena rumah itu belum selesai. Setelah rumah itu selesai, bukan berarti bangunan itu berdiri kokoh selama-lamanya. Ada masa di mana rumah itu harus ditata ulang, diperbaiki, dirapihkan, atau direnovasi.
Demikian juga persahabatan yang kita jalani dengan anak. Ada masa di mana kita membangun persahabatan kita dengan anak. Ada kalanya kita menjadi lemah dan secara tidak sengaja merusak persahabatan itu. Namun setelah anak-anak tumbuh besar dan telah menjadi sahabat kita, bukan berarti persahabatan itu akan terus kokoh. Ada masa di mana kita harus memperbarui persahabatan itu, menatanya ulang atau mempercantik persahabatan itu.
Persahabatan juga merupakan seni. Diperlukan keterlibatan “rasa” di dalamnya. Kadangkala persahabatan menjadi lemah saat kita lelah menjalani keseharian kita, atau bisa jadi kita menjadi berapi-api dan api itu menyulut sahabat kita. Entah api yang menyemangati kita untuk melayani dan bersukacita, atau api yang justru membakar persahabatan itu sendiri.
Persahabatan adalah juga sebuah persembahan. Apa yang kita punya kita berikan pada sahabat kita. Saya pernah katakan pada seorang ibu dan bapak yang memiliki pendidikan tinggi, “Tempat kerja bapak dan ibu layak menerima keahlian dan ilmu yang bapak ibu miliki. Namun jangan lupa, anak-anak juga layak mendapatkan keahlian dan ilmu yang bapak ibu miliki.” Kalau saja kita mau memberikan persembahan diri dan hidup kita buat pelayanan serta pekerjaan Tuhan, bukankah anak-anak kita juga layak menerima persembahan itu? Mereka bukan hanya membutuhkan uang hasil pekerjaan kita, tetapi mereka juga membutuhkan kerja kita bagi dirinya. Persembahan yang kita beri pada Tuhan dalam bentuk daya, dana dan doa, dapat kita salurkan juga pada anak-anak yang sesungguhnya sangat membutuhkan bimbingan kita untuk kemudian mempersembahkan hidupnya juga kepada Tuhan.
Memang, di zaman seperti ini tentu bukanlah hal yang mudah untuk menjalin persahabatan dengan anak. Ada anak-anak yang sejak lahir sudah ditinggalkan orang-tuanya dalam masa-masa keemasan mereka, karena kebutuhan ekonomi dengan bekerja dari pagi sampai larut malam. Ada pula anak-anak yang diserahkan sepenuhnya pada pengasuh sehingga sekalipun orangtua ada di rumah setiap kebutuhan anak dipenuhi oleh para pengasuhnya itu. Atau ada pula anak-anak yang sulit menjadi dekat dengan orangtua karena perbedaan usianya dengan adik atau kakak yang sangat dekat, sehingga perhatian orangtua jadi terpecah.
Dalam kondisi seperti itu, anak-anak kita biarkan mencari sahabatnya sendiri. Entah melalui internet, bersahabat dengan tetangga atau dengan para pengasuhnya. Akibatnya, saat kita menyadari kedekatan mereka itu, kita menjadi marah dan iri hati. Kita merasa bahwa orang-orang di sekitar mereka, termasuk persahabatan di dunia maya melalui media, telah merebut hati anak-anak kita. Padahal kita lupa, bahwa selama ini kitalah yang telah memberi waktu dan ruang pada mereka untuk mencari sahabat mereka sendiri, karena kita tidak sempat mengisinya di masa-masa itu.
Pertanyaannya sekarang, kalau boleh memilih, mana yang akan kita pilih? Membiarkan mereka mencari sahabat mereka sendiri, atau kita memilih untuk menjadi sahabat terbaik mereka?
Kalau saya harus memilih, saya tentu akan memilih yang kedua. Lalu, bagaimana caranya? Pintu masuk untuk menjadi sahabat terbaik bagi anak adalah membuat mereka percaya pada kita. Mereka mungkin akan diam saja, tetapi hati mereka menyimpan apa yang mereka katakan dan lakukan. Mereka bisa menolak atau me-nerima kita sebagai sahabat terbaik mereka. Saat mereka percaya pada kita, terbukalah pintu bagi kita untuk menjadi sahabat mereka. Saat kepercayaan berakhir, tertutuplah pula kesempatan untuk bersahabat dengan mereka.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana membuat mereka percaya pada kita? V. Gilbert Beers, seorang pakar pendidikan anak, mengatakan ada 5 cara agar anak-anak kita dapat mempercayai kita atau mempercayakan hidupnya kepada kita.
1. Konsistenlah! (Be Consistent)
Anak-anak di bawah lima tahun belajar sesuatu melalui pengulangan. Konsistenlah terhadap apa yang kita katakan pada mereka. Duduklah bersama mereka dan perhatikanlah kesukaan mereka. Kalau kita mengatakan bahwa “Papa/mama menyayangimu!” tunjukkanlah itu dengan bahasa yang dapat mereka pahami. Misalnya, anak-anak akan bersahabat dengan orang-orang yang membuatnya bahagia/senang. Itu sebabnya jika kita mengatakan bahwa kita menyayangi mereka atau mereka begitu berharga buat mereka, tunjukkanlah kekonsistenan itu dengan cara menyediakan waktu bersama anak, membuat mereka bahagia atau tertawa saat bermain atau bercanda dengan kita. Konsisten juga bisa ditunjukkan dengan cara memberi contoh bagaimana kita berbicara dengan penuh kehangatan dengan mereka atau dengan pasangan kita. Sebab menurut Paul Gunadi, seorang anak akan sulit menghargai atau menghormati orangtuanya apabila mereka seringkali bertengkar. Mungkin mereka akan diam saja di depan kita, tetapi dalam hati mereka, mereka sudah tidak lagi menghargai kita. Itu sebabnya, kita juga perlu memperlakukan atau berbicara kepada anak dengan sopan dan ramah, seperti kita mengharapkan mereka berbicara demikian kepada kita.
2. Berikan alasan! (Be reasonable)
Menurut Gilbert Beers, anak-anak balita sudah dapat diajarkan mengenai “alasan”. Penjelasan singkat yang juga dibarengi dengan konsistensi, dapat membuat mereka belajar memahami alasan tersebut. Misalnya, saat kita membuat janji dengan mereka untuk pergi bersama, tiba-tiba ada hal mendesak yang harus kita prioritaskan lebih dahulu. Pastinya anak-anak akan kecewa, namun kita dapat memberikan alasan sederhana yang dapat dimengerti anak. Misalnya saat saya berjanji untuk bermain dengan anak saya yang berusia 2,5 tahun sebelum dia tidur, tetapi ada pekerjaan yang harus saya kerjakan saat itu secara tiba-tiba. Lalu saya katakan pada dia, “Mami harus kerja dulu, sebentar lagi mami akan bermain dengan kamu!” Untuk sementara dia memang menerima. Namun tentu saja dia tidak mengetahui apa arti “sebentar, dan benar saja tidak lama kemudian dia menarik tangan saya kembali untuk bermain. Lalu saya mengatakan kalimat yang hampir sama, “Sebentar lagi pekerjaan ini selesai. Mami akan segera menyusul.” Di dalam keterbatasan waktu, akhirnya pekerjaan itu selesai dan dia sungguh mengalami bagaimana akhirnya saya bermain bersamanya.
3. Cintailah mereka! (Be loving)
Cara kita menunjukkan cinta tentu dengan berbagai cara. Namun beberapa hal yang umum dan sangat dipahami anak adalah melalui pelukan, ciuman dan tertawa bersama. Berapa kali dalam satu hari kita melakukannya? Jangan lupa… katakan “Aku mencintaimu” bersamaan dengan ungkapan cinta yang kita beri. Sayangnya, seringkali ungkapan cinta itu ditunjukkan hanya melalui pemberian barang-barang yang kelihatan. Itu sebabnya ada anak-anak yang menerjemahkan cinta orangtua sebatas apa yang dapat dilihat oleh mata mereka. Mengapa? Karena rupanya hanya itu saja yang mereka dapatkan selama hidupnya.
4. Bergabunglah! (Be involved)
Dengan adanya perbedaan zaman dan kesibukan orangtua, seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami dunia anak, apalagi mainan apa yang sekarang diminati oleh anak-anak kita. Itu sebabnya kita membelikan apa saja yang membuat mereka senang. Sebetulnya, untuk bisa menunjukkan bahwa kita bukan hanya sekadar orang yang lebih tua dari mereka (maksudnya orangtua mereka), tetapi kita juga adalah sahabat mereka, bermainlah bersama mereka, belajarlah dengan mereka, dan ikutilah perkembangan hidupnya melalui cerita-cerita yang diungkapkan di dalam kesehariannya. Kita dapat bergabung dengan mereka saat mereka bermain boneka, bermain kartu, atau membaca buku. Mungkin kita berpikir, lebih baik meninggalkan dia di toko buku bagian bacaan anak sementara kita membaca bacaan lainnya. Namun sekali waktu, sempatkanlah mengikuti apa yang anak kita baca. Seringkali celoteh mereka muncul akibat mereka membaca buku-buku itu, di saat seperti itulah kita dapat melanjutkan kometar-komentar itu dengan pendapat kita sebagai orangtua atau justru sebagai seorang sahabat. Dengan cara itu juga kita dapat bercakap-cakap dengan mereka saat dalam perjalanan, saat menjelang tidur, atau saat mereka tidak membawa bacaan atau mainannya.
5. Hadirlah untuk mereka! (Be for your child)
Persahabatan tidak mungkin terjadi jika kita selalu melakukannya jarak jauh. Kedekatan dan kehadiran kita merupakan tanda bahwa kita menghargai mereka. Mungkin ada kalanya kita tidak dapat bermain bersama mereka, atau mengantar mereka untuk tidur malam setiap hari. Namun bukan berarti kita tidak bisa hadir untuk mereka selamanya. Kita dapat hadir saat mereka konser, atau saat mereka menunjukkan hasil karya mereka di sekolah, atau saat mereka merayakan perayaan gerejawi. Atau kita bisa hadir dengan menunjukkan empati kita saat kita tahu bahwa siang tadi mereka bertengkar dengan seseorang, dimarahi guru, atau gagal melakukan proyek kerjanya. Hadir untuk anak, memang tidak mudah. Tetapi hadir di hadapan anak dengan hati yang mengarah pada anak, dapat kita usahakan. Itu sebabnya, berdoalah agar sekalipun kita tidak memiliki banyak waktu bersama mereka, setiap waktu bersama mereka menjadi sangat berarti dan berkesan.
Akhirnya, yakinlah bahwa Tuhan memberikan mereka untuk kita dan kita diberikan Tuhan buat mereka. Itu sebabnya, mari tunjukkan keyakinan itu dan yakinkan mereka. Tuhan memberkati persahabatan kita dengan mereka.
Riani Joshapine
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.