Peran Ayah Dalam Pendidikan Anak
Secara umum para suami/ayah terpisah dari mendidik anak. Anak-anak secara naluriah menjadi ‘anak ibu’, termasuk pendidikannya. Bagaimana anak-anak dididik, siapa saja yang diharapkan untuk turut mendidik, di tempat mana mereka akan memperoleh pendidikannya serta macam pendidikan apa saja yang akan diberikan kepada si anak, hampir semuanya diputuskan oleh sang ibu, sekali pun sang ibu juga merupakan ‘orang kantoran’ atau punya profesi tersendiri, selain sebagai ‘ratu’ rumah tangga.
Hal ini lebih disebabkan oleh sebuah pemakluman budaya pada ‘pembagian’ tugas/kerja antara suami-istri; ayah-ibu. Ayah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dan kehidupan rumah tangganya, sementara ibu mengurus, mengolah dan mengoperasikan rumah tangga (sekalipun sang istri adalah orang yang bekerja juga, bahkan ketika sang suami tidak sedang dalam kondisi menjalankan fungsinya sebagai pencari nafkah).
Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa ayah meluangkan waktu bersama anak-anaknya kurang dari 7 menit per hari. Ketidakhadiran ayah yang terlalu sering menjadi problem dalam kebanyakan keluarga.
Meskipun banyak ayah yang hadir secara fisik dalam keluarga, namun terlalu banyak juga yang pikiran dan perasaannya berada jauh dari rumah. Berada di kantor, di pekerjaan, di klub hobi, di gereja, di televisi, di koran, di facebook, di Blackberry-nya, dsb. Hal ini sama berbahayanya dengan ketidakhadiran ayah secara fisik di rumah.
Tiga Tahap Hubungan
Apakah hal ini memang benar terjadi dari ‘sono’-nya bahwa ayah terpisah dari pendidikan anak? Sebenarnya ada tiga tahap hubungan yang dapat dikembangkan oleh para ayah untuk berperan dan mengambil bagian dalam pendidikan, bahkan kehidupan anak-anaknya.
Pertama adalah hubungan biologis, yakni hubungan yang langsung dimiliki pada saat anak dilahirkan. Hubungan ini bersifat mendasar. Semua macam hubungan yang dimiliki antara keduanya nanti sangat ditentukan oleh hubungan yang dikembangkan setelah itu. Hubungan biologis adalah hubungan yang paling gampang untuk dilaksanakan dan dikembangkan, sayangnya kebanyakan pria tidak pernah melangkah lebih jauh dari kondisi itu. Hubungan biologis bisa membuat Anda menjadi Ayah, tapi tidak selalu mempunyai hati bapa.
Kedua adalah hubungan sebagai penyedia dan pelindung terhadap kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hal ini sangat normatif berlaku di dalam masyarakat. Para ayah membangun atau menapaki tahap hubungan ini melalui upaya-upaya mereka untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan anak-anak mereka dalam hal-hal di atas. Hubungan inilah yang paling sering tampak secara dominan dalam ayah yang mengambil perannya dalam keluarga.
Ketiga adalah hubungan yang didasarkan pada rasa saling percaya. Ini adalah tahapan yang paling penting dan paling sulit dicapai. Kehilangan peran dalam pendidikan anak-anak akan dialami oleh para ayah apabila mereka kehilangan kesempatan untuk membentuk hubungan pada tahap ketiga ini. Para ayah lebih sering berkutat menghabiskan daya, upaya, waktu, konsentrasi, dan pola hubungan pada tahap kedua di atas saja, sehingga peran dan pola hubungannya berhenti sampai pada tahap itu saja.
Para ayah yang kehilangan hubungan pada tahap ini lebih disebabkan tidak menyediakan/ mempunyai waktu, perhatian, fokus dan kesempatan untuk membangun dan mengembangkan pola hubungan yang menumbuhkan rasa saling percaya tersebut.
Akibatnya pada usia belasan, anak-anak sudah terlanjur alergi terhadap ayahnya dan menjadi tawar hati untuk mendengar dan menerima didikan ayahnya, sebab pada saat-saat di mana mereka membutuhkan kehadiran, peran dan figur ayah dalam pendidikannya, mereka tidak memperolehnya, bahkan kehilangan sama sekali figur yang diharapkan tersebut. Ketaatan anak kepada ayahnya lebih didorong oleh rasa takut (dalam ketidakberdayaan karena ketergantungannya untuk memenuhi kebutuhannya serta kelemahan fisik dan psikologis di depan keperkasaan dan kekuasaan sang ayah), bukan karena adanya hubungan hati. Pada saat rasa takut itu hilang, maka hilang pula ketaatannya.
Apabila para ayah menyadari dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan fungsi mereka secara penuh dalam membangun dan membentuk tahap-tahap hubungan tadi, menjalankan ‘mandat ayah’, maka peran dan upaya mereka dalam mendidik anak-anak mereka akan lebih mudah dan menarik untuk dijalankan. Anak-anak akan lebih bersukacita menjalankan pendidikan mereka. Sebaliknya bila tidak menjalankan ‘mandat ayah’, maka upaya mereka untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk anak-anak mereka akan lebih sulit dan tidak menarik untuk dijalankan, dan yang paling celaka anak-anak tidak akan happy.
Sejarah Pendidikan Sebuah Bangsa
Dari mana sebenarnya datang kesepakatan budaya yang dianggap sebagai kewajaran mengenai pembagian tugas suami-istri yang menyebabkan ayah menjauh atau bahkan terpisah dari pendidikan anak-anak tadi?
Pada tahun 1500-an di mana bangsa Inggris sudah mengalami kehidupan yang koruptif dalam menyembah Allah, maka menyeberanglah keluarga-keluarga yang masih ingin mempertahankan kemurnian kehidupan mereka dalam beribadah ke daratan Eropa, Negeri Belanda. Namun ternyata perilaku dan kehidupan peribadatan masyarakat di Belanda tidaklah berbeda. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali lagi ke Inggris.
Dari Inggris, dalam jumlah yang lebih besar, mereka berlayar menuju dunia baru dengan membawa harapan dapat mempertahankan pola hidup dan peribadatan mereka. Tahun 1620 mereka mendarat di Boston dan menjalankan kehidupan bersama-sama penduduk asli, Indian, sambil melaksanakan peribadatan murni mereka; mereka inilah yang disebut orang-orang/golongan puritan (purify: murni). Dalam keluarga-keluarga puritan, para ayah menjadi imam, guru dan kepala rumah tangga. Ayah memimpin peribadatan keluarga. Ayah menjadi pusat dalam upaya pendidikan dan pembentukan hubungan, persatuan dan kebersamaan anggota keluarga.
Mulai tahun 1800-an, ketika pertanian mulai menarik para ayah untuk bekerja di ladang mencari nafkah, peran ayah di tengah keluarga sedikit demi sedikit mulai berkurang. Ketika datang era industrialisasi pada tahun 1990-an, peran ayah dalam rumah tangga semakin luntur dengan hebat dan tanggung jawab itu diserahkan kepada ibu. Ayah hanya berfungsi sebagai pencari nafkah. Hanya menjadi kepala rumah tangga yang punya otoritas, dan bukannya pemimpin yang terlibat.
‘Time is Money’
Struktur peradaban ini memberi dampak pada orientasi masyarakat pada waktu dan jadwal. Segala bentuk fasilitas dan orientasi profesi, moneter, komunikasi serta hiburan yang berkembang menjadikan masyarakat terfokus, bahkan terkooptasi pada waktu dan jadwal. Mereka bergerak ke arah prinsip ‘time is money’.
Jangan menyia-nyiakan waktu, semua kegiatan harus terencana dan terjadwal, memboroskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna berarti kehilangan kesempatan mendapatkan uang, dst.
Hal-hal inilah yang menjadi penyebab ketidakhadiran ayah dalam keluarga. Mengejar jadwal, memanfaatkan waktu secara maksimal, meninggalkan tugas dan fungsinya dalam keluarga yang tidak menghasilkan uang.
Dalam masyarakat yang demikian, keberhasilan seorang ayah diukur dari seberapa baik ia menyediakan kebutuhan keluarga dan melindungi mereka. Karena penyediaan dan perlindungan adalah dua unsur yang dituntut masyarakat, hubungan ayah-anak hanya berkembang sebatas tahap kebutuhan sandang pangan. Ibu dibiarkan mengemban tugas utama sendirian, yaitu mengasuh anak. Ayah menjalankan fungsinya sebagai orangtua dari kejauhan. Selebihnya dijalankan dengan pilihan, bukan karena tuntutan masyarakat.
Tugas Ayah Menurut Alkitab
Dewasa ini banyak keluarga yang mengikuti pola tradisional di atas. Ayah menyediakan kebutuhan dan mengayomi keluarganya, ibu mengasuh anak. Tetapi apakah pola ini benar-benar alkitabiah?
1 Timotius 5:8 – “Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.”
Memang benar bahwa menurut model Alkitab, seorang ayah harus mengayomi dan menyediakan kebutuhan keluarganya. Namun demikian hal itu bukan satu-satunya model peran orangtua yang terbaik. Salah satunya terdapat dalam Kolose 3:21. Ternyata ada tugas lain bagi seorang ayah di samping memenuhi kebutuhan dan mengayomi, yakni menjaga hati anak-anaknya supaya tidak tersakiti, tidak menjadi tawar hati, kecewa, putus asa, menjadi tidak berperasaan, dll. Ada satu unsur lagi yang terlalu sering tidak ditemukan dalam keluarga, yakni tugas Ayah untuk membina hubungan dengan anak-anaknya, sebuah hubungan yang dilandasi rasa saling percaya.
Waktu Berkualitas dan Waktu Berkuantitas
Ketika pada akhirnya timbul kesadaran untuk memberikan waktu kepada keluarga, terutama anak-anak, timbullah dua pandangan yang dipertentangkan: antara waktu berkualitas dan waktu berkuantitas. Mana yang lebih penting? Apakah waktu berkuantitas ataukah waktu berkualitas bagi seorang ayah dalam mendampingi dan mendidik anak-anaknya? Sering kali para ayah berusaha menamakan waktu yang dilewatkan bersama anak-anak mereka sebagai waktu berkuantitas atau waktu berkualitas sebagai dalih untuk apa yang tidak mereka lakukan: membangun hubungan dengan anak-anak mereka.
Bagaimana menimbulkan kualitas kalau tidak pernah mampu menyediakan kuantitas. Seringnya kualitas tidak akan timbul bila tidak pernah dibangun melalui kuantitas. Kualitas timbul karena kuantitas. Namun demikian, perlu diingat bahwa konsep waktu berkuantitas dan berkualitas adalah konsep kultural, bukan konsep alkitabiah. Konsep ini pertama-tama dilandasi pembagian waktu, baru kemudian diikuti pembinaan hubungan. Kebutuhan anak harus disesuaikan dengan waktu yang tersedia, bukannya waktu yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan anak. Tidak menyisihkan waktu, tapi memberikan waktu sisa.
Waktu berkualitas dan waktu berkuantitas bukanlah sasaran kita, hanya suatu sarana untuk mencapai sasaran tersebut. Ketika seorang ayah menyediakan waktunya dan mengajak anaknya berjalan-jalan, maka yang terpenting bukanlah jalan-jalan itu sendiri, tapi apa yang didapat dari berjalan-jalan itu. Apakah hubungan mereka menjadi lebih erat? Waktu bukan yang menjadi sasaran, melainkan hubungan itu sendiri. Oleh karenanya dianjurkan kepada kita untuk tidak menilai kebersamaan itu menurut fungsi waktu, tetapi apakah kebersamaan itu membangun hubungan? Kebersamaan harus ditujukan untuk membangun hubungan, untuk menimbulkan rasa saling percaya. Hubungan tahap ketiga adalah satu-satunya bentuk hubungan yang harus dikejar dengan sungguh-sungguh oleh para ayah Kristen.
Bila ingin menjadi Ayah yang sesuai dengan Firman TUHAN, singkirkan alat pengukur waktu berkualitas atau waktu berkuantitas itu; dan tanyakan pada diri sendiri: Apakah anak-anak memercayai saya? Apakah mereka sungguh-sungguh memercayai saya? Apakah mereka meminta nasihat saya atau selalu berpaling kepada ibunya? Kepercayaan adalah landasan untuk setiap hubungan yang baik.
Kepercayaan
Bagi seorang anak, rasa percaya adalah jembatan yang menghubungkan kebutuhannya untuk tahu bahwa ia dimiliki dengan perasaan bahwa ia betul-betul dimiliki, diterima dengan perasaan bahwa ia betul-betul diterima, dikasihi dengan perasaan bahwa ia betul-betul dikasihi. Jembatan kepercayaan yang dibangun dan dipelihara oleh seorang ayah menimbulkan rasa aman pada diri anak bahwa ia tidak terputus dari keluarganya.
Semua hubungan bergantung pada kepercayaan, khususnya hubungan keluarga. Hubungan suami-istri dibangun berdasarkan kepercayaan, sama seperti hubungan kita dengan anak-anak. Karena kepercayaan kita kepada anak-anaklah maka kita memberikan kebebasan kepada mereka. Demikian juga mereka datang kepada kita dengan membawa masalah-masalah sensitif karena kepercayaan mereka kepada kita. Bila mereka memercayai kita, mereka akan memercayai setiap ucapan kita dan apa yang kita katakan tentang Tuhan dan Firman-Nya.
Kepercayaan tidak dibangun dengan tiba-tiba dalam waktu semalam, melainkan melalui suatu proses jangka panjang, melalui hubungan yang intens. Kepercayaan tidak datang dengan sendirinya melainkan harus kita usahakan. Tanpa kepercayaan, yang ada hanyalah suatu kesepakatan untuk tinggal bersama. Tanpa kepercayaan, Anda akan memimpin keluarga dengan cara memaksa anak atau Anda akan sama sekali membuang gagasan untuk memimpin.
Bila seorang anak tidak dapat lebih percaya kepada ayahnya daripada kepada teman-temannya, maka mau tidak mau teman-teman itu akan lebih memengaruhinya ketimbang ayahnya. Pemberontakan remaja tidak terjadi tiba-tiba atau diakibatkan oleh suatu hal tertentu dalam semalam. Tetapi bibitnya telah dibangun dalam waktu yang lama, bahkan dimulai dari masa kecilnya dan bertumbuh secara intens dalam pertumbuhannya hingga mencapai titik kulminasi yang membuat pemberontakan itu pecah/terwujud dalam masa remajanya itu. Ketidakhadiran peran sang ayah dalam masa pertumbuhannya sering dikaitkan dengan hal itu.
Sujarwo
Reff:
- Gary & Anne Marie Ezzo, Growing Kids GOD’s Way
- Rizal Badudu, Mandat Untuk Ayah, Open Workshop -Parenting Class GKI-PI, 9 Desember 2012
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.