Dosen Yang Murah Hati

Dosen Yang Murah Hati

Belum ada komentar 166 Views

Saya sudah lama mengenal Pdt. Wyanto, sejak kami sama-sama mahasiswa teologi. Ia dari Sekolah Tinggi Teologia (STT) Duta Wacana di Yogyakarta, dan saya dari STT Jakarta, pada waktu itu saya masih duduk di tingkat persiapan dan ia di tingkat terakhir. Perkenalan kami terjadi dalam pertemuan mahasiswa teologi asal GKI Jawa Tengah di daerah Magelang, tahun 1974. Saat itu Pdt. Agus Susanto dan almarhum Ibu Nani juga hadir. Sekitar 20-an orang mahasiswa dari kedua sekolah teologi berkumpul untuk bersekutu, membahas topik-topik aktual termasuk beberapa isu teologis mutakhir, dan mengatur strategi bagaimana memperkenalkan dan mencitrakan diri pada jemaat sebagai calon-calon pendeta.

Pada kesempatan itu saya amat kagum pada kefasihan Wyanto berdiskusi, walau memberi kesan ngotot. Apalagi saat itu saya masih duduk di tingkat pertama. Banyak sekali pengertian dan istilah teologis yang asing bagi saya. Saya sibuk mendengarkan, mengikuti dan berusaha memahami diskusi para senior saya itu, sehingga saya tidak mampu berpartisipasi.

“Tanpa pemahaman atas konteks, kita takkan dapat menentukan alur teologi yang sepatutnya kita tempuh…” kata seorang mahasiswa dari STT Jakarta.
“Ya, tetapi jangan lupa bahwa kita mewarisi teologi Barat, yang berarti kita juga mesti memahami konteks Barat…” sambung seseorang dari STT Duta Wacana.
“Memang,” tukas Wyanto. “Dan salah satu unsur utamanya adalah sekularisasi…”

Sesudah beberapa orang, termasuk Wyanto, yang kerap mendominasi percakapan, asyik menjelaskan dan berdebat tentang apa dan bagaimana itu sekularisasi, saya tetap saja tidak dapat memahaminya.

Saya menggamit Samuel Santoso (kini pendeta di GKI Kedoya Jakarta Barat) yang duduk di sebelah saya dan berbisik kepadanya:

“Aku tetap tidak mengerti apa itu sekularisasi…”
Samuel terkekeh-kekeh dan menjawab dengan mata bersinar-sinar:
“Tahu nggak kamu… bila mendengarkan mereka bicara seperti itu, rasanya mereka itu juga tidak terlalu memahaminya…” Dan kami berdua pun tertawa terbahak-bahak sehingga diingatkan oleh beberapa teman untuk tidak terlalu ribut.

Sekembali saya ke Jakarta saya jarang berhubungan dengan teman-teman dari STT Duta Wacana, juga tidak dengan Wyanto. Bila tidak keliru, ketika saya duduk di tingkat 3 Wyanto ditabiskan sebagai pendeta di GKI Purworejo Klampok. Lalu waktu saya memulai pelayanan jemaat di GKI Klaten pada akhir tahun 1980, saya mendengar bahwa Wyanto diproyeksikan untuk, atau bahkan sudah, menjadi dosen di STT Duta Wacana yang juga direncanakan untuk dikembangkan menjadi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).

Di negeri Belanda kami berjumpa kembali. Saya sedang dalam tahap penulisan tesis, ketika Wyanto beserta istri dan kedua anaknya datang di kota Kampen. Ia ditugaskan untuk studi lanjut oleh Fakultas Teologi UKDW dalam bidang etika. Di kota Kampen kami mendapat kesempatan untuk mengenal masing-masing dengan lebih baik dan menjadi dekat.

Banyak hal kami bagi dan nikmati bersama, baik sebagai keluarga maupun sebagai pribadi. Wyanto dan saya mempunyai banyak kegemaran yang sama. Mulai belanja bersama, main catur, komputer, diskusi buku dan banyak lagi. Dan tentunya, Wyanto tidak meninggalkan kegemarannya untuk diskusi dengan ngotot. Rasanya kengototannya bertambah parah dibandingkan dengan dahulu. Namun satu hal yang amat menonjol pada Wyanto, tetapi juga pada istri dan anak-anaknya, adalah sifat murah hati.

Dalam keterbatasan dana beasiswa yang kami terima selama studi, Wyanto dan Winny istrinya, amatlah royal bila berbagi makanan atau apapun dengan kami, rekan-rekannya asal Indonesia di universitas. Ia tidak pernah hitung-hitungan soal uang. Bila ada orang meminta bantuan, termasuk uang, dengan tidak segan-segan Wyanto akan menolongnya. Sehingga kadang-kadang saya mendapatkan kesan bahwa ia kurang peduli pada masa depan. Pernah beberapa kali saya mengingatkannya untuk menabung. Namun ia tersenyum saja dan dengan enteng menjawab:

“Kalau ada ya menabung… kalau ada yang lain yang lebih perlu ya nggak nabung…”

Selesai studi Wyanto dan keluarga kembali ke Yogyakarta. Saya pindah ke kota Tilburg melayani sebagai pendeta utusan GKI untuk Gereja Kristen Indonesia-Nederland (GKIN). Selama melayani di GKIN paling tidak 2 tahun sekali kami berkunjung ke Indonesia. Selain untuk berlibur, saya mengunjungi jemaat pengutus saya, GKI Bromo di kota Malang. Dan beberapa kali kami menyempatkan diri mampir di Yogyakarta, mengunjungi Wyanto dan keluarganya.

Pertemuan-pertemuan itu selalu terasa sangat menyenangkan. Selain bernostalgia tentang masa lalu, kami main catur dan berdiskusi dengan seru, tentunya dengan ngotot. Keluarga Wyanto menempati sebuah rumah yang sederhana, yang masih dicicil. Kelihatan penuh sesak dengan perabot dan barang-barang. Namun mereka tinggal di situ dengan nyaman dan bahagia.
Yang menarik adalah bahwa sifat murah hati Wyanto sekeluarga juga masih tetap kelihatan. Bukan hanya terhadap kami, tetapi terutama bagi mereka yang membutuhkan. Beberapa kali mereka menampung dan mengasuh bayi-bayi yang tidak diingini oleh orang tua mereka, hingga mereka menemukan orang tua angkat yang mereka yakini layak untuk anak-anak itu. Mereka juga mempunyai beberapa mahasiswa asuh, yang mereka tanggung biaya kuliah mereka. Setidaknya setiap tahun ada 1 atau 2 mahasiswa, padahal mereka masih harus menyekolahkan 3 anak mereka. Menabung? Jawabannya masih sama entengnya dengan dahulu:

“Kalau ada ya menabung… kalau ada yang lain yang lebih perlu ya nggak nabung…”

Tahun 1998 ketika krisis moneter melanda dunia dan khususnya Indonesia, dengan keras, kami jemaat GKIN di Belanda, berusaha untuk mengerahkan anggota jemaat guna menggalang dana dan mengirimkan bantuan ke Indonesia. Banyak surat permohonan kami terima dari tanah air yang sayangnya tidak semua dapat dicek kebenarannya dan tentunya tidak semua dapat kami bantu. Dalam situasi seperti itu, kami orang-orang asal Indonesia di Belanda, kerapkali mendapatkan penawaran yang menggiurkan dari teman-teman dan kenalan di Indonesia. Antara lain tawaran untuk membeli rumah yang terkadang hanya separuh bahkan kurang dari nilai sebenarnya, karena pada saat itu banyak orang Indonesia membutuhkan uang tunai. Tidak sedikit orang-orang asal Indonesia yang memanfaatkan hal itu, atau tepatnya mengeksploitasikannya. Dengan sedih saya mendengarkan mereka yang dengan bangga bercerita tentang rumah mereka yang baru, di Jakarta atau Surabaya, yang amat murah, apalagi bila dikurskan dalam uang Belanda. Biasanya saya tidak berkomentar apapun dan memilih untuk berdiam diri.

Namun pada suatu kali saya tidak dapat menahan diri saya. Seorang kenalan dari anggota jemaat bercerita dengan bangga di gereja (!) bagaimana ia dalam sekejap meraih untung yang besar ketika berkunjung ke Indonesia. Ia bekerja sama dengan seorang perwira tentara membeli beberapa truk beras murah, yang seharusnya dimaksudkan untuk dijual secara murah kepada masyarakat di daerah-daerah. Dan berkat sang perwira tentara, beras murah itu dialihkan menjadi beras biasa dan dijual di Jakarta dengan harga biasa. Mereka, sang kenalan dan sang perwira tentara, meraih untung yang besar, sehingga menurut sang kenalan itu, cukup mengongkosi biaya perjalanannya ke Indonesia beserta keluarga dan pengeluaran selama berlibur di Indonesia.

“Bukankah beras itu seharusnya dijual murah untuk orang miskin di daerah? Lalu mereka bagaimana dong…?” tanya saya dengan ketus.
“Ya… saya tidak tahu…. saya hanya diajak saja oleh kenalan saya yang tentara itu,” ia menjawab dengan nada tidak senang.
Saya menggeleng-gelengkan kepala saya, dan berkata:
“Kok tega ya Anda, mendapatkan untung di atas kemalangan orang miskin…”

Ia langsung menarik wajah yang amat tidak sedap. Tetapi saya tidak memedulikannya lagi. Tidak lama kemudian saya menerima surat dari Wyanto. Dengan penuh rasa ingin tahu saya membukanya, hendak mendengar kabar tentang mereka sekeluarga dan teman-teman lain di Yogyakarta.

Suratnya, sama seperti banyak kabar dari Indonesia saat itu, menceritakan betapa makin sulitnya kehidupan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Harga-harga, terutama makanan, yang melonjak amat tinggi tak terkendali, ketidakstabilan ekonomi, keamanan yang rawan karena kejahatan kian menjadi-jadi, tiba-tiba terdapat banyak sekali orang miskin dan peminta-minta, serta banyak lagi. Namun alih-alih meminta bantuan, seperti yang biasa kami terima, Wyanto menulis begini:

“Kehidupan makin sulit di sini. Harga-harga kian mencekik, banyak orang berada dalam keadaan yang sukar. Sehingga makin banyak orang yang perlu ditolong dan dibantu. Kami berbuat sebisa kami di sini. Tolong doakan kami…”

Dalam kontak kami berikutnya ketika saya bertanya apakah ada yang perlu kami bantu untuk mereka. Wyanto menjawab:

“Kami baik-baik saja. Lanjutkan saja apa yang sudah dilakukan oleh GKIN untuk masyarakat Indonesia…”

Banyak orang, semua pendeta GKI dari Sinode Wilayah Jawa Tengah, dan civitas academica UKDW mengenal siapa Wyanto. Ia adalah seorang pendeta yang baik, dosen yang handal, (amat) suka ngotot, sangat teguh memegang prinsip bahkan cenderung kaku. Namun rasanya tidak ada seorang pun, yang sungguh-sungguh mengenalnya, akan membantah bila dikatakan bahwa Wyanto adalah seorang hamba Tuhan dan dosen yang murah hati.

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...