Sang Maestro

sebuah upaya memahami peran di tengah karya

Belum ada komentar 184 Views

Ada seorang anak laki-laki umur empat tahun yang dikursuskan piano oleh ayahnya. Karena minat belajarnya tinggi, setelah tiga bulan anak ini segera dapat memainkan beberapa lagu sederhana. Sang ayah membanggakan kemampuan anaknya kepada para kerabat dan saudaranya dengan mengatakan bahwa anak ini cerdas dan berbakat.

Ketika suatu hari ada seorang maestro pianis dari Wina yang mengadakan konser piano, sang ayah mengajak anaknya menonton untuk lebih mengasah kepekaan dan cinta anaknya pada permainan piano. Gedung pertunjukan penuh sesak dengan penonton yang sebagian besar pianis. Tidak berapa lama, sang ayah terkejut ketika menyadari bahwa anaknya, yang tadinya duduk di sampingnya, tidak ada lagi. Dengan cemas ia celingukan ke sana ke mari. Ternyata anaknya telah menaiki panggung dengan santai dan menuju ke piano besar di atas panggung; lampu sorot mengikutinya dan lampu-lampu lain segera dimatikan karena pertunjukan akan segera mulai.

Tanpa keraguan sedikit pun si anak duduk di bangku piano dan mulai memencet tuts piano. Ia memainkan irama lagu ‘Twinkle-Twinkle Little Star’. Sesaat kemudian muncul sang maestro dengan senyum lebar di samping si anak. Sang maestro turut memainkan lagu itu dengan si anak sehingga musik yang dihasilkannya menjadi lebih hidup, bervariasi dan bernuansa klasik. Semua penonton bertepuk tangan gembira. Si anak makin bersemangat bermain.

Setelah selesai bermain, sang maestro mengajak si anak untuk berdiri di tengah panggung, menghadap penonton dan memberi hormat kepada mereka. Para penonton menyambut mereka dengan standing applaus yang cukup lama. Dalam hati si anak merasa sangat bangga karena mengira mendapat sambutan dan penghargaan yang demikian meriah.

Benarkah perasaan si anak? Apakah sambutan meriah diberikan kepadanya? Permainan pianonyakah yang membuat penonton terkagum-kagum? Atau, untuk diakah sebenarnya lampu sorot di panggung tadi? Sebaiknya si anak tidak usah tahu jawabannya sampai ia siap dan mengerti bahwa semuanya itu ditujukan untuk sang maestro.

Bagaimana kita dan kejadian-kejadian yang berlaku dalam hidup kita? Sering kali kita merasa hebat dan pantas mendapat pujian; bahkan lebih parah lagi, kita sering tidak menyadari bagaimana orang memandang kita dan mengaitkannya dengan sesuatu yang lebih besar yang membuat mereka kagum sehingga memberikan penghargaan dan syukur yang besar kepada-Nya, dan bukan kepada kita. Kita sering berpikir bahwa kitalah sang maestro itu.

Kita sering mengambil alih peran, hak serta kemuliaan Tuhan, padahal dalam banyak hal kita tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Namun ironisnya kita merasa telah berkarya sendiri dengan segala kemampuan dan kehebatan kita serta menyerahkan hasil matangnya kepada Tuhan.

“Setelah dengan rajin saya memberitakan Injil, tekun berdoa, melayani dengan sabar, serta tak henti-hentinya berjuang, tepat tiga tahun sejak kedatangan saya di tempat itu, saya telah membuat 78 orang dari tiga desa yang berdekatan, bertobat,” kisah seorang penginjil di sebuah persekutuan ekumene.

Seorang pendeta juga bercerita: “Saya melayani di sebuah gereja yang jemaatnya sangat visioner. Mereka sangat memahami tugas yang Tuhan berikan kepada orang Kristen. Dari tahun-tahun awal yang sulit, kami secara bersama terus berjuang membawa jiwa-jiwa kepada Tuhan. Sampai sejauh ini kami telah memenangkan lebih dari 700 jiwa yang berasal dari banyak tempat dan gereja lain. Kami menghimpun mereka dan mengajarkan kebenaran sejati di gereja kami.”

Di tempat lain seorang Kristen yang saleh menangis sedih sambil menceritakan pergumulannya: “Bayangkan seperti apa kesedihan saya melihat anak saya satu-satunya memilih pasangan yang tidak seiman? Hanya karena alasan saling mencintai ia tidak mengindahkan hukum Tuhan. Saya merasa gagal sebagai orangtua karena saya tidak mampu membawa menantu saya kepada Tuhan. Yang lebih menyakitkan lagi, justru anak saya berpindah agama dengan alasan mengikuti pasangannya. Saya benar-benar merasa gagal mendidik anak saya untuk mencintai Tuhan.”

Benarkah orang berhak mengatakan hal tersebut sebagai keberhasilan atau kegagalan upayanya mengajak orang datang kepada Tuhan? Apakah manusia punya kekuatan atau kuasa untuk mengarahkan, atau bahkan mengubah sikap hati orang yang semula tidak mengenal Tuhan menjadi percaya dan menerima Tuhan, atau sebaliknya? Apakah pertobatan seseorang bisa ditentukan oleh kehebatan kita dalam memperkenalkan Tuhan kepadanya?

Bukankah dalam Yohanes 15:16 dikatakan sendiri oleh Tuhan soal orang yang menjadi percaya: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.”

Dari Firman Tuhan di atas jelaslah bahwa orang menjadi percaya dan menerima Tuhan bukan karena kemauan dan kehendak orang itu sendiri, apalagi kemampuan dan kuasa orang ketiga yang berusaha membawanya kepada Tuhan, tetapi semata-mata karena Tuhan sendirilah yang memilih orang itu untuk menjadi orang percaya.

Kita sering menyiratkan kebanggaan kosong seolah-olah telah melakukan karya besar dengan kepandaian dan kemampuan kita sendiri, padahal itu semua karya Allah yang seharusnya disyukuri dan bukan dipakai sebagai sarana untuk menyombongkan diri. Kita terlalu sederhana memandang sebuah karya kehidupan seolah-olah melibatkan kemampuan dan upaya manusia saja, dan meninggalkan peran serta bahkan peran utama sang Maestro kehidupan itu sendiri, yakni Allah.

Bukan berarti niat dan upaya penginjil, pendeta, dan orang saleh tadi sia-sia serta tidak ada artinya. Mereka telah diperkenankan Allah untuk berkontribusi sebagai mitra Allah pada karya keselamatan yang disiapkan-Nya. Kegigihan, keuletan, kesabaran, dan kesetiaan mereka dalam memperkenalkan orang-orang pada Firman Tuhan dan menuntun orang-orang tersebut pada pemahaman yang lebih mendalam akan Tuhan, sungguh luar biasa. Apakah nanti orang-orang tersebut percaya atau menolak Allah, bukanlah ranah kekuasaan yang dapat dijangkau oleh mereka. Itu benar-benar merupakan hak prerogatif Allah. Mereka sebatas mengupayakan sebaik-baiknya, Allah yang menentukan. Jadi tidak ada alasan untuk bangga berlebihan, maupun sedih berkepanjangan. Mereka sudah mendapat bagian dalam tugas mereka.

Mengapa banyak upaya pengabaran Injil yang disampaikan dengan tekun, setia, tabah dan bersemangat dalam jangka waktu panjang tidak menunjukkan hasil yang memadai, bahkan terkesan seperti menabur garam di lautan?

Dalam upaya mengabarkan berita Injil, tidak sedikit di antara kita yang hanya mendasarkannya pada pengetahuan Alkitab, kemampuan berkomunikasi serta kehebatan menjalin relasi yang kita miliki. Kita berusaha untuk membawa orang kepada Kristus dengan menceritakan dan menjelaskan dogma-dogma kekristenan, indahnya kehidupan persekutuan, agungnya anugerah keselamatan, serta mulianya hidup abadi yang dikaruniakan kepada semua orang yang percaya. Pendeknya yang kita sampaikan adalah sesuatu yang di ‘sana’, yang akan kita jumpai kelak, sesuatu yang masih sangat misteri baginya, dan bahkan mungkin juga bagi kita.

Dengan demikian sering kali orang tidak melihat relevansinya dengan kehidupan saat ini, dan bahkan juga dengan permasalahan yang dihadapinya saat ini. Lebih celaka lagi apabila ia tidak melihat bahwa kehidupan kita merepresentasikan apa yang kita saksikan kepadanya. Standar penilaian kebenaran pemberitaan kita adalah kehidupan kita sendiri dan kehidupan komunitas gereja kita. Ini yang sering menjadi batu sandungan apabila yang kita beritakan tidak sama dengan perilaku kita dan komunitas kita. Orang tidak melihat Kristus dalam pemberitaan Injil kita.

Mahatma Gandhi, yang sangat mengenal dan memahami Yesus melalui buku-buku, bahkan Alkitab yang dibacanya, pada akhirnya tidak menjadi Kristen. Ia berkata: “Saya tidak pernah menolak Kristus. Saya suka Kristus Anda. Tapi saya tidak suka dengan orang Kristen Anda. Jika orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Kristus, seperti yang ditemukan di dalam Alkitab, seluruh India sudah menjadi Kristen hari ini.”

Pengabaran Injil pada hakikatnya membawa Yesus kepada dunia, bukan membawa dunia kepada Yesus .

Seyogyanya kita menampilkan Kristus pada saat melakukan pengabaran Injil. Kita mempraktikkan kasih yang Kristus teladankan kepada kita dalam melayani sesama. Apa yang kita katakan adalah apa yang kita lakukan. Komunitas kita seyogyanya terdiri atas orang-orang yang juga melakukan Firman Tuhan, tidak sekadar memahaminya saja. Kita dan komunitas kita menjadi teman bagi mereka yang sendirian dan tersisihkan, menjadi saudara bagi mereka yang yatim piatu, menjadi jawab bagi mereka yang mencari-cari, serta menjadi pengayom bagi mereka yang memerlukan perlindungan dan pertolongan.

Menyampaikan berita Injil dengan cara seperti itu akan membuat orang lebih mudah memahami. Bukti pemberitaan yang dilihat, dirasakan dan dialaminya menunjukkan kehadiran Kristus dalam kehidupan pribadi-pribadi dan komunitas yang ditemuinya.

Sampai di situ saja sebenarnya ujung peran kita. Selebihnya adalah ranah yang menyangkut hak prerogatif Allah, kuasa Roh Kudus, serta hasil-hasil akhir selanjutnya dari karya Allah yang telah dimulai-Nya, bahkan sebelum kita berperan serta di dalamnya. Kita hanyalah bagian kecil dari orkestra yang dimainkan sang Maestro, yakni Allah sendiri. Kita menjadi bagian yang memperindah, bukan yang menentukan. Seandainya pun kita memainkan dengan baik peran yang menjadi bagian kita, sang Maestrolah yang bertanggung jawab pada hasil akhir rancangan yang dibuat-Nya.

Apakah semua orang yang mengenal dan mengalami kasih Bunda Teresa berubah menjadi Katolik? Apakah semua orang yang mendengar khotbah Billy Graham bertobat dan mengikut Kristus? Atau bagi yang Kristen: apakah iman dan kehidupan semua orang yang mengenal kita berubah menjadi lebih baik? Tidak juga bukan? Apakah itu berarti Bunda Teresa atau Billy Graham kurang bersungguh-sungguh? Siapa yang berani mengatakannya? Jadi tugas kita adalah bertindak sebaik-baiknya dalam peran yang Tuhan amanatkan kepada kita. Soal mereka bertobat dan menjadi anak Tuhan, bukankah Tuhan sendiri yang menetapkan? Sang Maestro telah memiliki skenario agung tersendiri dalam menetapkan dan memelihara umat-Nya.

>>sujarwo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...