Raja Damai itu untuk Semua Orang

Raja Damai itu untuk Semua Orang

1 Komentar 759 Views

Beberapa waktu lalu dua orang saudara kita menikah dan sesudah kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah, di luar gedung gereja, mereka melepaskan sepasang merpati, sebagai lambang pelepasan masa lajang. Tapi merpati juga lambang perdamaian. Tanpa diduga, kedua merpati itu terbang, tapi hanya di sekitar gereja. Nah, selesai acara selesai, Pak Teguh menangkap sepasang merpati putih itu dan memberikannya pada saya. Wah, saya terima dengan senang.

Tahukah Anda, apa yang terjadi dengan sepasang merpati ini, sampai detik ini. Hewan lambang perdamaian itu setiap hari, khususnya ketika diberi makan, selalu saling mematuk, berebut makanan. Sama sekali tidak ada damai. Sampai-sampai saya yang melihatnya ikut prihatin. Padahal sama-sama merpati, sama-sama putih, sama-sama lambang perdamaian.

Apakah kesamaan menjamin perdamaian? Sebaliknya, apakah perbedaan pasti memunculkan pertikaian? Saya makin percaya, bahwa persamaan memang bisa menyatukan, tapi juga bisa menjadi awal pertikaian. Sebaliknya, perbedaan, jika ditonjol-tonjolkan bisa mengakibatkan permusuhan, namun juga, jika diterima dengan arif, bisa memperkaya kebersamaan.

Dua agama besar di dunia ini, Islam dan Kristen, ditambah Yahudi, banyak bertikai, di Yerusalem atau malah di Ambon, walaupun sama-sama agama Abraham. Yang sering menjadi titik pertikaian justru hal-hal yang sama-sama ada di dalam tradisi keduanya. Bahkan, kalau kita menyaksikan sejarah Irlandia, Protestan dan Katolik, yang sama-sama mengaku Yesus sebagai Tuhan, bertikai dahsyat.

Karena itu, mungkin strategi Yesus menarik: Dia mencari murid yang berbeda-beda. Malah ada yang secara sosial bermusuhan: Matius, pemungut cukai, antek penjajah Roma, dan Simon orang Zelot, kelompok yang nasionalis yang paling membenci pemerintah Roma dan antek-anteknya. Keduanya dipersatukan menjadi murid Yesus.

Kita membaca dua kisah Natal tentang dua kelompok yang juga berbeda luar biasa: Gembala dan Orang Majus. Yang satu pribumi-Yahudi, yang lain orang asing. Yang satu miskin, yang lain kaya. Keduanya disapa oleh Allah dan diperkenankan untuk menjadi saksi-saksi pertama kehadiran Yesus di dunia.

Gembala adalah salah satu kelompok terendah di kalangan masyarakat Yahudi. Mereka nyaris seperti budak. Mereka lebih dianggap properti si tuan daripada manusia yang kebetulan bekerja untuk si tuan. Setelah mereka mendengar berita dari malaikat, dikatakan pada Lukas 2:16, mereka “cepat-cepat berangkat.” Berita dari malaikat itu jauh lebih besar daripada domba-domba mereka. Ada kemungkinan mereka meninggalkan domba-domba yang menjadi tanggung jawab mereka. Dan apa artinya itu? Sepulang mereka ke tempat asal mereka, risiko besar menunggu. Kemarahan tuan mereka! Syukur kalau hanya dipecat. Bisa jadi malah dihukum!

Lalu Orang Majus. Di drama-drama Natal Sekolah Minggu, biasanya ditampilkan adegan para gembala datang ke kandang menemui Bayi Yesus di palungan. Kemudian di samping mereka berlutut orang Majus. Jadi keduanya bertemu di hadapan Bayi Yesus. Gambaran ini tidak tepat sama sekali. Matius memakai kata “Anak” untuk menyebut Yesus. Jadi sudah pasti Yesus sudah bukan bayi lagi. Itu sebabnya Herodes membunuh bayi-bayi berusia 2 tahun ke bawah. Jadi ada kemungkinan Yesus berusia 2 tahun. Sudah lari-lari.

Tapi, yang mau kita lihat sekarang adalah ide dasarnya. Siapa orang Majus. Majus searti dengan Magi. Dari sini muncul kata Magic, sihir. Mereka adalah dukun, orang yang melihat makna hidup dari letak bintang-bintang. Itu agama mereka. Yang menarik, Allah memakai benda-benda alam itu untuk menunjuk pada Sang Bintang Timur, yaitu Yesus. Dalam pandangan orang Yahudi yang amat nasionalistis atau malah chauvinistik, orang-orang majus jelas orang pinggiran. Orang asing dan kafir. Masa masa itu, haram hukumnya buat orang Yahudi bersahabat dengan mereka.

Para gembala dan para majusi. Keduanya orang-orang pinggiran. Yang satu terpinggirkan atas dasar ekonomi. Yang lain terpinggirkan atas dasar ras.

Peminggiran seperti ini masih terus terjadi sampai detik ini. Yang miskin dipinggirkan. Makanya kalau ada anak dari keluarga biasa-biasa saja sudah lulus dari perguruan tinggi atau sukses dalam hidup, si orangtua biasa berkata, “Wah anakku sudah jadi orang.” Jadi kalau tidak sukses, belum sungguh-sungguh orang.

Yang bukan orang pribumi dipinggirkan. Agama juga jadi faktor pinggir-pusat. Mayoritas-minoritas jadi momok. Ketika kerusuhan Mei 97, saya amat sedih karena orang lebih suka mengidentifikasi diri sebagai orang pusat: Di mana-mana rumah diberi label: Pribumi asli. Sudah pribumi, asli lagi. Malah di daerah Pamulang, sebuah gereja yang tidak memakai sebuah ruko, ikut-ikut menulis: Milik X (agama tertentu).

Gender juga bisa jadi faktor. Perempuan jadi nomor dua di bawah laki-laki. Usia juga. Anak kecil atau orang tua, lansia, dipinggirkan.

Cara berpikir kita selalu ke pusat. Semakin ke pusat semakin jadi manusia. Semakin ke pinggir semakin berkurang kemanusiaannya. Di Amerika Serikat dulu, negro itu harta milik, yang bisa diperdagangkan. Bagi Hitler, orang Yahudi itu penyakit dunia yang pantas dieliminasi.

Orang Kristen yang dipinggirkan di Indonesia, bukannya berusaha bersikap kritis terhadap pola pusat-pinggir, malah ternyata sering memakai pola yang sama dalam lingkungannya sendiri. Di perusahaan, pegawai harus Kristen. Di rumah, malah pembantu rumah tangga harus Kristen. Kalau belum ya dikristenkan.

Ada dua kelompok yang terpinggirkan. (Gambar 1). Yang pertama secara ekonomi: Para gembala adalah orang pinggiran. Yang kedua secara ras: Para majus adalah orang pinggiran. Apa yang sama pada keduanya adalah: Mereka sama-sama datang pada Yesus yang juga ada di pinggiran. Allah datang ke dunia dengan cara yang mengagumkan. Ia datang sebagai orang hina, manusia lemah, lahir di palungan hewan. Begitu ekstrim. Dan ketika Ia mati, Ia mati dengan cara paling terkutuk: Di atas salib, tanda hukuman yang hanya cocok untuk kriminal terberat.

Raja Damai Itu Untuk Semua Orang. Bukan hanya orang pusat. Tapi juga pinggiran.

Apa maknanya semua ini?

1.    Di dalam ajaran Kristen ada istilah “orang pilihan.” Kita salah menafsirkan ajaran ini dengan mengatakan bahwa kalau “yang terpilih” berarti adalah “yang ditolak.” Lalu kita memakai pola yang sama: Orang Kristen itu pilihan, yang bukan Kristen itu ditolak. Tapi yang menarik: Semua orang pilihan yang ada di Alkitab itu justru orang-orang yang paling tidak layak di mata masyarakat. Yakub si penipu, dipilih. Abaraham yang mandul, dipilih. Paulus fundamentalis yang suka membunuh orang Kristen, dipilih. Jadi pemilihan tidak berarti yang lain ditolak. Tapi mereka dipilih untuk menjadi bukti dan contoh, bahwa kalau yang sebrengsek ini dikasihi Tuhan, maka semua orang juga dikasihi Tuhan.

Hati Allah tidak terarah pada orang-orang pilihan saja, tapi semua orang. “Karena begitu besar kasih Allah pada dunia ini.” Dalam 1 Petrus dikatakan bahwa Allah menghendaki SEMUA orang diselamatkan. Raja Damai itu untuk semua orang.

2.    Yesus datang bukan ke pusat, tapi ke pinggiran untuk menyatakan solidaritas-Nya dengan semua orang yang dipinggirkan. Jelas bukan kebetulan kalau semua yang terlibat dalam kisah Natal itu orang pinggiran. Para gembala, orang majus, perempuan bernama Maria, orangtua bernama Simeon dan Hana.

Yesus justru membuat lingkaran yang baru di mana Ia menjadi pusat yang berisi orang-orang pinggiran. (Gambar 2). Yang di pinggiran jadi di pusat dan yang di pusat jadi di pinggir. Itu sesungguhnya isi nyanyian Maria dalam Lukas 1:52-53.

Tentu saja, Yesus tidak menolak orang-orang kaya atau orang Yahudi, atau orang dewasa, atau laki-laki. Sama sekali tidak. Yesus hanya mengecam mereka yang menjadi label-label itu jadi pusat hidup. Kekayaan jadi pusat hidup, ras menjadi pusat hidup, dan sebagainya. Yesus mengasihi semua manusia. Dan Ia mengundang yang di pusat, yang sekarang justru di pinggir, untuk bergerak ke pusat yang baru. Menuju Yesus. Dan menuju Yesus berarti menuju mereka yang bersama-sama Yesus: Yang miskin, orang asing, anak kecil, yang tidak seagama dan sebagainya. Karena itu Yesus berkata, “Apa yang engkau lakukan pada salah seorang dari saudara-Ku yang hina ini, yang terpinggir ini, engkau sudah lakukan untuk Aku.”

3.    Lukas 2:20 & Matius 2:12 menggambarkan bahwa para gembala dan para majus kembali ke dalam kehidupan mereka masing-masing. Tapi ada perubahan besar dalam hidup mereka. Dalam kasus gembala, mereka kembali “sambil memuji dan memuliakan Tuhan.” Ada kegembiraan hidup karena mereka menemukan pusat hidup mereka, pembela mereka, penghibur mereka. Dalam kasus orang Majus, mereka tadinya percaya dan bergantung pada bintang di Timur, kemudian setelah bertemu dengan Herodes, mereka patuh pada Herodes. Tapi setelah bertemu dengan Yesus, mereka patuh pada petunjuk Allah untuk pulang melalui jalan lain. Allah sudah menjadi pusat hidup mereka yang baru. Mereka menjadi saksi di dalam kehidupan mereka masing-masing, memberitakan PUSAT KEHIDUPAN yang baru: Yesus!

Pdt. Joas Adiprasetya

1 Comment

  1. Elia Umbu Zasa

    saya sangat terberkati dengan renungan ini.
    pengamatan yang sangat masuk akal dan berdasarkan kebenaran
    sungguh, terima kasih. amin

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...