bermakna

Masihkah Natal Bermakna?

Belum ada komentar 167 Views

Komersialisasi Natal yang bersifat individualis dan hedonis, harus diakui mereduksi makna Natal, menjadi sekadar pesta diskon akhir tahun, makan malam dengan tema Natal, atau berbagai kegiatan hiburan akhir tahun dengan tema Natal.

Padahal, Natal sejatinya adalah perendahan diri Allah, menjadi sama dengan manusia untuk ikut merasakan (berempati) dengan segala duka derita man usia. Natal juga menjadi pemberian diri Allah pada dunia dan manusia, untuk membaharui dunia dan memanusiakan manusia. Natal adalah solidaritas Allah pada yang kecil dan lemah, pada yang kekurangan dan miskin. ltulah sebabnya Yesus, sang Putra Natal lahir di palungan, di tempat termiskin dan dikelilingi oleh para gembala, yang pada waktu itu menjadi kelompok marginal.

Karena itu, Natal seharusnya bukan pesta dan belanja. Natal seharusnya menjadi wadah kegiatan spiritual setiap anak Tuhan, untuk ikut merasakan (berempati) dengan mereka yang miskin dan papa serta menderita. Natal juga menjadi wadah untuk berbagi dan peduli pada yang kekurangan. Jika selama setahun ini banyak berkat kita terima, janganlah berkat itu kita habiskan buat ‘bapesta’, tetapi mari kita pakai sebagian berkat itu buat berbagi dengan mereka yang kekurangan. Natal menjadi wadah gereja menyatakan solidaritasnya pada yang lemah dan terpinggirkan secara konkret melalui program-program kepeduliannya. Jadi bukan hanya ibadah liturgis gerejawi, apalagi ‘makan malam bersama’ yang muaranya hanyalah diri dan kelompok sendiri.

Tentu ibadah liturgis dan persekutuan di antara kita boleh saja. Tetapi jangan berhenti di situ. Harus ada kegiatan konkret untuk memaknai Natal, karena kalau kita berbicara soal makna, berarti adalah tanggung jawab kita untuk memaknainya, baik secara personal maupun komunal. Pada Natal yang pertama, setiap tokoh Natal memaknai peristiwa kelahiran Yesus itu secara berbeda. Bukankah para Majusi memaknai peristiwa kelahiran Yesus berbeda dengan Herodes?

Artinya, proses memaknai Natal memang bisa berbeda seorang terhadap yang lain. Tetapi sebagai anak Tuhan, kita seharusnya disatukan oleh peristiwa Natal itu sendiri. Allah yang hadir sebagai manusia, berada di tengah kita, lahir di kandang hina, seharusnya menginspirasi kita baik secara personal maupun komunal untuk memaknai Natal sesuai dengan apa yang Tuhan mau.

Apakah Natal masih bermakna? O, itu tanggung jawab kita untuk menjawab dengan memaknainya. Jika kita diam, maka Natal sungguh tidak bermakna, karena berbagai upaya komersialisasi Natal sulit dihindari. Apalagi kalender gerejawi kita menetapkan Natal di penghujung tahun yang adalah hari libur yang universal. Tak salah kalau Merry Christmas kemudian berganti menjadi Happy Holidays.

Kita harus memaknai Natal seperti semangat Natal sejati. Berbagi dan peduli seperti Allah yang memberi diri. Merendahkan diri, menjadi sama dan bersolidaritas dengan yang menderita. Tanpa itu, Natal sungguh tidak bermakna! Tetapi jika setiap anak Tuhan mau menjadi lilin Natal yang meleleh, berkorban untuk menerangi dunia gelap ini, saya percaya Natal sungguh bermakna. Pilihan ada pada kita, saudara dan saya.

Pdt. Rudianto Djajakartika

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...