Marilah Memuji Tuhan

Marilah Memuji Tuhan

Belum ada komentar 2064 Views

Tidak dapat disangkal lagi bahwa pujian kepada Tuhan merupakan bagian yang penting dalam ibadah umat Kristen. Bahkan dalam kitab Wahyu pasal 4, Rasul Yohanes menyaksikan kegiatan yang dilihatnya di surga:

…, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam:
“Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahahuasa, Yang sudah ada, dan yang ada, dan yang akan datang.” (Wahyu 4:8b)

Dari ayat di atas kita mengetahui bahwa di surga tidak ada lagi kebaktian dan doa, melainkan hanya puji-pujian.

Puji-pujian kristiani sebagian besar diilhami oleh ayat-ayat dalam Alkitab yang berbicara secara pribadi kepada penggubahnya. Puji-pujian tersebut telah mendatangkan berkat yang luar biasa kepada kita semua, baik pada waktu kita berada di dalam pergumulan maupun pada saat kita bersukacita. Pengetahuan kita tentang latar belakang terciptanya puji-pujian tersebut akan sangat membantu penghayatan kita pada waktu melantunkannya.

Bahan-bahan tulisan ini disadur secara bebas dari buku Then Sings My Soul karya Robert J. Morgan, The Sacrifice of Praise karya Lindsay Terry (dari Integrity Publisher), dan Hundred Greatest Songs in Christian Music terbitan CCM Magazine (Intergrity). Untuk setiap ayat Alkitab, kami sertakan juga kutipannya dalam bahasa Inggris, karena lirik asli dalam bahasa tersebut sangat selaras dengan lagunya.


Now Thank We All Our God (1636) / Sekarang Bersyukur – KJ 287

Seorang pengkhotbah Inggris yang sudah lanjut usia pernah sekali berujar: “Pikiran yang mengucap syukur adalah pikiran yang besar,” dan hal ini dikonfirmasi oleh Alkitab. Ada 138 bagian Alkitab yang membahas pengucapan syukur, dan sebagian di antaranya dengan tegas menyebutkannya.

And whatever you do in word or deed, do all in the name of the Lord Jesus, give thanks to God the Father through Him.
In everything give thanks; for this is the will of God in Christ Jesus for you.

Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan,
lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. (Kolose 3:17)
Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. (1 Tesalonika 5:18)

Namun dalam kenyataannya, tidak banyak pujian yang liriknya secara eksklusif diperuntukkan bagi pengucapan syukur. Satu di antaranya adalah judul lagu di atas. Jemaat Kristen Jerman melantunkan lagu ini sebagaimana jemaat Amerika menyanyikan doksologi.

Lagu ini digubah oleh Martin Rinkart (1586-1649), seorang pendeta gereja Lutheran di sebuah desa kecil Eilenberg Saxony Jerman. Martin berasal dari keluarga miskin pengrajin tembaga, namun merasa terpanggil untuk menjadi hamba Tuhan. Setelah menyelesaikan pendidikan teologi, ia segera melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, bersamaan dengan terjadinya perang di Jerman (melawan Swedia), yang dalam sejarah Eropa disebut perang 30 tahun.

Pada waktu itu, banyak sekali pengungsi datang berlindung ke Eilenberg karena desa tersebut memiliki pagar pertahanan. Suasana terasa sangat mencekam. Tentara Swedia sudah mengepung desa tersebut dan persediaan makanan serta obat-obatan menipis. Penduduk terancam oleh wabah penyakit, kelaparan dan ketakutan. Kurang lebih 800 rumah hancur berantakan dan jumlah korban yang meninggal dunia semakin meningkat. Para pendeta menghadapi beban berat karena tetap harus menyampaikan firman Tuhan sambil menolong orang-orang yang menderita sakit, sekarat, meninggal dunia serta menguburkan mereka. Tidak lama kemudian bahkan para hamba Tuhan pun jatuh sakit dan meninggal dunia, sehingga hanya tinggal Martin yang masih hidup. Kadang-kadang dalam sehari ia harus melayani 50 penguburan.

Tidak lama kemudian orang-orang Swedia menawarkan perdamaian namun meminta pampasan perang yang sangat besar. Akhirnya hanya Martin seorang diri yang bersedia meninggalkan desa untuk berjalan keluar menuju ke daerah musuh dan berunding dengan mereka. Ia melakukannya dengan penuh iman dan keberanian sehingga perdamaian tercapai dan masa penderitaan pun berakhir.

Martin Rinkart menyadari bahwa pemulihan tidak akan terjadi tanpa didahului oleh pengucapan syukur, oleh karena itu ia menggubah lagu ini bagi sisa-sisa penduduk Eilenberg yang selamat.

Kita berharap bahwa pada tahun 2007 ini Indonesia mengalami pembaharuan dan bangkit dari keterpurukannya, namun marilah kita terlebih dahulu mengawalinya dengan pengucapan syukur kepada Tuhan Yesus yang telah menyelamatkan kita. Lagu ini sekarang dinyanyikan di seluruh dunia:

Now thank we all our God, with heart and hands and voices,
Who wondrous things has done, in Whom this world rejoices.
Who from our mothers’ arms, hath blessed us on our way,
With countless gifts of love and is still ours today.

Sekarang bersyukur, hai hati, mulut, tangan!
Sempurna dan besar segala karya Tuhan!
Dib’riNya kita pun anug’rah dan berkat
Yang tak terbilang t’rus, semula dan tetap.

This is the Day (1960)

Bisa saja dalam persekutuan, satu-satunya bahan nyanyian yang tersedia ialah Alkitab yang mengandung banyak ayat-ayat yang dapat dibaca dengan dinyanyikan (terdapat lebih kurang 300 puji-pujian dalam versi bahasa Inggris).

Lagu di atas merupakan puji-pujian yang sangat terkenal di seluruh dunia, yang diambil dari Mazmur 118 ayat 24:

This is the day the Lord has made we will rejoice and be glad in it.

Inilah hari yang dijadikan Tuhan, Marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!

Lagu tersebut tercipta pada tahun 1960, yang merupakan era di mana terjadi banyak pencurahan Roh Kudus dalam bentuk penciptaan puji-pujian yang menggunakan ayat-ayat Alkitab.

Pencipta lagu di atas ialah Les Garrett, seorang penginjil keliling yang lahir di Selandia Baru dan sekarang bertempat tinggal di Australia. Tidak pernah terlintas di dalam benaknya bahwa suatu saat ia akan menulis sebuah lagu yang begitu luar biasa. Satu-satunya pendorong yang memampukannya menggubah lagu tersebut ialah kecintaannya kepada Alkitab. Les Garretts sangat senang mengingat kembali bagaimana lagu tersebut tercipta.

Ketika Les berumur 24 tahun, ia dan keluarganya pindah ke kota Brisbane di Australia. Pada masa itu, hidupnya sebagai penginjil keliling sangat berat. Pada suatu hari, ia mengadakan perjalanan melewati suatu lembah dengan berbekal uang yang sangat sedikit, bahkan untuk membeli bensin pun tidak cukup. Ia pun beristirahat dan membuka Alkitab yang dipangku di atas pahanya, lalu membaca Mazmur 118. Pada saat sampai ke ayat 24, ia berhenti dan membacanya sekali lagi. Seketika terngiang di telinganya serangkaian nada untuk ayat tersebut. Pada waktu itu ia sama sekali tidak berniat menulis lagu, karena ia tidak merasa berbakat musik dan tidak dapat memainkan alat musik apa pun juga. Karena itu semakin lama ia memikirkannya, semakin yakinlah ia bahwa lagu itu merupakan karunia Tuhan. Les tidak mengajarkan lagu tersebut kepada siapa pun juga selama dua tahun.

Pada tahun 1969 Les diundang untuk berkhotbah dalam suatu pertemuan retret kamping di Selandia Baru. Suatu malam, hamba Tuhan yang menyelenggarakan acara tersebut bertanya: “Apakah ada di antara Anda yang tergerak hati untuk bersaksi sebelum Pendeta Garrett berkhotbah?” Seorang ibu yang sudah lanjut usia berdiri dan menatap Les, lalu berkata: “Ada seseorang di sini yang memiliki sesuatu dari Tuhan namun tidak mau membagikannya. Tuhan telah memberikan sesuatu kepadanya yang semestinya harus dibagikan.”

Pada saat ibu tua tadi duduk kembali, Les sadar bahwa selama ini ia belum pernah membagikan lagunya kepada orang lain. Segera ia berdiri dan berkata: “Pesan ibu tadi sesungguhnya ditujukan kepada saya. Saya mempunyai sebuah lagu yang Tuhan berikan kepada saya dan telah saya nyanyikan selama beberapa tahun dan sekarang akan saya ajarkan kepada anda sekalian.”

Lirik lagu tersebut diambil dari Mazmur 118 ayat 24, dan dengan lagu yang digubah oleh Les, seluruh peserta kamp sangat bersukacita. Dimulai dari kamp yang sederhana tersebut lagu “This is The Day” dalam waktu 6 bulan berkumandang di seluruh Selandia Baru dan dengan sangat cepat direkam oleh penerbit Australia yang terkenal Scripture in Song dan disebarkan ke seluruh dunia. Menurut Christian Copyright Licensing, lagu ini bertahun-tahun secara konsisten menduduki peringkat puncak 25 lagu-lagu rohani yang paling populer.

Selama 10 tahun Les tidak mendaftarkan hak cipta lagu tersebut karena ia berpendapat bahwa lagu tersebut merupakan pemberian Tuhan untuk gereja sehingga tidak dapat diakuinya sebagai penciptanya. Namun pada tahun 1987 ia disarankan oleh seorang pendeta dari Amerika Serikat untuk mendaftarkan hak ciptanya, dan royalti yang diperolehnya telah membantu biaya perjalanan pelayanannya ke luar negeri (setiap tahun ia mengadakan perjalanan dua kali ke Amerika Serikat).

Banyak orang heran ketika mengetahui bahwa lagu “This is The Day” merupakan satu-satunya lagu yang digubah oleh Les. Les sendiri mengakui bahwa ia sering terinspirasi oleh banyak ayat di dalam Mazmur tetapi tidak menggubah lagu untuk ayat-ayat itu sehingga momentum tersebut terlewat. Kurang lebih dua puluh delapan tahun lamanya ia melayani di banyak gereja, tetapi pada tahun-tahun berikutnya ia sepenuhnya memusatkan diri sebagai penginjil keliling.

“This is The Day” adalah lagu yang berdasarkan ayat Alkitab. Lagu ini mudah dinyanyikan tetapi kata-katanya tidak mudah dipraktikkan dalam hidup kita. Kita dapat mewujudkan kemenangan di dalam hidup kita apabila menyambut setiap hari baru dengan sukacita karena merupakan hari pemberian Tuhan.

Amazing Grace (Ajaib Benar Anugerah – K.J. 40)

In Him we have redemption through His blood the forgiveness of sins, in accordance with the riches of God’s grace.

Sebab di dalam Dia dan oleh darahNya kita beroleh penebusan yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karuniaNya (Efesus 1:7).

Pada pertengahan tahun 1700 seorang kelasi telah menembakkan harpun penangkap ikan paus kepada kapten kapal yang jatuh ke laut. Kapten John Newton adalah seorang yang jahat, menjijikkan dan pimpinan kapal yang kejam tehadap awak kapal dan muatan kapal, yaitu budak belian yang terantai di kapal pengangkut budak belian. Harpun itu menancap di pinggulnya dan ia ditarik ke kapal seperti layaknya ikan besar yang tertangkap… Luka yang dideritanya dari kejadian itu membuatnya pincang seumur hidup.

John Newton dilahirkan di London, Inggris, pada tahun 1725 dan sudah ikut berlayar sejak berusia sepuluh tahun. Ibunya seorang wanita yang sangat saleh dan ketika John masih kecil, selalu mengajarkan ayat-ayat Alkitab dan lagu-lagu rohani kepadanya, namun ia meninggal ketika putranya itu berumur hampir tujuh tahun. Kemudian John bersekolah selama tiga tahun sebelum dibawa oleh ayahnya untuk berlayar, karena tampaknya hanya itulah cara satu-satunya yang dapat dilakukan oleh sang ayah untuk merawat putranya.

Kehidupan awak kapal yang keras di kapal telah membentuk karakter John. Sebagai akibatnya ia menjadi lebih rusak daripada teman-teman sepergaulannya. Gaya hidupnya semrawut: ia suka memberontak, melarikan diri dari tugas, suka menimbulkan onar di tempat umum, kasar dan menghabiskan semua yang dimilikinya. Inilah konsekwensi dari kelakuannya yang tidak memiliki kepedulian lagi.

Pada waktu ia menginjak dewasa, ia bergabung dengan kapal lain dan menjadi awak kapal pengangkut budak belian. Dalam salah satu pelayaran ke Afrika, ia jatuh sakit keras dan perawatannya diserahkan kepada seorang perempuan Afrika yang membencinya. Oleh perempuan itu ia dikunci di sebuah ruangan dan hampir-hampir dibuat mati kelaparan. Hanya oleh belas kasihan dari para budak belian yang terantai ia masih bertahan hidup, karena mereka membagikan makanan kepadanya dari ransum mereka yang sangat terbatas itu.

Pada saat-saat mengalami penderitaan, John sering merindukan suasana bersama ibunya yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Dalam situasi batin sedemikian itu ia kemudian membaca Alkitab, terutama pada hari Minggu, namun setelah itu ia jatuh kembali dalam pola kehidupannya yang lama, bahkan semakin parah. Di kemudian hari ia mengaku sering mempengaruhi teman-temannya untuk bersama-sama berbuat dosa. Dalam kondisi demikian, tampaknya ia tidak menyadari sama sekali akan kasih karunia Tuhan yang luar biasa, yang menyelamatkan hidupnya dari waktu ke waktu.

Meskipun masih termasuk muda usia, namun karena pengalamannya selama bertahun-tahun di laut, akhirnya John Newton diangkat sebagai kapten kapal pengangkut budak. Setelah mengalami pengalaman yang sangat menakutkan dalam suatu badai laut yang dahsyat dan merasakan hidupnya terancam, barulah ia dengan sungguh-sungguh mencari hadirat Tuhan. Ia membaca buku “Imitation of Christ” karangan Thomas a’ Kempis, sebuah buku yang sangat dalam mempengaruhi jalan pikirannya.

Tuhan juga mengubah hidupnya melalui pengalaman badai yang sangat mencekam dalam suatu pelayaran kapal pengangkut ternak, kayu dan lilin tawon (lebah) sehingga ia memutuskan untuk menyerahkan dirinya ke tangan Tuhan yang Maha Kudus. Pelayaran kapal itu sudah berlangsung beberapa bulan lamanya, dan suatu hari menghadapi badai yang sangat ganas dan dahsyat. Angin badai tersebut sangat kencang sehingga bagaimanapun baiknya kapal, pasti akan karam. Upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan diri ialah dengan membuang semua ternak dan barang-barang lainnya ke laut dan kemudian masing-masing awak kapal mengikatkan diri mereka dengan kapal tersebut untuk menghindarkan diri tersapu ke dalam laut.

Selama empat minggu mereka terkatung-katung tanpa pengharapan hidup. Saat mereka bangun, mereka memompa air di dalam kapal agar mengurangi beratnya. Bahan makanan tinggal sedikit sehingga mereka terancam mati kelaparan. Kekhawatiran John bertambah karena dalam kenyataannya ia tidak bisa berenang. Akhirnya kapal terdampar di Irlandia. Sejak saat itu ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk hidup dengan benar di hadapan Tuhan.

Beberapa waktu kemudian, ketika berumur dua puluh tiga tahun, ia berada di suatu pulau kecil di lepas pantai Afrika Utara. Saat itu ia sedang sakit keras, badannya terasa lemas disertai demam tinggi. Pengalaman ini ditulisnya kemudian sebagai berikut “Dalam keadaan lemah dan setengah sadar, saya bangun dari tempat tidur dan merangkak ke tempat yang sunyi di pulau itu, dan di situlah saya bebas berdoa. Saya tidak mau mencari alasan lagi dan menyerahkan hidup saya kepada Tuhan agar Ia dapat melakukan kehendakNya atas hidup saya. Saya merasa memiliki pengharapan dan saya percaya kepada Juru Selamat yang tersalib itu. Beban yang selama ini menghimpit hidup saya telah terangkat.” Berdasarkan autobiografinya, sejak saat itu keadaan fisik dan kerohaniannya mulai membaik. Ia mendapat karunia Tuhan dan memulai kehidupan yang baru.

John Newton melabuhkan kapalnya. Ia menikah dengan kekasihnya yang telah dikenalnya selama beberapa tahun, dan mulai belajar pendidikan kependetaan. Akhirnya ia menjadi pendeta di sebuah jemaat kecil di Olney Inggris di mana ia melayani selama dua puluh tahun. Selama di sana ia telah menulis rangkaian kata-kata (lirik) pujian dan beberapa lagu pujian. Pada tahun 1779, bersama William Cowper, penulis buku “There is Fountain Filled with Blood”, ia menerbitkan koleksinya yang diberinya judul “The Olney Hymns” di mana himne “Amazing Grace” termasuk di dalamnya. Melodi lirik “Amazing Grace” yang begitu mengharukan baru ditulis lima puluh tahun kemudian.

Amazing grace, how sweet the sound
that saved a wretch like me.
I once was lost, but now am found,
was blind, but now I see.

Through many dangers,
toils and snares,
I have already come,
‘t is grace hath brought me safe thus far,
and grace will lead me home.

‘T was grace that taught my
heart to fear,
and grace my fears relieved.
How precious did that grace appear,
the hour I first believed.

Ajaib benar anugerah
pembaru hidupku!
“Ku hilang, buta, bercela;
olehnya ‘ku sembuh

Ketika insaf,’ku cemas,
sekarang ‘ku lega!
Syukur, bebanku t’lah lepas
Berkat anugerah!

Di jurang yang penuh jerat
Terancam jiwaku;
Anug’rah kupegang erat
Dan aman pulangku.

Setelah beberapa lama berselang, John Newton mengaku: “Kepincangan saya ini selalu mengingatkan saya akan kasih karunia Tuhan yang telah menyelamatkan manusia yang rusak ini.” John Newton meninggal pada tanggal 21 Desember 1870 pada usia 82 tahun dan sebelumnya telah merancangkan tulisan pada batu nisannya seperti berikut:

John Newton, seorang kerani,
bekas orang tak percaya dan liar,
seorang pelayan budak belian
di Afrika, oleh belas kasihan
Tuhan dan Juru Selamat, Yesus Kristus,
yang telah menyelamatkan,
memperbaiki dan mengampuniku
dan menugaskan untuk
memberitakan iman yang selama ini
hendak kuhancurkan.

Setiap orang yang membaca riwayat John Newton dapat melihat kasih karunia Kristus kepada John Newton. Bukankah kita juga membutuhkan kasih karunia seperti John Newton dan percaya bahwa kuasa dan mukjizat Tuhan mampu mengubah hidup kita.

Because He Lives (1971)

A little while longer and the world will see Me no more,
but you will see Me. Because I live, you will live also.

Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi,
tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamu pun akan hidup (Yohanes 14:19).

Para pelanggan Indovision, yang salah satu salurannya menyiarkan TBN (Trinity Broadcasting Network), pasti pernah melihat acara konser “Gaither Homecoming” atau barangkali melihat video Homecoming yang penjualannya telah mencapai jutaan kopi. Konser “Homecoming” yang dihadiri oleh ribuan orang di berbagai kota di Amerika Serikat telah direkam. Melalui konser dan rekaman video/cd keluarga Bill Gaither, publik diperkenalkan dengan lagu-lagu gospel dari Amerika Serikat bagian selatan dan lagu-lagu pujian gubahan keluarga ini, yang dikaruniai dengan talenta yang luar biasa, serta dari para penggubah lagu lainnya.

Lebih dari empat dasawarsa pelayanan keluarga Gaither telah menyentuh kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Gaither dan isterinya Gloria telah menggubah dan menerbitkan ratusan lagu dan banyak di antaranya menjadi lagu pujian favorit umat Kristen.

Keberhasilan pelayanan keluarga tidak diperoleh dengan segera tetapi dimulai dengan penuh pergumulan dan tantangan. Pada tahun 1970, ketika Gloria sedang mengandung tua menantikan kelahiran anak mereka yang ketiga, keluarga ini menghadapi situasi yang menggoncangkan jiwa. Bill baru saja pulih dan masih lemah dari penyakit klintir darah merah yang abnormal. Pada waktu itu keluarga Gaither juga sedang menjadi korban gunjingan palsu dan dianggap remeh oleh jemaat. Gloria mengalami siksaan batin yang berat. Ia sangat kuatir bagaimana kelak dapat membesarkan anak-anaknya dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Menjelang akhir tahun 1970 Gloria duduk sendirian dengan perasaan amat tertekan di kamarnya yang gelap. Ia sangat mencemaskan situasi lingkungannya yang terancam budaya narkoba, ketegangan rasial yang sedang melanda seluruh negeri, ribuan anak-anak muda yang meninggal di peperangan di Vietnam serta munculnya gerakan yang semakin kuat untuk menghilangkan unsur-unsur kristiani dari sistem pendidikan Amerika Serikat dengan menggunakan slogan “Tuhan sudah mati”.

Tetapi Tuhan yang Maha Kasih, yang disembah dan dilayani oleh Gloria, tiba-tiba memberikan rasa damai yang luar biasa kepadanya. Rasa damai ini memberi keyakinan kepadanya bahwa masa depan mereka akan baik-baik saja karena berada di tangan Tuhan. Dalam salah satu tulisan di bukunya, Gloria menulis sebagai berikut:

Perpaduan antara kekalutan yang sedang terjadi secara nasional serta berbagai kesulitan yang sedang dihadapi keluarga, mematahkan semangat kami. Jikalau dunia sekarang seperti ini, bagaimana nantinya nasib anak-anak kami pada 15-16 tahun mendatang? Apakah yang akan mereka hadapi? Selagi kami merenungkan dan berdoa atas situasi ini, Tuhan memberi pengertian kepada kami bahwa ketabahan bukan datang dari dunia yang tenang. Dunia tidak pernah tenang. Yesus sendiri dilahirkan dalam zaman yang penuh dengan kekejaman. Karena itu kami disadarkan untuk tidak menyerah terhadap situasi yang tampaknya tidak memberikan harapan dan kami akan menghadapinya dengan penuh iman karena kebangkitan Kristus adalah nyata. Akhirnya lahirlah anak kami yang ketiga dalam keadaan sehat dan kami menamakannya Benyamin, yang artinya “anak yang sangat dikasihi”.

Pengalaman ini mendorong suami-isteri ini untuk menulis lagu dengan judul “Because He Lives”. Waktu mereka menggubahnya, mereka merasakan kehadiran Roh Kudus yang sangat luar biasa dan mereka sungguh-sungguh merasakan bagaimana kuasa Tuhan memberikan kemampuan pada mereka untuk bangkit kembali. Kuasa kebangkitan Kristus telah memulihkan kehidupan mereka. Gloria sadar bahwa kebangkitan yang telah mengalahkan maut itulah yang mengatasi rutinitas yang mencengkeramnya selama ini. Sukacita surgawi yang diperolehnya telah mengatasi ketakutannya, dan pengalaman inilah yang memampukan mereka untuk menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupan keluarga.

Dalam buku karangan Gloria yang berjudul “Fully Alive”, ia menceriterakan sebuah pengalaman lain yang memberikan keyakinan kepadanya bahwa kebangkitan Kristus dapat mengalahkan semua keadaan, bahkan maut sekalipun. Pada suatu ketika, menjelang akhir musim gugur, keluarga ini telah menugaskan pemborong untuk mengaspal halaman belakang kantor mereka yang menjadi tempat parkir. Pemborong kemudian mendatangkan berbagai bahan pengerasan yang terdiri atas batu, pasir dan bahan pengeras lainnya. Ia juga mendatangkan mesin giling pemerata yang besar dan mulai meratakan tempat tersebut. Berkali-kali mesin penggiling itu bergerak dari ujung ke ujung sehingga tempat parkir tersebut rata dan keras. Setelah itu didatangkan beberapa truk yang mengangkut aspal yang sudah diolah, siap untuk mengaspal tempat parkir ini.

Pada awal musim semi berikutnya, ayah Bill Gaither mengunjungi mereka dan mulai melihat-lihat kantor serta halaman parkir. Ketika tiba di tengah-tengah halaman parkir yang berkilau terkena sinar matahari, sang ayah berjingkat-jingkat mengangkat kakinya secara bergantian kemudian tertawa karena melihat sesuatu yang lucu. Ia memanggil Bill dan isterinya, yang segera keluar dari kantor dan mendatanginya. Ayah Bill berseru: “Lihat ini.”

Terlihat sebuah tunas hijau yang berhasil menembus kegelapan dan lapisan-lapisan yang keras. Tunas itu lembut, bukan batang yang keras, dan tampak rapuh. Seorang anak tanpa menggunakan tenaga ekstra pun dapat dengan mudah mematahkannya. Tetapi lihatlah betapa megahnya tunas itu berdiri dalam kehijauannya seakan-akan berkata: “Lihat, betapa hebatnya aku. Hidup telah menang.”

Gloria menulis: “Kami saling menatap dan tidak banyak bicara. Kami hanya saling tersenyum karena kejadian ini memperteguh iman kami, dan mau tidak mau kami ingat akan lagu yang kami gubah sebagai kesaksian pribadi bagaimana kami melewati masa-masa gelap dan keras dalam kehidupan kami.”

Lirik pertama dari lagu “Because He Lives” merupakan rangkuman dari injil Kristus yang mengingatkan kita kepada kematianNya, penguburanNya dan kebangkitanNya. Lirik kedua mengungkapkan kehidupan bayi yang baru lahir, yang memberikan kepada kita kepastian bahwa bayi mungil itu akan memperoleh hidup berkemenangan karena Kristus hidup.

Kita dapat menghadapi hari esok yang sarat dengan ketidakpastian karena Tuhan yang memegang hari esok, dan inilah yang menjadikan hidup begitu berharga bagi setiap orang yang percaya kepadaNya.

Kesadaran dan keyakinan akan kebangkitan Juru Selamat Yesus Kristus memberi kekuatan kepada kita untuk menghadapi segala rintangan kehidupan, karena Ia hidup setiap hari di dalam hati kita.

God sent His Son, they called Him Jesus.
He came to love, heal and forgive.
He lived and died, to buy my pardon.
An empty grave is there to prove
my Savior lives.

Ref.:
Because He lives, I can face tomorrow.
Because He lives all fear is gone.
Because I know He holds the future.
And life is worth the living
just because He lives.

Anak Allah, Yesus namaNya.
Menyembuhkan, menyucikan.
Bahkan mati tebus dosaku.
Kubur kosong membuktikan
Dia hidup.

Ref.:
Sebab Dia hidup ada hari esok.
Sebab Dia hidup ‘ku tak gentar.
Kar’na ‘kutahu Dia pegang hari esok.
Hidup jadi berarti
s’bab Dia hidup.

Nono Purnomo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Madah