Pengampunan

Kuasa Pengampunan

Belum ada komentar 540 Views

Di dalam percakapan antara Tuhan Yesus dengan Petrus mengenai berapa kali orang harus mengampuni kesalahan orang lain, Yesus menjawab, “Tujuh puluh kali tujuh.” Secara manusia, hal ini tampaknya sangat sulit kita lakukan. Tetapi sebaliknya, berapa kalikah kita menyakiti hati Tuhan setiap hari? Berapa banyak dalam satu tahun (365 hari)? Meskipun demikian, Tuhan tetap mengampuni kita.

Memang pengajaran Yesus ini seakan-akan paradoks: orang yang menyakiti hati kita kok harus diampuni. Tetapi kalau kita tidak dapat mengampuni, sakit hati itu akan terus-menerus mendera pikiran kita, membuat kita marah dan dendam, mengganggu metabolisme tubuh kita, menyebabkan stres yang berkepanjangan dan bahkan bisa memicu penyakit diabetes, darah tinggi dan sakit jantung. Padahal orang yang menyakiti hati kita belum tentu tahu kalau kita marah kepadanya, sehingga maksud kita untuk “membunuhnya” malah bisa menjadi bumerang yang akhirnya meracuni diri kita sendiri.

Kadang-kadang kita mau mengampuni seseorang dengan syarat bahwa ia meminta maaf dulu pada kita. Kita berpendapat bahwa kita berhak menerima permintaan maafnya, karena hal itu akan memulihkan harga diri kita. Tetapi, bukankah seharusnya pengampunan itu kita berikan tanpa imbalan dan dengan rela hati, sama seperti kita menerima karunia pengampunan Tuhan yang diberikan dengan cuma-cuma, meskipun kita berdosa?

Tak mudah menjalankan perintah Tuhan yang satu ini, terutama bila ujian berat menimpa diri kita, seperti yang dialami oleh seorang pendeta yang kehilangan putranya yang berusia 10 tahun. Ia dan istrinya begitu mengasihi anak ini, sehingga mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa Tuhan begitu cepat mengambilnya kembali. Beberapa tahun kemudian, pendeta itu terkena sakit jantung, kemudian stroke dan kanker. Ketika ia menjalani operasi kanker, jantungnya melemah sehingga ia comma. Dalam situasi demikian, keluarganya pasrah bila ia harus kembali ke rumah Bapa. Tetapi ada sesuatu yang rupanya masih mengganjal hatinya, yaitu kesedihan akan kematian anaknya.

Seorang pendeta yang mendampingi mereka lalu mengajak istri pendeta itu untuk merelakan kematian anaknya. Pada mulanya ibu ini menangis histeris, tetapi setelah ia dibimbing untuk berdoa memohon pertolongan Tuhan, ia dapat melepaskan beban hatinya. Ia kemudian berbisik kepada suaminya yang sedang comma bahwa ia sudah merelakan anak itu dan meminta suaminya untuk juga merelakannya. Akhirnya pendeta itu dapat mengembuskan napasnya yang penghabisan dan menghadap Tuhan dengan tenang.

Sebagai manusia kita juga sering berbuat dosa kepada Tuhan dan memohon ampun kepada-Nya. Di dalam doa Bapa Kami, Tuhan Yesus sendiri pun mengajarkan kita untuk berdoa, “…dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”

Di dalam kehidupan sehari-hari, tidak banyak kita jumpai orang-orang yang pemaaf, tetapi ada teladan yang bisa kita tiru dari para janda prajurit Amerika yang gugur di medan perang. Seperti kita ketahui, Afganistan sebelumnya dikuasai oleh suku Taliban yang menganut agama Islam yang ekstrim, di mana peran istri hanya untuk mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang baru, dan harus selalu menuruti kehendak suaminya (tidak ada kata “tidak”).

Banyak korban yang berjatuhan di dalam perang Afganistan itu, termasuk para prajurit Amerika, sehingga banyak ibu muda tiba-tiba menjadi janda. Ketika mereka mendengar bahwa suami-suami mereka gugur dalam pertempuran, hati mereka hancur, marah dan putus asa. Untunglah beberapa dari mereka dapat keluar dari situasi yang sulit itu karena mau mengampuni. Mereka kemudian mengadakan pengumpulan dana, dan dengan uang tersebut pergi ke Afganistan. Di sana mereka mengajari perempuan-perempuan Afganistan membaca, menulis, dan merawat anak-anak mereka dengan gizi yang baik serta membekali mereka dengan ketrampilan yang berguna. Pengampunan di hati para janda ini memberi rasa damai di hati mereka dan rasa damai ini menghasilkan karya kemanusiaan yang luar biasa dan dipuji oleh seluruh dunia.

Suatu kisah pengampunan lain terjadi pada keluarga Azim Khamisa yang tinggal di Amerika. Pada suatu hari Tariq, putra mereka yang berusia 20 tahun, diserang oleh gang anak-anak remaja dan dibunuh oleh seorang anak yang baru berusia 14 tahun, Tony. Setelah berjuang keras mengalahkan dirinya sendiri, akhirnya Azim mengampuni Tony. Pada suatu seminar tentang kepemimpinan, Azim berkata bahwa anaknya adalah korban pembunuhan gerombolan anak-anak remaja, dan bahwa pelakunya, Tony, adalah korban dari lingkungannya.

Kemudian Azim dan kakek dari Tony mendirikan yayasan yang bergerak di bidang konsultasi untuk membantu anak-anak remaja kriminal kembali ke masyarakat. Yayasan ini juga mengajarkan perdamaian dan pengampunan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik. Selama Tony di penjara, Azim beberapa kali menemuinya, dan setelah pemuda ini keluar dari penjara, ia mendapat pekerjaan di yayasan tersebut.

Yang sangat menarik, Azim mengatakan bahwa pengampunan itu dilakukan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Kalau ia tidak mengampuni, ia akan terpenjara di dalam kemarahannya dan menderita. Yayasan yang dipimpinnya kemudian mendapat beberapa penghargaan, seperti “The Search for Common Ground International Award (bersama Desmond Tutu dan Ted Koppel) dan “The National Crime Victims Special Community Serviced Award” yang diserahkan oleh Presiden Clinton dan mantan Jaksa Agung Amerika, Janet Reno.

Demikian juga kita dapat belajar dari kisah Yusuf yang tadinya ingin dibunuh oleh saudara-saudaranya, tetapi kemudian dimasukkan ke dalam sumur dan dijual sebagai budak. Hatinya tidak menyimpan dendam atas perbuatan jahat mereka, bahkan sebaliknya mengampuni mereka. Dengan hati yang damai, ia diangkat menjadi orang kepercayaan Firaun dan statusnya berganti dari budak menjadi penguasa negeri Mesir. Ia berhasil dalam kariernya karena menyerahkan hatinya untuk diubah oleh Tuhan.

Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan di atas menunjukkan bahwa mengampuni kesalahan orang tidaklah mudah, tetapi kalau kita menyimpan dendam, kita sebenarnya menghukum diri kita sendiri. Hati yang mengampuni melepaskan kita dari belenggu kemarahan yang berkepanjangan, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Sebaliknya hati yang damai dapat membuahkan karya yang luar biasa, seperti kisah-kisah di atas.

Doa Yesus penuh pengampunan, “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat…” (Lukas 23:34a). Paulus juga menasihatkan agar kita ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita (Efesus 4:32).

Kita harus selalu memohon pertolongan Tuhan untuk memampukan kita mengampuni kesalahan orang lain. Tuhan tidak akan meninggalkan anak-Nya yang menyerahkan hati untuk diubah oleh-Nya.

Nugroho Suhendro

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...