agama

Kristen dalam Tantangan Pluralisme Agama-agama

Belum ada komentar 1593 Views

Ihwal Teologis

Kebenaran agama adalah bagian yang penting dari setiap agama yang hidup di dunia ini, malah dengannya agama itu bertahan, bertumbuh dan mempesona begitu banyak manusia. Namun dengan “kebenaran” itu pulalah konflik antar agama terjadi, sehingga pertanyaan kita (dhi. Kristen) kini: Apakah ada jalan bagi orang Kristen untuk menerima kebenaran dari agama lain, tanpa menanggalkan kebenaran agamanya sendiri, suatu jalan yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis (dan filosofis)? Akan ditunjukkan sejumlah jalan di bawah ini:

1. Penyelesaian Praktis

Ada cerita dari Lessing, berjudul Nathan yang Bijak: Seorang ayah memiliki cincin yang ajaib, dan yang mengenakannya akan dikasihi Allah maupun manusia. Sang ayah ingin mewariskan-nya kepada anak-anaknya: namun ia memiliki 3 orang anak. Siapakah yang menjadi ahli waris? Lalu ia menyuruh pandai besi membuat 2 cincin lagi yang sama persis, dan masing-masing anak diberinya sebuah cincin.

Setelah sang ayah meninggal, muncullah pertengkaran di antara ketiga anak itu tentang siapa yang memiliki cincin asli. Lalu sang hakim pengadilan memutuskan kasusnya dengan mengatakan, “biarlah masing-masing percaya bahwa dialah yang memiliki cincin yang asli. Ber-upayalah untuk hidup sedemikian rupa sehingga melalui cintakasih dan kebaikan hatimu akan terbukti kepada sesama orang kekuatan dari cincin yang kau miliki.”

Jadi yang benar ialah yang ber-fungsi, yang aktual. Tentu masalahnya, apakah kebenaran dapat disamakan dengan “kegunaan praktis?” Apakah agama yang sedikit dipraktikkan berarti kurang benar/sejati? Bukankah selain aspek etis kebenaran, juga ada aspek secara nalar “demonstrable”?

2. Sejumlah jalan (yang tidak sekadar Pragmatis) tentang Kebenaran

Tidak ada agama yang Benar

Ini adalah posisi kaum ateis, walau tentu kalau memang Allah (sumber kebenaran) tidak dapat dibuktikan, maka kesia-siaan (mis. “nothingness”) juga tidak dapat dibuktikan. Padahal dalam kenyataannya, dalam agama selalu muncul sikap trust, sikap “YA” kepada dasar “ultimate” kenyataan; yang lebih memberi alasan/argumen untuk adanya Allah (dan kalau begitu, Kebenaran).

Hanya ada satu agama yang Benar=Agama yang lain Tidak Benar

Gereja dulu memiliki prinsip, “extra ecclesiam nulla salus”, yang mau selamat harus menjadi anggota gereja! Namun secara mengejutkan pada Konsili Vatikan II telah dibuka pers-pektif baru: adanya kemungkinan keselamatan bagi semua orang, melalui anugerah Allah. Pendek kata, kalau dulu yang dilakukan ialah “penginjilan”, kini menjadi studi-agama dan dialog.

Tentu ini tidak mudah, juga dalam kalangan Protestan, yang mengerti diri selaku yang berdiri di tengah, tidak di ekstrim kanan dan di ekstrim kiri, (berbeda dari aliran “evangelical” yang masih anti dialog) dalam meng-hendaki dan mengusahakan suatu pendekatan kepada agama-agama lain yang lebih positif, lebih dialogis sifatnya. Dengan bertolak dari beberapa nats PB yang mengacu kepada pernyataan Allah di kalangan bangsa-bangsa, aliran Protestan ini menyetujui adanya suatu ‘pernyataan umum” (“General Revelation” – istilah Paul Tillich) pada agama-agama lain.

Semua agama Benar adanya

Posisi ini kurang realistis, sebagai agama-agama yang ada sedemikian berbeda-beda satu dengan lainnya; pun kaum mistikus yang mengatakan adanya pengalaman mutlak yang menjadi aspek terdalam (esoteris dan perennial) harus dikritik dengan pertanyaan: Apakah ada pengalaman agama yang terisolasi pada dirinya (in self), dan bebas dari penafsiran atau pun konteks penafsirannya (baca: kerangka agama-agama yang konkret dan historis)? Bukankah posisi ini adalah bentuk ekstrim dari absolutisme yang dikritiknya, yaitu relativisme?

Ada satu Agama yang Benar, Agama yang lain turut-serta di dalamnya.

Posisi ini sering disebut inklusif yang toleran, yang bagaimana pun masih melihat kebenaran agama yang lain di bawah dirinya yang sempurna. Agama yang lain dilihat sebagai tahap pendahuluan atau pun sebagai yang “partial” dari dirinya yang utama. Yang lain disebut “Kristen anonim”.

3. Menuju Kriteria dan Penerimaan Kristiani akan Kebenaran Agama-agama Lain

Kalau begitu, sebagai suatu perspektif yang kini mulai diterima, dapat ditegaskan bahwa sikap dasar Kristen terhadap agama lain bukan sebuah sikap yang serba menyamaratakan (indifferentism) segala sesuatu, melainkan sikap yang kritis terhadap normativitas dirinya selaku ukuran kebenaran. Juga bukan sikap relativisme yang beranggapan bahwa tidak ada yang mutlak, melainkan sikap yang lebih peka terhadap relativitas setiap upaya manusia dalam merumuskan kebenarannya dan melihat aspek relasionalitas setiap kebenaran.

Selanjutnya, adakah kriteria untuk menerima kebenaran agama-agama lain? Kriteria itu dapat dibagi 2:

  1. Dari luar, sebagai pengamat “netral” maka kebenaran agama-agama tampak dalam dimensi etis kemanusiaannya; jadi agama-agama dengan seluruh ibadah atau pun doktrinnya dihargai sebagai benar sejauh ia me-majukan manusia di dalam identitas menusiawinya.
  2. Dari dalam, artinya: bagaimanakah bisa dibenarkan (atau malah diperdalam) kriteria “luar” tadi dari sudut Kristiani? Sebab: saya harus mendukung kriteria “luar” itu dari dalam, agar penghargaan atas kebenaran agama yang lain itu saya hayati sebagai bagian dari iman saya! Dus, mesti ada kriteria kristiani untuk menilai kebenaran agama-agama lain.

Jadi dalam sudut (kriteria) Kristen, kebenaran agama-agama lain diterima kalau juga tidak berlawanan dengan apa yang sungguh mendasar dalam kekristenan, yaitu:

Akibat perjumpaan dengan Yesus Nazaret maka kemanusiaan diungkapkan dalam solidaritas radikalnya. Yesus mendorong manusia berjalan pada solidaritas kasih, yang mempraktikkan pengampunan. Solidaritas ini akan membuat ‘agama’ menjadi relatif di hadapan suara dan wajah manusia yang menderita, dan pergulatan kekuasaan dunia pun menjadi relatif di hadapan perlunya perdamaian dan rekonsiliasi.

Agama-agama mana pun menjadi benar, diterima benar oleh iman Kristen, dalam kriteria tadi, kriteria yang sifat-nya kritis namun sekaligus humanis itu.

Ihwal Praktis

Mungkinkah, dalam rangka tantangan ini, bukannya konflik, tetapi sebentuk sikap inklusif yang dibangun dan dihidupi gereja atau pun umat Kristiani di tengah konteks Islam?

• Keberatan kalau orang Kristen…..(%)

Baik kalau dikutipkan di sini dokumen gereja Katolik hasil Konsili Vatikan 2 (Nostra Aetate) – sekadar mengungkapkan bahwa terobosan sudah mulai diretas: Gereja menghargai perilaku hidup, tabiat, dan moral ajaran agama-agama, yang walaupun banyak berbeda dari ajaran gereja, bagaimana pun semua itu seringkali mencerminkan kebenaran yang telah pula mencerahkan kemanusiaan kita.

Jadi, posisi inklusivisme adalah posisi yang amat mungkin juga ditempuh oleh Kekristenan. Sebab jelas memang bahwa agama-agama lain itu menghayati sebentuk spiritualitas, yang dapat juga dikata-kan menjadi locus (tempat berdiam dan kehadiran) Sang ilahi. Pengalaman itu seperti yang di-alami Petrus, “…aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya” (Kis. 10:34-35).

Bahkan kita bisa katakan bahwa kasih karunia bekerja di setiap kehidupan dan menyokong perikehidupan dunia ini. Tidak ada yang bisa membatasi kemurahan Allah, dan Kristus menjadi jaminan akan kasih ilahi yang universal itu. Kristus memang jalan keselamatan bagi manusia, dan keselamatan dari Kristus bekerja tanpa batas; oleh Kristus kita hanya tahu satu hal, bahwa kini Allah Bapa datang dengan kasih yang terulur, bahkan kepada ‘anak yang hilang’ sekalipun.

Mungkin kita tidak cukup men-dengar bahwa dalam “Dokumen Refleksi 026 (Raker) BPMSW GKI Jabar 2003-2007”, Pdt. Kuntadi Sumadikarya memberi catatan yang menarik sehubungan dengan sikap teologis di atas.

Konferensi Misi di San Antonio (1989) menyimpulkan posisi bahwa DGD sudah mampu mengakui: “Kami tidak dapat menunjuk jalan keselamatan lain kecuali Yesus Kristus; pada saat yang sama kami tidak dapat mendirikan batas bagi kuasa penyelamatan Allah”.

GKI sudah berada di situ, jangan mau diajak mundur (eksklusif) atau maju (inklusif) tanpa pe-mahaman yang nalar dan alkitabiah. Posisi ini memungkin-kan GKI tetap berpegang kepada iman Kristiani, tanpa ber-musuhan dengan tradisi-tradisi religius dan agama-agama lain.

Dalam dokumen Dewan Gereja se-Dunia (Religious Plurality and Christian Self-Understanding – A Document by the networks of Faith and Order, Conference on World Mission and Evangelism, Office on Interreligious Relations and Dialog-ue, Geneva, 2004) ditegaskan juga bahwa kepada tetangga dan sesama kiranya kita mengembangkan sikap hospitality; “jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahui telah menjamu malaikat-malaikat” (Ibr. 13:2). Di sini bertetangga berarti bersaudara – setelah kasih Agape yang kita terima dari Kristus, kita menerjemahkan kasih itu sebagai kasih Filia (persahabatan); dan di kala bencana, “filia” menjadi “filantropis”, sahabat yang berbagi di tengah konteks sosial – dan saat itulah seperti kata surat Ibrani, kita “have entertained angels without knowing it”.

Dalam pada itu, sikap dialog pun dapat dikembangkan lintas iman dan agama. Dialog adalah kesediaan mendengar dan belajar dari “iman sesamaku” yang lain, dan berubah seturut dengan pemahaman dan pengertian yang baru tadi. Dialog adalah percakapan di antara para sahabat, yang setara.

Malah, secara sosial-politis, dialog juga berarti membuka ruang bersama – yang bebas kekerasan – di mana perbedaan dapat diajukan, diolah dan ditemukan titik kebersamaan. Dialog, kalau ia menghasilkan komunitas-komunitas yang rela menempuh jalur ini, akan menjadi prasyarat terbentuknya “open society” dan demokratisasi di era Reformasi saat ini. Bahkan, dalam sebentuk “dialog-sosial”, akan dapat diyakini bersama (berdasarkan iman yang berbeda) sebentuk platform aksi sosial yang bernas (juga dari para filantropis) dan mendatangkan kemasla-hatan masyarakat. Dan kita berharap, kiranya prasangka dicairkan, dan agama dihayati tidak sebagai platform politis lagi.

Pdt. Martin Lukito Sinaga, D.Th., untuk acara PTJ di GKI Pd. Indah, 26 Februari 2007

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...