adalah sahabat

Kamu adalah sahabat-Ku…!

Belum ada komentar 7015 Views

Dewasa ini, akibat kemajuan teknologi yang menghasilkan media sosial, email, WA, Line dan seterusnya, kita punya teman di mana-mana: di kampung halaman, di lingkungan kita, di sekolah, di tempat pekerjaan, di antara tetangga kita, bahkan di gereja. Namun apakah artinya “teman” di situ? Sering kali tidak lebih dari mereka yang kita “kenal” atau yang lebih parah lagi, yang kita tahu namanya. Barangkali kita tahu dari mana mereka berasal, atau bahkan di mana mereka bekerja, namun acap kali tidak lebih dari itu. Antara “kenal” dengan “tahu” sering kali kabur pengertiannya.

Teman dalam arti kata yang sesungguhnya, sayangnya sangat jarang ditemui. Teman dalam arti itu, adalah seseorang dengan siapa kita benar-benar ingin dan dapat berbagi segalanya. Seseorang yang selalu dapat kita andalkan. Seseorang yang tanpanya kita akan sangat kehilangan. Seseorang yang sungguh-sungguh kita percaya. Dalam bahasa Inggris kita kenal ungkapan:“a friend in need is a friend indeed!” Di situlah, dalam hal apakah ia dapat diandalkan justru pada saat kritis, dapat dibedakan antara teman sejati dengan teman biasa. Itu sebabnya kita punya istilah “teman karib”, best friend, “sahabat”, dan sebangsanya. Dan teman seperti itu sayangnya tak banyak kita punya. Bahkan, tak mudah untuk didapatkan.

Pengertian teman atau tepatnya, sahabat, yang langka seperti itulah, yang kita maksudkan ketika kita mengaku dan menyanyikan dengan sepenuh hati, bahwa Tuhan Yesus adalah sahabat kita yang sejati! Coba simak liriknya di bawah ini:

What a friend we have in Jesus, all our sins and griefs to bear!
What a privilege to carry, everything to God in prayer!
Oh, what peace we often forfeit, oh, what needless pain we bear,
All because we do not carry, everything to God in prayer!

Yesus Kawan yang Sejati, bagi kita yang lemah.
Tiap hal boleh dibawa, dalam doa pada-Nya.
Oh, betapa kita susah, dan percuma berlelah,
bila kurang pasrah diri, dalam doa pada-Nya!

Dan memang itulah Yesus bagi kita bukan? Kawan yang Sejati. Kawan atau sahabat yang tak ada bandingnya. Sahabat yang rela menderita bahkan mati demi kita. What a friend…!

Jelas bahwa yang dimaksudkan Yesus dengan “sahabat” dalam Yohanes 15:9-17 adalah “teman” dalam arti yang sebenarnya. Kata Yunani yang dipakai di situ adalah philo (sahabat), bukan he’tairos (teman biasa) yang lebih umum digunakan, bahkan bukan pula doulos (hamba atau budak). Persisnya dalam ayat 15, Yesus mengatakan: “…tetapi Aku menyebut kamu sahabat…!”.

Kita adalah sahabat-sahabat Yesus Kristus! Bukan sekadar “teman” atau “kenalan”, apalagi hamba! Tidakkah ini terbalik? Biasanya, bukankah Dia yang adalah teman atau sahabat kita, sebagaimana yang kita nyanyikan dalam lagu di atas? Namun Yesus di sini secara gamblang menyebut kita sebagai sahabat-sahabat! Kita diperlakukan bukan lagi sebagai hamba, melainkan sahabat, sahabat-sahabat-Nya! Bayangkan! Kita, dengan segala yang ada pada kita, adalah sahabat Tuhan!

Di satu pihak, bukan main! Ini suatu kehormatan yang amat besar. Saya adalah sahabat Kristus! Namun di pihak lain, agak menakutkan! Layakkah, bisakah, saya, kita, menjadi sahabat-sahabat, apalagi sahabat Yesus Kristus?

Namun memang begitulah. Kita dijadikan, dan adalah sahabat-sahabat-Nya. Mengapa? Karena Yesus mengasihi kita, sebagaimana Bapa mengasihi-Nya (ayat 9). Dan sebagai sahabat-sahabat-Nya, kita diundang untuk tinggal di dalam kasih-Nya! Lalu sebagai sahabat-sahabat-Nya yang tinggal di dalam kasih-Nya, kita dikehendaki-Nya melakukan perintah-Nya (ayat10).

Yang amat indah di sini adalah Yesus dengan sangat gamblang menyatakan itu semua, sedemikian rupa seolah-olah Dia membutuhkan persahabatan kita. Dan justru di sinilah keunikannya. Persahabatan selalu harus datang atau terjadi dari dua belah pihak. Harus selalu timbal-balik. Dalam persahabatan yang sejati, tak seorang pun dapat mengatakan bahwa ia punya sahabat, tanpa ia sendiri berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sahabat dari sang sahabat itu. Yesus berkenan menjadi sahabat kita, dan kini kita dikehendaki menjadi sahabat-sahabat-Nya.

Barangkali di sinilah letak permasalahan kita. Yaitu dalam soal “timbal-balik” itu. Kita selalu mendambakan sahabat yang sejati. Hanya persoalannya: kita sendiri belum tentu mau menjadi sahabat yang baik atau sahabat yang sejati dari orang itu. Dan kalau begitu yang terjadi, maka namanya bukan lagi persahabatan, tetapi “eksploitasi teman/sahabat” bahkan “eksploitasi sesama”. Jelas tidak timbal-balik, hanya terpusat pada diri sendiri, dan pada hal-hal yang menguntungkan diri sendiri…

Jangan-jangan inilah sumber permasalahan kita, mengapa kita begitu sulit mendapatkan sahabat atau teman yang sejati. Bukan sahabat yang sulit ditemukan, melainkan kitalah yang sulit. Kitalah yang belum tentu bersedia menjadi sahabat sejati dari orang lain. Dan kalau hal itu kita terapkan dalam relasi kita dengan Tuhan, jangan-jangan itu pula masalahnya. Kita selalu mengharapkan Tuhan “baik” kepada kita, dan mau menjadi sahabat kita. Namun kita belum tentu mau menjadi sahabat seperti yang diharapkan-Nya. Bila demikian, maka itu berarti bukan lagi relasi dengan Tuhan, tetapi kita yang sedang mengeksploitasi-Nya.

Pada Yesus memang sangat berbeda. Dia menyebut kita sahabat, karena Dia memperhitungkan kita, karena kita berharga di mata-Nya. Dia menghisabkan kita ke dalam relasi persahabatan yang murni dan sejati. Dia bahkan “membutuhkan” kita sebagai sahabat, sebagaimana kita juga membutuhkan-Nya.

Dia yang berprakarsa, yang mengambil inisiatif dalam persahabatan itu. Alih-alih menuntut bukti bahwa kita layak menjadi sahabat-Nya, Yesus sendirilah yang terlebih dahulu membuktikan diri sebagai sahabat sejati bagi kita. Tidak sekadar dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan: mati di kayu salib! Inilah sebenarnya makna terdalam dari kata-kata Tuhan Yesus yang kerap salah dimengerti dalam ayat 16: “…bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu….!”

Dengan melakukannya, Dia sebenarnya sedang mempertaruhkan kepercayaan-Nya kepada kita, sebab selalu ada kemungkinan bahwa kita akan mengecewakan-Nya. Kitalah yang biasanya tidak berani mempertaruhkan diri kita seperti itu. Dalam “bisnis”, dalam “memberi salam/bersikap ramah”, dalam relasi dengan tetangga, dengan “teman”, bahkan dalam relasi cinta, kita tidak berani membuka diri, berprakarsa. Mengapa? Karena kita belum merasa pasti apakah kita dapat memercayai mereka. Apalagi bila sebelumnya kita pernah mempunyai pengalaman yang buruk dalam hal itu. Padahal tanpa berani mempertaruhkan diri, memberi dan membuka diri, tak akan terjadi relasi. Inilah yang dinyatakan dengan sangat jelas oleh Yesus.

Maka kini pertanyaannya adalah, apakah kita akan menyia-nyiakan kasih dan kepercayaan Tuhan yang begitu besar kepada kita. Dengan kata lain, kalau Tuhan sudah berani mempertaruhkan diri untuk menjadi kecewa dalam relasi dengan kita, beranikah kita memasuki relasi persahabatan dengan-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya itu? Atau tepatnya, beranikah kita pada hakikatnya, menjadi sahabat/teman?

Pertama-tama tentu dari Tuhan, karena untuk itu Dia sudah terlebih dahulu memberi diri. Lagi pula Dia menghendaki kita menjadi teman/sahabat-Nya. Namun itu berarti bahwa kita benar-benar harus berusaha sebaik kita untuk hidup benar-benar sebagai sahabat Kristus: berjalan pada jejak-langkah-Nya, memberikan tempat yang sepatutnya kepada-Nya dalam hidup kita, yaitu di pusat. Itu berarti pula kesediaan untuk selalu bertanya apakah yang benar-benar dikehendaki-Nya. Dan bukan menimbang sendiri lalu menentukan sendiri apa yang terbaik untuk-Nya.

Yang berikutnya adalah, beranikah kita menjadi teman/sahabat bukan hanya dari Tuhan, melainkan juga dari orang lain…

Sebagai jemaat, beranikah kita menjadi jemaat yang bersahabat, yang mau menjadi sahabat siapa pun? Jemaat yang bersahabat dan peduli kepada siapa pun. Saat ini pembangunan Community Center (CC) di lahan sebelah gereja sudah hampir rampung. Test case utama dari keberhasilan CC adalah apakah CC akan sungguh-sungguh menjadi wajah dari jemaat GKI Pondok Indah yang bersahabat atau friendly? Apakah CC bersahabat bagi masyarakat di sekitar GKI Pondok Indah? Apakah CC bersahabat bagi anak-anak di kampung-kampung sekitar GKI Pondok Indah yang tak punya tempat bermain? Bagi literasi dan kesejahteraan masyarakat sekitar jemaat kita? Bagi anak-anak muda di kampung sekitar sini, memberdayakan mereka sedemikian rupa, agar mereka terhindar dari kriminalitas apalagi narkoba? Selanjutnya, apakah jemaat GKI Pondok Indah bersahabat bagi siapa pun yang membutuhkan? Cukupkah kehadiran dan karya Tim Peduli Pendidikan, Komisi Pelayanan Kesehatan, Tim Perlawatan, Paguyuban Pelangi, Komisi Dikkesra dan yang lainnya?

Namun sebagai jemaat yang bersahabat, mesti juga ditanyakan apakah kita berani pula menjadi sahabat, bukan saja dari mereka yang di luar jemaat kita, melainkan juga dari mereka yang berada di dalam jemaat kita sendiri. Segenap warga jemaat dan simpatisan, baik yang aktif maupun yang tidak, baik yang “sulit” maupun yang “baik”. Segenap pejabat gerejawi, para penatua dan para pendeta. Juga tentunya segenap karyawan jemaat kita. Ramahkah jemaat GKI Pondok Indah terhadap mereka? Apakah jemaat GKI Pondok Indah menunjukkan wajah yang bersahabat dan ramah terhadap mereka semua itu, tanpa kecuali?

Sebagai orang-orang percaya, beranikah kita menjadi orang-orang yang bersahabat dan ramah bagi siapa pun? Bagi saudara-saudara seiman dalam jemaat, juga bagi mereka yang “tidak mudah”. Bagi para tetangga kita, para “kenalan” kita, di mana pun, bahkan juga mereka yang tidak seiman, atau yang tidak setuju, bahkan yang anti kepada kita. Apakah kita menunjukkan diri kita sebagai orang-orang yang bersahabat dan ramah terhadap mereka semua itu, tanpa kecuali?

Akhirnya, mari belajar dari Yesus. Sebab pada akhirnya untuk itulah Dia mau menjadi sahabat kita dan menjadikan kita sahabat-sahabat-Nya. Sebab dengan persahabatan-Nya, kita pun diberi kemampuan untuk menjadi sahabat bagi sesama kita. Dan itu berarti menjadikan sesama kita bukan sekadar sebagai “orang lain”, melainkan juga sebagai sahabat. Sahabat bagi siapa Yesus selalu care (peduli), berempati, dan menunjukkan belas kasihan. Siapa pun mereka!

Mari…

>> Pdt. Em. Purboyo Susilaradeya


[1].“Yesus Kawan Yang Sejati” (Kidung Jemaat 453), yang diterjemahkan dari “What a Friend We Have in Jesus”  karya Joseph Medlicott Schriven (1855).

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...