Kami Telah Melihat Bintang-Nya

Kami Telah Melihat Bintang-Nya

Belum ada komentar 34 Views

Sejarah gereja dan sejarah agama-agama selain dipenuhi oleh kasih dan keluhuran ajaran agama-agama tersebut, juga dipenuhi oleh sejarah rivalitas antar agama,     pengkafiran kelompok lain, bahkan upaya politisasi ayat suci untuk kepentingan kelompok tertentu. Sampai sekarang kita melihat jejak sejarah rivalitas dan pengkafiran tersebut dalam bentuk pelarangan kegiatan keagamaan dan ungkapan penuh kebencian yang ditujukan kepada kelompok lain yang tidak sealiran. Ketika si Protestan mensesatkan si Katolik, ketika si Ahmadiyah diburu sampai habis, ketika si Fundamentalis merasa benar sendiri dan yang lain salah bahkan sesat. Di sepanjang sejarah tersebut bertaburan rona merah darah, bak darah bayi tak berdosa di Bethlehem.

Merenungkan sejarah rivalitas dan pengkafiran antar agama tersebut, maka kisah para Majusi lalu menjadi menarik. Siapakah orang Majus ini? Alkitab hanya menyebutkan bahwa mereka adalah orang yang datang dari Timur. Menurut tradisi, para Majusi ini adalah penganut agama Zoroaster dari Persia. Apapun itu, mereka adalah ‘kelompok lain’, bukan Yahudi dan tentu bukan Kristen. Mereka juga memakai ‘bahasa lain’ dalam melihat kedatangan Kristus. Bukan bahasa teks suci, juga bukan bahasa nubuat nabi, tetapi ‘bahasa bintang’. Itulah bahasa yang mereka pahami, karena konon kabarnya, mereka adalah ahli perbintangan, astrolog dari Persia kuno.

Justru di sinilah menariknya! Dalam kerangka berpikir Yahudi, para Majusi jelas bukan bangsa pilihan. Bahasa religius yang mereka pakai tidak berdasar teks suci dan nubuat nabi, tetapi ‘bahasa bintang’. Jelas mereka dapat dikategorikan sebagai ‘sesat’ atau ‘kafir’. Tetapi, alih-alih mengkafirkan, Allah justru menyapa mereka dengan menggunakan bahasa religius yang mereka pahami, yaitu ‘bahasa bintang’. Secara khusus Allah menciptakan ‘bintang Bethlehem’ buat mereka. Bagi mereka teks suci dan nubuat nabi tidak punya arti, tetapi ‘bahasa bintang’ sungguh amat berarti. “Kami telah melihat bintang-Nya!”

Di Yerusalem, para imam dan ahli Taurat memakai bahasa teks suci dan nubuat nabi. Saya kira para Majusi tidak sepenuhnya paham bahasa religius yang berdasar teks suci itu. Karena itulah ketika mereka melanjutkan perjalanan ke Bethlehem, mereka kembali memakai ‘bahasa bintang’. Alkitab mencatat, bahwa bintang itu mendahului mereka dan berhenti di atas tempat di mana Anak itu berada. Bagaimana sebuah bintang di langit dapat berhenti tepat di atas tempat di mana Kristus berada? Anda sulit memahaminya, bukan? Tentu Anda tidak paham, karena itu adalah ‘bahasa bintang’ yang hanya dipahami para Majusi. Apapun itu, Allah menyapa mereka, tidak mengkafirkan mereka, bahkan memakai ‘bahasa religius’ yang mereka pahami untuk menyapa mereka!

Sapaan Allah kepada para Majusi, berlawanan dengan respons Herodes. Ia jelas memahami teks suci, dan justru karena ia paham, maka muncullah rivalitasnya. Ia merasa kedudukannya terancam dan karena itu memerintahkan pembunuhan anak di Bethlehem. Rivalitas memang kerap bermuara pada kebencian, pengkafiran bahkan pertumpahan darah! Apa yang dilakukan Herodes kepada bayi di Bethlehem adalah contohnya. Lalu mengapa sebagai anak Tuhan kita tidak meneladani Allah yang hadir dengan kasih-Nya bagi segala bangsa? Allah yang menyapa para majusi dan tidak mengkafirkan mereka? Bahkan Allah yang berempati, mencoba memahami cara berpikir mereka, memakai bahasa religius mereka untuk menyatakan kasih dan anugerah-Nya.

Sapaan Allah kepada para Majusi menghasilkan sesuatu yang sangat indah. Mereka menyatakan hormat kepada sang Putera Allah. Mereka menyembah sang Putera Allah dan memberikan persembahan harta benda, lalu mereka pulang ke negerinya. Tidak ada pembaiatan di sana, tidak ada penyunatan di sana, tidak ada pengyahudian apalagi pengkristenan! Mereka tetap para Majusi. Adakah yang berubah dari mereka? Ada! Kalau pada awal kedatangan mereka memakai ‘bahasa bintang’ yang sangat jauh dari tradisi keyahudian, pada waktu pulang mereka memakai ‘bahasa mimpi’ yang sedikit banyak lebih dekat dengan tradisi keyahudian.

“Kami telah melihat bintang-Nya!” Sebuah kalimat yang sederhana namun bermakna luar biasa! Dalam kalimat itu kita belajar tentang Allah yang mau berdialog, menyapa para Majusi dengan bahasa religius mereka. Alih-alih mengkafirkan, Allah malahan merangkul mereka. Sebuah dialog yang mendekatkan para Majusi bukan hanya pada Putera Allah, tetapi juga keyahudian. Indah bukan?

SELAMAT NATAL! Mari tanggalkan semangat rivalitas dan upaya pengkafiran. Mari belajar merangkul dan berdialog dengan sesama yang berbeda agama. Damai di bumi, damai di hati dan damai dengan sesama, apa pun agama dan keyakinan mereka!

Pdt. Rudianto Djajakartika

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...