Jangan Tanya “Mengapa”; Tanya “Bagaimana”

Jangan Tanya “Mengapa”; Tanya “Bagaimana”

Belum ada komentar 64 Views

Belum lama ini di dalam perjalanan saya di Singapura, seperti biasa saya menggunakan taksi untuk transportasi saya. Dalam obrolan saya dengan sopir taksi tersebut, kami menjangkau topik tentang realita dunia belakangan ini. Ia juga mengaku bahwa ia seorang “free thinker” yang tidak terikat agama tertentu. Dengan konsep-konsep yang dimilikinya sebagai seorang “free thinker,” ia tidak mengerti mengapa Tuhan mengizinkan pelbagai macam penderitaan di dunia ini. Mengapa terjadi bencana, peperangan dan aksi terorisme di sana-sini. Manusia saling membunuh dan menghancurkan. Belum lama ini dunia dikejutkan dengan aksi terorisme di Mumbai, India, yang banyak memakan korban yang tidak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan motif aksi tersebut. Mereka tidak mengenal para teroris tersebut, dan mungkin juga tidak sempat melihat wajah para teroris tersebut ketika mereka tiba-tiba saja ditembak saat sejumlah teroris masuk ke hotel tempat mereka bekerja.

Pertanyaan dengan esensi yang sama juga saya temui ketika baru-baru ini bersama dengan Paduan Suara Wilayah Pondok Indah GKI-PI mengunjungi seorang ibu yang masih keluarga dekat salah satu anggota Paduan Suara dan sedang sakit. Sang ibu bertanya mengapa ia harus mengalami penderitaan tersebut. Misteri itu dulu sempat juga membebani istri saya, Vonny, ketika ia masih mengalami kesakitan karena penyakitnya. Ketika itu ia bertanya kepada Tuhan, “Mengapa?” Saya yakin masih banyak orang yang terus mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Why bad things happen to good people.

Penderitaan manusia memang sudah ada sejak dulu. Ketika Adam dan Hawa berdosa, Tuhan sudah menetapkan bahwa manusia akan mengalami penderitaan dalam menjalani hidupnya (Kej. 3:17-19). Yakobus 4:1 juga memaparkan adanya sengketa dan pertengkaran di antara manusia, yang kesemuanya membawa sengsara dan derita. Pada sejumlah kejadian, penderitaan terjadi sebagai konsekuensi dari pelaksanaan free will (kehendak bebas/pilihan moral) dari seseorang yang kemudian membawa akibatnya ke orang lain.

Free will merupakan salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan pada kita, manusia, yang diciptakan-Nya serupa dengan gambar dan teladan-Nya. Sebagian besar hidup kita, tanpa kita sadari, berisi pilihan-pilihan yang kita buat dari waktu ke waktu, termasuk pilihan untuk mencintai Tuhan. Allah memberi kita free will agar kita menetapkan sendiri bahwa bila kita mengasihi-Nya, itu karena kita memilih untuk melakukannya, bukan karena terpaksa. Cinta sejati lahir ketika kita ada pilihan. Tanpa adanya pilihan, berarti kita terpaksa “mencintai” satu-satunya pilihan yang tersedia. Apa boleh buat; buat apa yang boleh. Better than nothing. Kondisi sedemikian akhirnya melahirkan “cinta terpaksa” (forced love).

Hanya saja pelaksanaan free will, dengan membuat pilihan yang salah, akan membawa ekses yang tidak diinginkan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, termasuk yang tidak ada hubungan apa pun dengan pilihan yang dibuat tadi. Kita memang bebas menentukan pilihan, tetapi kita tidak bebas menentukan atau mengendalikan konsekuensi dari pilihan tersebut.

Ketika tentara Nazi pada Perang Dunia II menjebloskan para orang Yahudi ke kamp tahanan, ketika para teroris abad modern ini melakukan aksinya di New York, Bali dan Mumbai, saat itu mereka sedang mengeksekusi pilihan mereka. William Styron dalam bukunya “Sophie’s Choice” menulis: “The most profound statement yet made about Auschwitz was not a statement at all, but a response. The query: ‘At Auschwitz, tell me, where was God?’ And the answer: ‘Where was man?'”

Orang sering berteriak di mana Tuhan ketika para teroris beraksi dan membunuh banyak orang tidak bersalah. Tetapi sebenarnya, yang justru harus diteriakkan adalah “di mana (hati nurani) manusia sehingga tega membuat pilihan sedemikian.” Allah dapat saja menghalangi hal tersebut terjadi, tetapi untuk itu Allah akan bertindak adil. Kalau Allah mencabut free will para teroris tersebut, maka Ia akan juga membatalkan free will semua orang lainnya. Dengan demikian, manusia akan menjadi “boneka” yang tidak lagi mempunyai kehendak bebas menentukan pilihan, tetapi sebatas mengikuti saja apa yang menjadi keinginan-Nya.

Dalam sejumlah hal lain, kita tidak dapat mengetahui alasan sebenarnya atas penderitaan. Ketika bencana alam terjadi; ketika anggota keluarga kita mengalami musibah atau kekurang-beruntungan lainnya. Ulangan 29:29, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita…” Tetapi yang pasti bahwa, berbeda dengan Allah yang Omniscient (Mahatahu), kita manusia mempunyai pandangan dan pengetahuan yang terbatas sehingga kita tidak dapat sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Sebagaimana seorang anak tidak sepenuhnya mengerti mengapa ayahnya memberi sejumlah pembatasan atau bahkan hukuman atas dirinya. Sebagaimana juga Abraham semula tidak dapat memahami mengapa Allah memintanya mengorbankan Ishak, anak yang sangat ditunggu-tunggunya bahkan dijanjikan Allah sendiri. Akal sehat Abraham tidak dapat memahaminya. Tetapi imannya kepada Allah kemudian menggerakkannya untuk tetap taat. Faith sees the invisible, believes the unbelievable and receives the impossible. Yang pasti adalah bahwa segala yang kita alami adalah untuk kebaikan kita yang dapat membawa kita ke kematangan rohani yang lebih tinggi guna selanjutnya membuat kita makin serupa dengan Kristus (Roma 8:28-29).

Daud akan tetap menjadi seorang gembala kalau tidak ada Goliat. Sebagaimana seorang olahragawan yang selalu melakukan aktivitas olahraga dengan segala latihan fisik dan beban-beban alat olahraga yang melelahkan tapi akhirnya membentuk postur dan keahlian yang diperlukan, kehidupan rohani kita akan penuh dengan “kolestrol rohani” bila kita tidak menghadapi rintangan atau beban kehidupan. Dengan bersama Allah menjalani segala rintangan atau beban kehidupan, kita akan memiliki “otot-otot rohani” yang kemudian akan membentuk profil rohani kita dan memberi kita postur rohani yang tahan uji atas rintangan dan permasalahan hidup.

Saat berhadapan dengan Goliat, Daud tidak bertanya kepada Allah mengapa Allah membawanya berhadapan langsung dengan Goliat, seorang raksasa dengan keahlian dan peralatan tempur yang jauh di atasnya. Sebaliknya, Alkitab justru mencatat “bagaimana” Daud menanggapi apa yang dihadapinya tersebut. Respon Daud ketika itu adalah ungkapan keberanian iman “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu. Hari ini juga Tuhan akan menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan engkau dan memenggal kepalamu dari tubuhmu; hari ini juga aku akan memberikan mayatmu dan mayat tentara orang Filistin kepada burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang liar, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel mempunyai Allah, dan supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa Tuhan menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan Tuhan-lah pertempuran dan Ia pun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami” (1 Sam 17:45-47).

Bila kita renungkan, hidup kita masing-masing lebih banyak terbentuk dari bagaimana kita menanggapi apa yang terjadi di sekitar kita daripada dipengaruhi oleh apa yang terjadi. Charles Swindoll pernah berkata, 10% hidup ini terdiri atas apa yang terjadi pada kita, dan 90% atas cara kita menanggapinya. Ketika Daud menghadapi Goliat, Daud tidak melihat Goliat sebagai “too big to hit” (terlalu besar untuk dipukul), tetapi Daud menanggapi raksasa di depannya itu sebagai sesuatu yang “so big that it’s easy to hit” (begitu besar sehingga mudah untuk diserang). Dengan adanya Goliat yang Allah izinkan dihadapinya, Allah membawa Daud ke tempat yang lebih tinggi, yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Kita masing-masing punya “Goliat-Goliat” kita, yang mungkin berupa penyakit yang kita derita, disalahpahami orang lain, dan kesusahan-kesusahan lainnya. Dan, kita mungkin sempat bertanya kepada Tuhan, “Mengapa?” Tetapi, bila kita mengubah cara pandang kita, mengubah pertanyaan tersebut menjadi “bagaimana,” kita menanggapi secara positif atas apa yang sedang terjadi tersebut. Dalam memberi isi atas hal itu, kita mempunyai banyak alasan untuk bersyukur. Kita punya Allah yang jauh lebih besar daripada masalah kita. Allah kita adalah Pencipta langit dan bumi. Allah kita bukan hanya Allah yang Mahakuasa (Omnipotent), Mahatahu (Omniscient), Mahahadir (Omnipresent), tetapi juga Allah yang Mahakasih. Lebih jauh lagi, Ia adalah Allah yang pernah menjadi manusia melalui Yesus Kristus, sehingga Ia tahu benar bagaimana menjadi manusia. Bagaimana rasanya, ketika masih bayi sudah dikejar-kejar untuk dibunuh, bagaimana lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat sederhana, bagaimana disalah pahami, bagaimana dipukul dan dicaci, dan bagaimana harus mati dengan cara paling menyakitkan dan paling hina ketika itu.

Selain itu, sebagai orang yang menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi kita, kita kelak akan menikmati kehidupan surgawi bersama Allah dalam kekekalan di mana tidak akan ada lagi tangis dan derita. Di Surga nanti, kita tidak akan mempunyai aktivitas lain selain menikmati Hadirat Allah dan memuji-muji-Nya di dalam kekekalan dengan para orang percaya lainnya dan segala makhluk surgawi.

Dengan segala yang dikatakan di atas, kita sudah punya cukup alasan untuk mengubah cara pandang kita, perspektif kita atas kehidupan ini, menjadi lebih baik. Kita percaya bahwa dalam segala sesuatu yang kita alami, Allah bekerja di belakang layar sehingga kita akan tetap dapat berdiri teguh dengan kekuatan ilahi dan hati gembira. Ketika kemudian kita melewati masa sulit tersebut, kita bukan hanya lepas dari kesulitan, tetapi kita akan menjadi lebih baik, lebih bijak, lebih beriman dan makin lebih serupa dengan Kristus.

Karenanya, marilah kita sekarang menaikkan Kidung Baru, yakni Kidung Kemenangan bahwa,

  1. Kristus telah lahir dan kemudian telah mengalahkan musuh terbesar dan terakhir manusia, yakni kematian, dan
  2. Bahwa dalam Kristus, selalu ada pengharapan, penghiburan, kekuatan dan akhirnya kemenangan. The ‘Promised Land’ is always on the other side of the wilderness. (Dr James Kennedy).
Fabian Buddy Pascoal

 

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...