Dari Keluarga Kepada Dunia

Belum ada komentar 115 Views

Keluarga Milenial

Pada umumnya, sebuah keluarga terdiri atas orangtua, anak, menantu, cucu, mertua, besan. Dalam kehidupan bersama ini, masing-masing tentu punya kerinduan untuk hidup dalam keharmonisan yang diwarnai cinta kasih. Namun kerinduan seperti itu tidak selalu terwujud, bahkan akhir-akhir ini justru sebaliknya yang terjadi: suasana keluarga terasa menegangkan, penuh konflik dan amarah yang menjurus pada perpecahan. Mengapa demikian?

Mengacu pada Teori Generasi, perubahan adalah keniscayaan, karena dalam sebuah keluarga pasti terdapat beberapa generasi di dalamnya. Setiap generasi mempunyai keunikan dan perbedaannya sendiri, dan hal ini sekaligus menimbulkan potensi konflik.

Dalam keluarga saya, misalnya, ada generasi baby boomer, generasi X, generasi Y, generasi Z dan generasi Alpha. Tentu saja dalam konstelasi keluarga seperti ini, potensi konflik makin besar, terutama pada zaman now, ketika setiap individu mempunyai kepribadian dan kemandirian yang makin kuat karena pengaruh sekitar (internet, media sosial, dll.) begitu besar membentuk jati dirinya.

Komunikasi

Saya kira kata ini menjadi kata kunci dalam upaya kita mengeliminasi konflik, bagaimana kita masing-masing mau mengungkapkan isi hati dan pikiran kita secara terbuka, bukan dalam hening atau diam lalu berharap orang lain dengan sendirinya mengerti segala sesuatu yang kita rasakan dan pikirkan. Kita bukanlah ahli kebatinan yang bisa membatin isi hati orang lain, oleh sebab itu segala sesuatu mesti dikomunikasikan. Komunikasi menjadi amat penting untuk mengenal jati diri masing-masing dan untuk dikenal lebih dalam.

Komunikasi yang baik memperlakukan orang lain dengan setara: tidak lebih tinggi atau lebih rendah dalam segala hal. Orang lain bukanlah objek yang mesti menerima segala sesuatu yang kita komunikasikan, melainkan subjek yang mempunyai pikiran dan perasaan sendiri yang tidak selalu sejalan dengan kita dan dengan apa yang kita inginkan. Dalam kesetaraan inilah maka harus ada komunikasi dua arah, sehingga tercipta dialog dan bukan monolog.

Dalam sebuah dialog terbuka, maka perlu ada kesediaan untuk mendengarkan pihak yang kita ajak bicara, bukan sekadar mendengar (yang terkadang kita lakukan hanya sambil lalu) sehingga kita tidak mampu menangkap pesan utama itu dengan baik. Menatap, memerhatikan ucapan secara verbal (kata) maupun non verbal (bahasa tubuh) juga penting untuk menangkap dan memahami pesan dengan baik. Dalam dan melalui komunikasi terbuka ini, kita diharapkan bisa saling memahami sebagaimana kita ada, dan menerima orang lain dengan apa adanya.

Keluarga Adalah Gereja Mini

Dalam praktik, mengupayakan komunikasi terbuka di antara anggota keluarga bukanlah perkara gampang, karena acap kali upaya dialog itu berubah menjadi perdebatan panas dan adakalanya terjadi sikap saling menyakiti karena dominannya sikap tidak mau atau tidak mampu mengerti satu dengan lainnya. Perhitungan menang-kalah menjadi pertimbangan utama tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain, sehingga kemudian menyisakan amarah dan luka hati. Dalam konteks kehidupan yang amat manusiawi seperti itulah dibutuhkan upaya untuk membangun spiritualitas keluarga, di mana kita menempatkan Tuhan sebagai prioritas yang pertama dan terutama di dalamnya, di mana setiap anggota keluarga tunduk kepada otoritas-Nya. Di dalam dan bersama Tuhan, kita menyadari kelemahan dan kerapuhan kita, tapi di sisi lain kita tahu bahwa dengan cinta kasih-Nya, Dia mau mengasihi dan menerima kita apa adanya. Di sini kita diajak untuk terus menerus belajar tentang kasih tetapi juga pengampunan-Nya yang tidak pernah berakhir. Kasih dan pengampunan-Nya itu ibarat dua sisi mata uang. Ketika Tuhan mau mengasihi kita, di situ pula Dia mau mengampuni, siapa pun dan bagaimana pun kita. Spirit seperti inilah yang mesti kita gali terus menerus dan kita perjuangkan dalam keluarga. Di dalam dan melalui keluarga inilah, kita masing-masing belajar untuk tidak membiarkan dan menyimpan amarah dan dendam itu terus bertakhta di dalam diri kita, tetapi merajakan Tuhan dalam diri kita dan keluarga kita, sehingga keluarga sekaligus menjadi ‘pemusatan latihan’ (training centre) untuk belajar mengimplementasikan kasih dan pengampunan. Memberlakukan kasih dan pengampunan ini pulalah yang bisa kita katakan sebagai trademark Gereja. Dalam pemahaman ini, keluarga bisa juga disebut sebagai gereja mini yang terus mengasah tentang kasih dan pengampunan. Yesus berkata: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah mereka” (Matius 18:20).

Ketika spirit ini telah menjadi spirit anggota keluarga dan telah menjadi habit setiap anggota keluarga, maka spirit ini pula akan selalu mewarnai kehidupan kita masing-masing di manapun kita berada—di dalam maupun di luar rumah—dan tidak saja terbatas dalam keluarga. Seandainya saja hal ini selalu mewarnai perjalanan hidup keluarga-keluarga jemaat GKI Pondok Indah, maka dunia di sekitar kita pasti merasakan dampak positifnya.

>> Pdt. Em. Agus Susanto

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...