Pengampunan dari Tuhan

Belum ada komentar 156 Views

Mengampuni itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin dilakukan. Untuk kasus-kasus kecil, misalnya:

  1. Orang ingkar janji kepada kita dengan berkata bahwa ia akan berkunjung ke rumah kita, tapi tidak menepatinya, bahkan tidak memberitahu kalau tidak jadi datang;
  2. Orang yang meminjam barang dari kita dan tidak mengembalikannya;

mungkin masih bisa kita lupakan (ampuni) kesalahannya, tapi bagaimana dengan hal-hal besar, seperti misalnya:

  1. Dalam pembagian warisan orangtua, salah satu anak yang cukup mampu mengambil semua warisan tersebut sehingga yang lain tidak kebagian dan menjadi amat marah, apalagi mereka sudah mengharapkannya karena keadaan ekonomi mereka relatif lemah;
  2. Salah satu anggota keluarga yang sangat dikasihi, dibunuh orang.

Dari kedua contoh terakhir ini, secara manusiawi kita akan sangat sulit mengampuni orang yang membuat kita menderita, dendam, depresi, dll.

Konsekuensi Bila Tidak Mengampuni

Setelah bebas, Nelson Mandela, yang dipenjarakan selama 27 tahun oleh rezim Apartheid, mengakui bahwa ia tidak dapat menghapus dari ingatannya segala kejadian buruk yang dialaminya di sana, tapi jika ia tetap marah atau dendam atas perlakuan tidak manusiawi yang diterimanya, secara kejiwaan ia masih terkurung di dalam penjara.

Orang yang bisa mengampuni akan merasakan damai, lepas dari beban berat dan depresi berkepanjangan yang juga memengaruhi kesehatan dan metabolisme tubuhnya.

Mengampuni memang bukan perkara mudah, tapi hal itu dilakukan oleh seorang ibu kulit hitam yang berumur 70 tahun.

Suatu hari, setelah Nelson Mandela menjadi Presiden, perempuan ini, dengan wajah yang mengguratkan penderitaan dan kesedihan yang dalam, datang untuk menghadiri sidang pengadilan seorang mantan polisi kulit putih yang dulu berkuasa pada zaman Apartheid. Tenyata pada waktu itu, anak laki-laki satu-satunya dari perempuan ini telah diambil dari rumahnya oleh mantan polisi tersebut, lalu dianiaya, dibunuh dan dibakar di depan matanya. Suaminya pun diambil oleh polisi ini dan setelah dua tahun tidak ada kabar beritanya, suatu hari perempuan ini dipanggil oleh polisi yang sama ke pinggir hutan. Di sana ia melihat suaminya diikat di pohon, lalu dianiaya dan dibakar juga.

Di pengadilan, hakim itu bertanya kepadanya, hukuman apa yang patut diberikan kepada orang yang telah menghilangkan nyawa keluarganya dengan amat keji. Dengan suara yang lemah, ia memohon tiga hal:

  1. Agar ditunjukkan jenazah suaminya untuk dikuburkan secara layak.
  2. Karena sekarang ia tidak punya suami maupun anak, maka ia ingin agar mantan polisi ini menjadi anaknya dan dua kali sebulan menjenguknya di rumahnya di perkampungan kumuh (ghetto).
  3. Ia mengampuni polisi tersebut seperti ia sudah terlebih dulu menerima pengampunan Tuhan Yesus dengan cuma-cuma.

Lalu ia mohon agar bisa maju ke depan untuk memeluk mantan polisi itu sebagai tanda bahwa ia mengampuni dan menjadikannya anaknya.

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh ibu tersebut, mantan polisi yang duduk di kursi terdakwa langsung jatuh dari kursinya. Dengan serentak semua orang yang hadir berdiri dan menyanyikan lagu “Amazing Grace”.

Dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. (Roma 3:24)

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah. (Efesus 2:8)

Untuk semua itu, kiranya kita mengingat kembali pengorbanan Tuhan Yesus yang mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, lalu bangkit dari kubur-Nya dan naik ke surga. Dari sana Ia mengutus Roh Kudus untuk menyertai kita dan tinggal bersama kita. Roh Kudus adalah Roh Allah yang menolong, memimpin, menghibur, dan menjadi teman dalam hidup kita.

Kalau Roh Kudus tinggal bersama kita dan dengan sepenuh hati kita terima sebagai Penolong kita, maka kita akan mencerminkan buah-Nya. Gal 5:22-23 mengatakan: “Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” Di dalam buah Roh ini tersirat juga pengampunan dari Tuhan (divine forgiveness).

Seperti yang terjadi pada perang dunia kedua di Pulau Amakusa, di bagian barat daya prefektur Osaka. Pada waktu itu Kaisar dipuja rakyat Jepang sebagai Allah. Orang Kristen yang menjadi minoritas dianiaya, karena dianggap bahwa Allah mereka menyaingi Kaisar.

Suatu hari, 20 tahun setelah perang dunia kedua, seorang ibu, Ny. Tanaka, datang ke pastor setempat untuk memohon agar beliau datang ke rumahnya, atas permintaan suaminya yang sakit parah karena kanker. Pastor itu lalu datang dan melihat Tn. Tanaka terbaring lemah di tatami. Pria itu bercerita bahwa dulu ia Katolik tetapi sudah 40 tahun meninggalkan agamanya, lalu bertanya apakah ia mungkin kembali lagi kepada Yesus. Pastor itu menjawab bahwa Tuhan Yesus pasti menyambutnya dengan hangat. Yesus datang ke dunia bukan untuk orang benar, melainkan untuk orang berdosa. Tn. Tanaka kemudian menerima sakramen rekonsiliasi. Pastor ini berjanji akan kembali Minggu sore untuk memberikan peminyakan bagi orang yang mau meninggal dan perjamuan kudus.

Pada hari Sabtunya diadakan pertemuan dewan paroki, dan pastor ini bercerita tentang pertemuannya dengan Tn. Tanaka. Seorang anggota dewan paroki tiba-tiba meledak kemarahannya bagaikan gunung meletus. Ia berkata bahwa pada waktu itu (20 tahun yang lalu) tentara Jepang telah memburu umat Kristen, dan Tn. Tanaka telah membantu para prajurit untuk mencari dan menganiaya mereka.

Pada hari Minggu pagi, seperti biasa diadakan kebaktian di gereja, dan di dalam ibadah tersebut pastor itu membahas tentang kisah si anak hilang, yang kembali kepada bapaknya. Saudara si anak hilang itu tidak bisa menerima hal itu, karena ia menginginkan hukuman ketimbang pengampunan bagi adiknya yang durhaka. Namun ayahnya berbuat sebaliknya, seperti Tuhan yang selalu memberikan kasih sayang dan pengampunan kepada orang berdosa. Pada akhir ibadah, pastor itu berkata bahwa ia akan mengadakan doa bersama di rumah Tn. Tanaka pada sore harinya. Dengan harap-harap cemas ia datang ke rumah Tn. Tanaka. Ketika ia membuka pintu geser, ia melihat banyak orang dan semua anggota Dewan hadir di sana. Pastor ini hanya bisa berkata: “Saya amat bangga pada kalian.” Secara manusia, tidak mungkin terjadi rekonsiliasi di antara jemaat, apalagi ada yang pernah dianiaya oleh Tn. Tanaka, tapi berkat campur tangan Tuhan, hal itu bisa terjadi.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...