Sejak munculnya “Teori Generasi”, kita diperkenalkan dengan istilah generasi: ‘Baby Boomers’, ‘X’, ‘Y’, ‘Z’, ‘Alpha’. Perbedaan generasi tersebut tentu saja berimbas pada cara berpikir, bertutur dan bertindak. Untuk mengenal keunikan masing-masing generasi, maka kita akan coba memetakannya sebagaimana yang diperkenalkan oleh para ahli:
1. Generasi Baby Boomers (lahir pada tahun 1946-1964)
Pada masa ini perang dunia sudah hampir berakhir, sehingga perlu penataan ulang di berbagai bidang kehidupan. Harapan akan perdamaian dunia sangat kuat. Perekonomian kembali menggeliat. Ilmu pengetahuan dan teknologi diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan masyarakat. Dalam soal berkomunikasi, generasi Baby Boomers lebih suka berbicara langsung (bertatap muka) ketimbang melalui telepon, apalagi email dan media sosial.
2. Generasi X (lahir tahun 1965-1980)
Pada masa ini terjadi beberapa pergolakan global seperti Perang Dingin, Perang Vietnam, runtuhnya Tembok Berlin. Hal ini memengaruhi cara berelasi generasi X yang cenderung lebih toleran menerima berbagai perbedaan yang ada, sebagai upaya untuk meredakan gejolak perang dan menciptakan damai. Dari segi teknologi informasi, generasi X mulai mengenal komputer yang dirasa mempermudah kehidupan manusia. Keberadaan teknologi ini memengaruhi cara berkomunikasi antar manusia. Komunikasi tidak mutlak harus bertatap muka, namun sudah mulai bisa menerima komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan email.
3. Generasi Y (lahir tahun 1981-1994)
Pada masa ini dunia sudah relatif damai. Perekonomian makin menanjak, diikuti dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Komputer sudah menjamur, ditambah lagi mulai berkembangnya internet. Arus informasi berjalan dengan cepat. Hal ini membuat generasi Y memiliki kreativitas yang tinggi dan terhubung dengan banyak orang dari belahan dunia yang berbeda. Komunikasi dilakukan melalui telepon, email, media sosial; termasuk percakapan-percakapan penting (formal). Walaupun demikian, komunikasi dengan bertatap muka juga masih diperlukan.
4. Generasi Z (lahir tahun 1995-2010)
Generasi Z memiliki beberapa persamaan dengan Generasi Y. Sejak kecil generasi Z sudah akrab dengan teknologi, bahkan berkembang makin pesat. Generasi Z dapat melakukan berbagai kegiatan dalam satu waktu karena bantuan teknologi, seperti misalnya: menelepon seseorang sambil memesan kendaraan umum, berbelanja sambil memantau kondisi lalu lintas. Hal ini menyebabkan pola pikir generasi Z cenderung ingin serba cepat dan instan. Generasi Z juga cenderung menghabiskan waktunya di dunia maya.
5. Generasi Alpha (lahir tahun 2011-sekarang)
Generasi Alpha adalah lanjutan dari generasi Z. Teknologi makin berkembang pesat. Sejak usia dini generasi Alpha sudah mengenal dan sudah berpengalaman dengan kecanggihan teknologi yang ada. Hal ini menyebabkan generasi Alpha memiliki pola pikir yang terbuka, transformatif dan inovatif.
Perubahan adalah suatu keniscayaan dalam hidup. Berangkat dari “Teori Generasi” ini, kita dapat melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut mengubah tata kehidupan manusia dan masyarakat. Perubahan inilah yang acap kali menimbulkan gesekan antar generasi. Generasi ‘Baby Boomers’ menganggap penting percakapan dengan tatap muka, sementara generasi Z merasa video call sudah cukup. Pola komunikasi dalam keluarga perlu beradaptasi guna mengantisipasi kemajuan teknologi. Oleh karenanya, kita perlu mengingat bahwa teknologi bukanlah suatu ancaman bagi kehidupan manusia, melainkan sarana yang membantu kehidupan ini menjadi lebih baik. Menempatkan teknologi sebagai sarana membuat kita tidak diperhamba oleh teknologi. Kita tidak kehilangan kebebasan ketika mempergunakan teknologi, melainkan memakainya sesuai dengan kebutuhan yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab dalam mempergunakan teknologi sesungguhnya dibentuk melalui keluarga, sebab salah satu fungsi keluarga adalah memberikan edukasi. Keluarga menjadi tempat belajar bagi seluruh anggotanya untuk mempergunakan teknologi secara bertanggung jawab. Dengan demikian, tiap generasi dalam keluarga dapat belajar bersama di dalam menanggapi perkembangan teknologi dan perubahan yang menyertainya. Proses belajar bersama ini tentu mengandaikan adanya keterbukaan dari tiap generasi untuk saling mengerti dan saling memahami.
Perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Lukas 15:11-32 dapat menjadi inspirasi untuk mengupayakan keterbukaan dalam keluarga. Anak bungsu, anak sulung dan sang bapa berada dalam kondisi yang membuat mereka belajar tentang keterbukaan yang mendorong pada penerimaan. Anak bungsu meminta bagian harta warisannya, lalu pergi meninggalkan rumahnya dan hidup berfoya-foya. Mungkin anak bungsu berpikir bahwa hidup di luar rumah itu menyenangkan karena bebas dari aturan sang bapa. Tetapi pikiran itu meleset jauh. Tak beberapa lama hartanya habis dan teman-temannya pergi meninggalkannya seorang diri. Segeralah kesepian mendekap anak bungsu, ditambah bunyi perut yang menuntut untuk diisi. Anak bungsu menyesali pikirannya, tindakannya dan keputusannya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Tidak mengharapkan dianggap sebagai anak, tetapi cukup diterima sebagai pekerja saja.
Sang bapa melihat anak bungsu kembali pulang. Hatinya tergerak oleh belas kasihan. Kasih yang menutupi segala kesalahan anak bungsu. Pengampunan yang dilepaskan oleh sang bapa segera melunturkan segala sakit hati karena tingkah kurang ajar anak bungsu yang meminta lebih dulu harta warisannya. Sang bapa mendekap anak bungsu sebagai tanda penerimaan. Pemberontakan yang dilakukan oleh anak bungsu sudah diampuni, sehingga sang bapa mengembalikan kembali martabatnya.
Anak sulung mengajukan protes atas tindakan dan keputusan sang bapa. Ia merasa iri hati karena diperlakukan dengan tidak adil. Sang bapa dengan lembut berusaha menenangkan kemarahan anak sulung. Kita bisa mengingat akan kisah Kain dan Habel, di mana iri hati menyebabkan Kain marah kepada Habel dan membunuh adiknya itu. Tentu sang bapa tidak mau anak sulung dipenuhi dengan iri hati dan kemarahan. Anak sulung dan anak bungsu adalah sama-sama putra dari sang bapa. Oleh karena itu, sang bapa berucap lembut: “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” Bisa kita bayangkan bahwa sang bapa dan anak sulung kemudian berbincang-bincang lama soal ini sampai akhirnya anak sulung turut juga mendekap anak bungsu, adiknya itu.
Anak bungsu, anak sulung dan sang bapa mau terbuka dengan situasi yang terjadi. Mereka bertiga mengalami perubahan. Anak bungsu tidak lagi memberontak; anak sulung tidak lagi dikuasai oleh iri hati dan kemarahan; sang bapa tidak lagi dirundung kesedihan atas sikap kedua anaknya. Keterbukaan menyiratkan adanya kemauan untuk berpijak pada realita, sehingga mampu mengalami perubahan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai hakiki.
Keberadaan teknologi tentu mengubah tata kehidupan manusia. Setiap keluarga merasakan betul dampaknya. Di sinilah kita ditantang untuk bersikap terbuka agar tetap berpijak pada realita, sebab tidak mungkin kita meniadakan perkembangan teknologi. Namun kita perlu melangkah dalam kehati-hatian agar teknologi tidak malah memperhambakan kita, sehingga tata nilai kehidupan keluarga Kristen dapat terus dilestarikan dan tidak tergerus. Kiranya kita terus diberikan hikmat oleh Tuhan agar dapat berselancar di atas derasnya ombak perubahan zaman.
Pdt. Pdt. Matias Filemon Hadiputro – Pdt jemaat GKJ Tangerang
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.