Wonderfully-integrated complexity. Inilah istilah yang dapat kita ungkapkan ketika kita takjub akan kemahakuasaan Tuhan. Alam semesta ini dirajut Tuhan dengan begitu rumit, tetapi kerumitan tersebut dijalin oleh Tuhan secara indah dan tertib, tunduk pada hukum alam yang ditetapkan-Nya. Secara khusus, bila kita menengok diri kita, kita juga akan mengamini kekaguman pemazmur dalam Mazmur 139:14: “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.”
Tuhan menciptakan masing-masing kita secara unik. Tidak ada orang lain yang sama persis dengan kita. Pola sidik jari, komposisi jaringan bola mata bahkan ritme detak jantung masing-masing orang berbeda satu sama lain. Di antara pelbagai perbedaan itu, satu hal yang pasti, bahwa tidak ada bagian dari kita yang Tuhan ciptakan tanpa maksud. Kita bukan bagian dari suatu produksi massal atau ciptaan yang dibuat tanpa dipikirkan terlebih dulu. Hal yang kita anggap sebagai kekurangan pada kita bukan berarti bahwa kita adalah produk yang gagal. Tuhan merajut kita sesuai dengan disain yang Dia kehendaki untuk suatu maksud Ilahi.
Bila ada orang yang mungkin dapat sangat kecewa di dunia ini, salah satunya adalah Nick Vujicic. Silakan memasukkan namanya dalam mesin pencari di internet untuk mengenalnya lebih lanjut. Sebagai pengantar, Nick dilahirkan tanpa tangan dan tanpa kaki, tetapi ia selalu berkata pada awal kesaksian-kesaksiannya bahwa di akhir kesaksian yang akan ia berikan, para pendengarnya justru akan iri kepadanya. Ia juga berkata bahwa seandainya kita tidak menerima mukjizat dari Tuhan, biarlah kita menjadi mukjizat Tuhan bagi orang lain. Setiap kita sesungguhnya adalah Adikarya Allah.
Efesus 2:10: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Yesaya 43:21: “umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku.”
Kalau Tuhan sudah menciptakan kita untuk suatu maksud, tahap selanjutnya adalah bagaimana kita menanggapinya. Tuhan menyerahkan kepada kita untuk menentukan sendiri apa yang akan kita lakukan dengan diri kita dengan segala keberadaan kita sebagaimana Tuhan ciptakan. Tuhan tidak akan memaksa kita untuk melakukan apa yang sebenarnya sudah dipersiapkan-Nya bagi kita. IA memberi kita pilihan dan kehendak bebas (free will). Kita bebas memilih, apakah akan menanggapi panggilan Tuhan untuk memasyhurkan nama-Nya, atau sebaliknya. Dalam menentukan pilihan, kita harus selalu ingat, bahwa kendati kita bebas membuat pilihan, kita tidak akan pernah terbebas dari konsekuensi pilihan kita. Kita harus bertanggung jawab atas akibat dari apa yang kita pilih. You play, you pay.
Ketika kita memilih untuk memberitakan kemasyhuran-Nya, pertanyaan berikutnya adalah “sudahkah yang terbaik kuberikan”? Sudahkah? Bagaimana kita mengukurnya?
Ukuran dan pedoman yang paling utama adalah: kasih
1. Semakin Baik Kasih Kita, Semakin Baik Pula Pelayanan Kita
Yang pasti, bagaimanapun kita berusaha untuk memberikan “yang terbaik” kepada Tuhan, hal itu belum dan tidak akan pernah mencapai standar “terbaik” menurut ukuran Tuhan Allah yang sempurna, karena ukuran yang berlaku dari-Nya menuntut kesempurnaan. Yang salah di sini bukanlah ukuran Tuhan, tetapi diri kita sendiri sebagai ciptaan yang memang tidak dapat disetarakan dengan Tuhan, Sang Pencipta. Kita fana dan lemah, serta mempunyai kecenderungan melakukan dosa. Bahkan Yesaya 64:6 berkata, “Demikianlah… segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin.”
Kita tidak dapat dengan sempurna menjalankan Hukum Taurat yang Tuhan kirim untuk menjaga kita, dengan menarik garis antara yang Tuhan kehendaki dan yang ditolak-Nya. Karenanya, Hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan kita, dan untuk alasan itulah Kristus datang mewakili dan menyempurnakan kita di hadapan Allah. Sebagaimana dikutip dalam Matius 22:37-40, IA juga menetapkan Hukum yang Terutama bagi setiap kita yang mendapatkan bagian dalam Keselamatan Kristus untuk (a) mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi, serta (b) mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (“Hukum Kasih”). Perintah ini juga menjadi panggilan bagi kita dalam melayani Tuhan. Tidak ada yang lebih baik lagi yang dapat kita lakukan selain memenuhi perintah dan panggilan ini. Karenanya, pedoman dan ukuran bagi kita untuk menjawab panggilan apakah kita sudah memberikan yang terbaik, adalah dengan merujuk pada kedua Hukum Kasih dari Yesus tadi. Artinya, semakin kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi, serta semakin kita mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri, semakin baik pula kita dalam upaya memberikan yang terbaik bagi Allah.
Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan dibungkus kasih akan sekaligus juga menjadi tindakan penyembahan kita kepada Allah karena kita melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Ketaatan kita menjadi simbol konkrit pengakuan kita atas Kedaulatan Allah atas kita.
2. Kerinduan
Tidak banyak yang tahu, bahwa sebagaimana sidik jari dan bola mata kita, Tuhan memberi kita masing-masing denyut jantung dengan ritme yang berbeda dengan orang lain manapun juga. Hal ini menandakan bahwa tiap kita mempunyai panggilan hati yang unik. Detak jantung sering diasosiasikan dengan kondisi hati. Maka itu muncul istilah seperti “menaruh hati”, “sakit hati”atau “dari mata turun ke hati”. Ketika kita menaruh hati pada seseorang atau sesuatu, bisa jadi detak jantung kita akan sedikit berbeda dari kondisi biasa. Bahkan, selain setiap orang tertarik pada kumpulan hal yang berbeda, ketertarikan setiap orang atas suatu hal mempunyai tingkatan apresiasi yang berbeda pula. Misalnya dalam hal musik. Ada orang yang tingkat apreasiasinya hanya pada tingkatan menikmati, dengan mendengar. Ada pula yang dengan menyanyikannya. Yang lain, dengan menciptakan lagu.
Dari hati lahir kerinduan untuk melakukan hal-hal yang menarik minat kita. Sering kali suasana hati kita berubah dan karenanya ikut menentukan tingkat kerinduan kita. Kerinduan sedemikian merupakan kerinduan yang bersifat sentimentil, relatif dan sesaat, tergantung suasana. Saat kita disakiti, kita akan cenderung mengurangi level kerinduan kita yang bahkan ujung-ujungnya dapat berbalik menjadi kebencian. Dan sebaliknya. Karenanya, di dalam pelayanan, kerinduan kita untuk melayani semestinya tidak didasarkan pada objek yang relatif atau subjektif. Kerinduan sejati hanya akan lahir bila kerinduan tersebut didasarkan atas Hukum Kasih.
Karena motif kasih kita adalah Kehendak Allah yang tidak pernah berubah dan kita mengimani bahwa Allah yang Maha Kuasa mengasihi kita, maka kasih sedemikian akan menjadi api yang tidak akan habis, terus membakar, menerangi dan memberi arah bagi kerinduan kita untuk selalu melayani Tuhan dan sesama. Pelayanan yang didasarkan pada kerinduan sedemikian akan menjaga dan mengawali tingkat kualitas pelayanan kita. Di saat tidak ada hadiah, insentif ataupun pujian manusia, kita tetap bersemangat melayani Tuhan sebab mata kita tertuju pada Allah. Pujian dan hadiah kita datangnya dari Tuhan (Wahyu 2:10).
Pelayanan yang didasarkan pada kasih akan melahirkan antusiasme. Antusiasme merupakan hasrat yang dalam dan menjadi pendorong bagi kita untuk dengan sukacita melakukan apa yang kita sukai, yang akan kita lakukan walau tidak ada orang yang melihat, menyuruh, mengawasi, memotivasi atau menantang kita. Kita akan melakukannya semata untuk kesenangan yang timbul dari melakukan hal itu. Kita menikmatinya.
Dalam dunia olah raga dikenal kelompok profesional dan amatir. Yang pertama melakukannya untuk mencari nafkah, sedangkan yang kedua melakukannya untuk kepuasan. Kata “amatir”mempunyai akar kata yang sama dengan istilah “amore”, yang artinya “cinta”. Artinya, mereka yang masuk dalam kelompok amatir, melakukan aktivitas terutama karena mencintai apa yang mereka lakukan walau tidak mendapat uang sebanyak yang diperoleh seorang profesional. Meskipun dalam realita, kelompok amatir sering dianggap mempunyai kualitas teknis yang lebih rendah dari kelompok profesional, motif kelompok amatir sebenarnya harus dipuji. Dalam konteks demikian, para pelayan Tuhan dapat dikatakan merupakan “kelompok amatir”. Kita melayani Tuhan bukan demi mendapatkan pujian manusia, tetapi karena kita telah terlebih dahulu diberkati. Kita dipanggil untuk memberkati.
3. Melakukan Dengan Segenap Hati
Di dalam Alkitab terdapat puluhan ayat yang secara eksplisit menyebut istilah “dengan segenap hati”. Salah satu yang kita kenal adalah Kolose 3:23: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Dengan menyadari bahwa Allah itu sempurna dan dilandasi oleh kasih-Nya yang telah kita terima, kita mempunyai alasan dan kerinduan untuk melihat bahwa semua yang kita lakukan adalah untuk kemuliaan-Nya. Karenanya, tidak ada pemisahan antara sekular dan rohani. Semua yang ada adalah ciptaan-Nya dan dimaksudkan untuk kemuliaan-Nya. Saat kita melakukan aktivitas apapun dengan sukacita, ucapan syukur dan bagi kemuliaan Tuhan, saat itulah kita berada dalam penyembahan kepada-Nya.
Ketika kita melakukan pelayanan kita dengan segenap hati, hasil dari usaha kita akan lebih baik. Sikap hati demikian akan mendorong kita untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Passion drives perfection.
4. Bertumbuh
Salah satu tanda bahwa kita melakukan yang terbaik adalah semakin baiknya pertumbuhan rohani kita. Bila kita tidak lagi bertumbuh, berarti kita sudah mati. Tidak ada orang yang terus menjadi bayi, terus menjadi pemuda, terus menjadi dewasa, atau terus tua. Kita dipanggil untuk bertumbuh menjadi makin serupa dengan-Nya setiap hari, yakni makin mengasihi Tuhan dan sesama seperti dimaksudkan di dalam Matius 22:37-40. Inilah karakter utama yang dikehendaki Allah.
Kita tidak dapat seketika memberi Allah hal yang terbaik secara absolut. “Terbaik” yang dapat kita berikan hanya bersifat relatif, yakni pada suatu waktu, titik waktu tertentu, dan menurut ukuran manusia. Untuk itu, kualitas “terbaik” akan berbeda antara suatu waktu dengan titik waktu lainnya, atau antara ukuran orang satu dengan yang lain. Idealnya, dari waktu ke waktu titik yang selanjutnya harus lebih baik dari titik sebelumnya. Artinya, kita mengalami pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan kita tentunya tidak selalu berupa garis lurus menanjak. Sebagai manusia, garis pertumbuhan kita dapat saja naik turun. Walau tingkat kualitas kita dapat saja menurun, tetapi kita tidak boleh terus berada pada titik itu. Kita harus bangkit kembali.
Untuk dapat bangkit kembali diperlukan perilaku (attitude) yang benar. Our attitude determines our altitude. Perilaku kita akan menentukan seberapa tinggi kita. Perilaku akan membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang terus berlangsung dalam jangka panjang akan melahirkan karakter. Karenanya, penting bagi kita memastikan bahwa kita memiliki dan menjaga perilaku yang benar agar akhirnya kita memiliki karakter Kristus.
Syarat lain agar kita bertumbuh adalah kita terlebih dulu berakar dalam Kristus. Kolose 2:7: “Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. “
Agar tetap hidup dan bertumbuh, kita harus seperti buah anggur yang melekat erat pada pokok anggur. Kita adalah buah anggur dan Yesus adalah pokoknya. Pohon anggur adalah simbol pertumbuhan dan kedewasaan iman kita.
5. Bergaul Erat Dengan Allah dan Sesama
Salah satu unsur pokok dari kasih, adalah objek dari kasih itu sendiri. Tidak ada kasih, kalau tidak ada objek yang menjadi curahan kasih itu. Tidak mungkin ada seseorang yang mengaku mengasihi, kalau tidak ada objek yang menerima kasihnya. Allah dan sesama manusia merupakan objek kasih kita.
Masing-masing kita bukanlah pusat alam semesta ini. Hidup kita justru tergantung pada Sumber Hidup itu sendiri. Dengan menerima pengampunan atas dosa kita, kita kembali terhubung dengan Allah, Sang Sumber Hidup, melalui Kristus. Untuk dapat memberi Allah pelayanan yang lebih baik lagi setiap hari, kita harus mengenal objek pelayanan kita dengan baik. Allah adalah Objek pelayanan kita. IA sekaligus juga menjadi Subjek pelayanan kita. Artinya, pelayanan kita berada di bawah naungan kedaulatan-Nya. Semakin erat kita bergaul dengan seseorang, semakin dalam pula kita mengenal apa yang disukai dan tidak disukainya. Kita tidak dapat menyenangkan Allah bila kita tidak mengetahui apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu, kita harus mempunyai hubungan pribadi yang berakar, bertumbuh dan berbuah dengan-Nya. Inilah yang membedakan kekristenan dengan agama-agama lainnya. Yang menyelamatkan kita bukanlah agama Kristen, tetapi Kristus. Bukan ritual Kristen, tetapi hubungan pribadi kita dengan Kristus.
Selanjutnya kita bukan pula, seperti kisah Robinson Crusoe, tinggal sendirian di sebuah pulau. Kita adalah makhluk komunal. Kita hidup berkelompok dan membentuk keluarga dan masyarakat. Salah satu kata bijak Afrika berbunyi, “I am because we are.” Saya ada karena kita ada. Masing-masing kita secara kolektif membentuk identitas kelompok kita, dan sebaliknya kelompok kita memberi kita identitas. Hukum kedua dalam Hukum Kasih adalah mengasihi manusia. Sebagaimana kita perlu bergaul erat dengan Allah, kita juga perlu membina hubungan dengan sesama manusia.
Kita membutuhkan sesama agar kita dapat saling tolong-menolong. Ketika Yesus terjatuh saat memikul salib, Simon dari Kirene datang membantu memikul salib-Nya. Kejadian ini membawa pesan bagi kita bahwa kita butuh sesama yang akan mengangkat kita pada saat kita lemah. Sikap saling membutuhkan ini akan melahirkan sikap untuk tumbuh bersama dan menyadarkan kita semua bahwa kita adalah saudara, se-udoro, menghirup udara yang sama.
Terpujilah Tuhan.
[Fabian Buddy Pascoal]
1 Comment
Nithanel Pandie
Juli 21, 2010 - 4:53 amTrim’s atas artikelnya Pak Fabian, pokok-pokok pikirannya akan saya pakai untuk pelayanan dalam memimpin kebaktian, mudah-mudahan banyak orang akan mendapatkan penguatan Iman melalui tulisan Pak Fabian. Tuhan Memberkati