Dalam hati kita sering tersimpan definisi Raja yang tercemar oleh virus duniawi: Raja adalah pemegang kekuasaan yang berhak mementingkan diri, mengumpulkan aset, dan mengabaikan mereka yang lemah. Kekuasaan, di tangan kita, sering menjadi keleluasaan untuk berlaku sewenang-wenang.
Namun, mari kita lihat Takhta Raja kita, Kristus Yesus, di Kalvari. Ia dinobatkan di atas Salib, bukan singgasana emas. Ini adalah kontras teologis radikal yang harus kita cerna. Dunia—yang diwakili oleh para pemimpin dan prajurit di sana—hanya mengakui kuasa pameran (power display). Ejekan mereka, “Selamatkanlah diri-Mu!”, menunjukkan penolakan kita terhadap Raja yang berkuasa melalui kelemahan dan penderitaan. Kita, dalam keseharian kita, sering tergoda menuntut Yesus yang hanya menjamin kenyamanan dan kesuksesan pribadi. Namun, kuasa Raja Yesus di atas Salib justru dipakai secara antiklimaks namun menebus:
1. Kuasa untuk Merangkul Kerentanan (Ayat 34): Di tengah rasa sakit, Dia tidak menuntut keadilan; Dia memberikan doa syafaat bagi para algojonya. Inilah kuasa yang dipakai bukan untuk menghukum, tetapi untuk memulihkan.
2. Kuasa yang Mendirikan Komunitas (Ayat 43): Di sebelah-Nya, seorang penjahat yang terbuang—simbol kegagalan sosial—mendapatkan janji Firdaus. Kuasa Raja Kristus menyatukan umat-Nya, bukan di dalam kemegahan, tetapi di dalam persekutuan penderitaan dan anugerah.
Pertanyaannya untuk kita: Di mana kita menempatkan kuasa? Jika kita diberikan wewenang (di kantor, rumah, atau komunitas), apakah kita menggunakannya seperti Raja dunia—untuk kepentingan diri—atau seperti Raja Kristus—untuk merangkul, memulihkan, dan menyatukan yang terpinggirkan?
Minggu Kristus Raja adalah ujian: Kekuatan kita tidak terletak pada kemampuan kita untuk menghindari penderitaan, melainkan pada ketahanan kita untuk meniru kasih-Nya di tengah penderitaan. Inilah cara Kerajaan-Nya hadir di tengah-tengah kita, kini dan di sini. Amin (TT)



Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.