Topik yang Tidak Mudah
Ketika kita berbicara tentang salib dan penderitaan Allah, sesungguhnya kita memasuki suatu medan pembahasan teologi yang tidak mudah, kendati tidak baru. Inti pertanyaan adalah, benarkah ada hubungan antara salib dan penderitaan Allah? Kalau hubungan itu ada, bagaimana kita memahaminya di atas medan sejarah?
Salib
Berbicara tentang salib, tentu saja kita berbicara tentang alat untuk menghukum seseorang, setidak-tidaknya dalam cara yang dipakai oleh orang-orang Romawi pada waktu itu. Ada bermacam-macam salib.1 Bukan hanya orang Romawi yang mengenal tatacara hukuman memakai salib. Tetapi di era Yesus, kelihatannya orang Romawilah yang mempraktikkan itu secara luas.
Sederhananya salib adalah dua potong kayu yang disilangkan, yang satu lebih panjang dari yang lainnya. Yang panjang ditegakkan di tanah setelah si terhukum dipakukan dan atau diikat di atas salib. Biasanya si terhukum baru meninggal dua atau tiga hari kemudian setelah mengalami penderitaan yang sangat hebat.
Jauh sebelum Yesus disalibkan, telah sekian banyak orang yang disalibkan. Demikian juga sesudah era Yesus. (Warga negara Roma dikecualikan dari cara hukuman ini. Mereka biasanya dipancung, sebagaimana dialami rasul Paulus yang menyandang kewarganegaraan tersebut). Tetapi mengapa justru salib Yesus begitu penting, sehingga bahkan menjadi simbol kekristenan di kemudian hari? Ini didasarkan atas keyakinan bahwa di dalam peristiwa salib itulah Allah mendamaikan dirinya dengan manusia.
Sebelum kita menguraikan ini lebih jauh ada baiknya dicatat, bahwa di dalam perjalanan sejarahnya, salib telah mengalami ambivalensi makna. Salib sekaligus menjadi tanda kehinaan dan keagungan sekaligus. Salib merupakan tanda ketaklukan, tetapi juga penaklukan. Salib menjadi sesuatu yang sakral dan sekaligus mengalami desakralisasi. Salib sekaligus dibenci dan dikasihi.
Untuk menjelaskan hal ini, saya mengemukakan peristiwa penting di Tanah Air dalam tahun-tahun 1990-an ketika berbagai kerusuhan bernuansa agama sangat marak, yaitu peristiwa Tasikmalaya dan Kupang. Di Tasikmalaya, beberapa gedung gereja dibakar sebagai “lanjutan” dari beberapa peristiwa sebelumnya di Sidotopo, Situbondo, Rengasdengklok, dan seterusnya. Ketika gereja Kristus di Ketapang (Jakarta) dirusak dan dibakar oleh kelompok-kelompok tertentu (katanya kaum “preman”), maka pada tahun yang sama sejumlah mesjid juga dibakar di Kupang.2 Pada waktu itu semua milik orang Bugis yang beragama Islam dibakar. Tetapi dengan membubuhkan tanda salib ke atas harta milik mereka (seperti kios), maka harta milik mereka diselamatkan. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa salib telah menjadi tanda “keselamatan”. Tetapi tidak demikian halnya di Tasikmalaya. Di sana, justru salib menjadi tanda kebinasaan. Semua yang berbau salib dimusnahkan.
Dalam pengalaman orang-orang Indian di Amerika Latin, orang-orang Spanyol dengan memegang salib telah memusnahkan kebudayaan mereka. Salib yang tadinya adalah tanda kerendahan hati telah berubah menjadi simbol penaklukan terhadap penduduk yang waktu itu dianggap tidak beradab. Salib-salib baru diciptakan atas nama Salib. Trauma ini masih terus menghantui kehidupan penduduk Indian di Amerika Latin sampai sekarang.
Teologi Salib
Istilah atau terminologi Teologi Salib (Theologia Crucis) untuk pertama kali dipakai oleh Luther, yaitu suatu refleksi teologis terhadap makna salib. Theologia Crucis dipertentangkan Luther dengan Theologia Gloriae, yang memandang pengetahuan tentang Allah dapat dicapai dengan akal, tanpa membutuhkan bantuan sedikit pun. Pandangan ini (theologia gloriae) dipengaruhi oleh skolastisisme abad-abad pertengahan. Sedangkan Theologia Crucis justru berpandangan bahwa pengetahuan itu dicapai melalui salib Yesus Kristus.
Bagi Luther hanya iman saja yang sungguh-sungguh dapat memahami karya sejati (opus proprium) Allah pada kayu salib, yang kelihatannya sebagai karya asing (opus alieanum) dari Allah yang tersembunyi (Deus absconditus).3 Melalui iman itu kita dapat melihat bahwa yang terjadi pada salib justru merupakan pembenaran terhadap orang berdosa. Orang berdosa dijadikan benar ketika Allah menjalani jalan kehinaan, jalan salib.4
Seorang teolog Jerman abad XX bernama Juergen Moltmann5 menegaskan kembali pemahaman Luther ini dengan menekankan bahwa iman Kristen berdiri dan jatuh dengan pemahaman akan Kristus yang tersalib, dengan pemahaman akan Allah di dalam Kristus yang tersalib, atau dengan mempergunakan kata-kata Luther, dengan pengetahuan akan “Allah yang tersalib”.6
Apa artinya ini? Ini berarti bahwa kendati salib merupakan kehinaan dalam pemahaman dunia (Ingat kalimat: “Celakalah dia yang tergantung di atas salib!”), namun telah merupakan kekuatan Allah. Rasul Paulus menegaskan itu di dalam suratnya yang ditujukan kepada jemaat Korintus, 1 Kor. 1:18, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” Rasul Paulus memperkembangkan pemahaman mengenai pembenaran oleh iman dalam arah yang sangat kritis menghadapi faham pembenaran oleh hukum Taurat, sebagaimana ditegaskan dalam Rm. 1:17, “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’”.
Salib, dengan demikian merupakan, bukan sekadar simbol, melainkan “jalan” bagi terciptanya relasi baru antara manusia dengan Allah, pendamaian sejati dicapai. Makna rekonsiliasi, yang berasal dari istilah Latin, re-conciliare, mengacu kepada menjadikan kembali satu, sesuatu yang tadinya pecah. Relasi Allah dan manusia yang dirusak oleh dosa, dengan demikian kembali dipulihkan.
Allah yang Menderita?
Dari apa yang dikemukakan tentang pandangan Luther maupun Moltmann, kita mendapat kesan bahwa di dalam salib (Kristus) kita melihat Allah yang menderita. Pemahaman ini tidak mudah diterima begitu saja. Lama sekali di dalam teologi Kristen dianut pendapat bahwa Allah tidak mungkin menderita, sebab kalau tidak Ia bukan lagi Allah. Ia adalah To on, yang tidak bergerak, yang tidak terharu (a patheia), dan seterusnya. Dalam bahasa Latin dipakai istilah Impassibilitas Dei.7 Tetapi pandangan itu lalu memperoleh bantahan dari berbagai pihak. Allah yang tidak mampu menderita, juga berarti tidak mampu mengasihi. Penderitaan adalah pula ekspresi dari mengasihi. Ini juga berarti, Allah tidak peduli (apatisme). Kita telah melihat akibat dari pandangan ini, dalam berbagai peristiwa dunia seperti holocaust di Jerman dalam PD II dan Perang Vietnam.8
Dalam pandangan sebaliknya, yang dikenal sebagai patripassianisme ditegaskan, bahwa jikalau Kristus adalah Allah, maka Ia mestinya diidentikkan dengan Sang Bapa, dan jikalau Ia identik dengan Sang Bapa, maka, karena Kristus menderita, Sang Bapa juga menderita. Tertulianus (abad ke 2) menegaskan, “Anak menderita, maka Sang Bapa juga ikut menderita (patitur, compatitur).9
Tentu tidak mudah juga bagi kita sekarang untuk memverifikasi benarkah Allah ikut menderita atau tidak. Namun setidak-tidaknya, berdasarkan iman kita mengamini bahwa sesungguhnya demikianlah yang terjadi. Kita bercermin kepada Yesus Kristus, yang sungguh-sungguh secara intens mengalami penderitaan itu.
Makna Sosial Penderitaan Allah
Kendati tidak dapat diverifikasi apakah Allah benar-benar menderita, kita bisa “memahaminya” dalam kehidupan sosial. Telah banyak orang melakukan perenungan mengenai penderitaan Allah ini. Kita tidak akan menguraikan semuanya di sini. Di Asia, Kazoh Kitamori menulis buku berjudul, Theology of the Pain of God. Ia malah melihat penderitaan Allah sebagai hakikat Allah, bukan sekadar rasa empati.
Sebagai seorang pendeta Lutheran ia dipengaruhi Luther. Dengan menjelaskan Yeremia 31:20 dan Yesaya 63:15 di mana ditemukan kata-kata “Hati-Ku terharu” dan “kasih sayang”, Kitamori menegaskan bahwa di dalamnya tersirat penderitaan dan kasih. Allah bergumul di dalam diri-Nya. Allah yang harus menghukum manusia bergumul dengan Allah yang mengasihi yang adalah Dirinya sendiri. (Di sini Kitamori mengutip Luther, “da strydet Gott mit Gott”), Allah sesungguhnya menaklukkan diri-Nya sendiri bagi kepentingan manusia. Inilah penderitaan Allah, kata Kitamori yang konkretisasinya di dalam sejarah terjadi di Golgota. Maka bagi Kitamori, peristiwa salib, di mana Anak Allah mati, bukanlah sesuatu peristiwa yang terjadi di luar Allah. Pada salib Allah mematikan diri-Nya sendiri dan dengan demikian menyelesaikan masalah kematian kita sendiri.10
Tentu saja Kitamori dikritik karena drama penderitaan Allah ini “hanya” terjadi di dalam batin Allah sendiri. Tetap merupakan persoalan, bagaimana penderitaan itu dilihat, dipahami bahkan dialami di atas ranah sejarah.
Dalam sebuah novel yang ditulis oleh Elie Wiesel berjudul Nacht,11 ia mencoba memahami Allah yang menderita di pentas sejarah ini. Wiesel adalah seorang dari sedikit orang yang luput dari holocaust Hitler. Ia menyaksikan demikian banyak penderitaan dan kematian di dapur pembakaran Auschwitz. Pada suatu hari ia harus menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung yang dijatuhkan kepada tiga orang yang dianggap penjahat oleh rezim Nazi. Dua orang, karena badan mereka besar dengan segera meninggal.
Seorang anak kecil yang badannya kurus tetap tergantung di sana, dan susah meninggal. Maka lalu ada seorang berbisik di belakangnya: “Di manakah Allah?” Sejurus kemudian, ia mendengar suara lain: “Itu Allah sedang tergantung di atas tali gantungan.” Bagi Elie Wiesel, drama penderitaan Allah sungguh-sungguh konkret. Drama itu terjadi di atas panggung sejarah, bukan hanya di dalam batin Allah. Dengan mengambil bahagian di dalam penderitaan mereka, Allah membuktikan bahwa Ia “mampu” menderita dan mengasihi.
Tentu saja tetap sulit bagi kita bagaimana memverifikasi itu. Namun demikian, kita dapat “menilai”nya dari berbagai perubahan sikap gereja-gereja di Eropa terhadap orang Yahudi. Teologi mereka juga berubah (Theologie Na Auschwitz). Teologi yang tadinya meletakkan tuduhan kepada orang Yahudi sebagai pembunuh Kristus, sekarang berubah. Barangkali keberpihakan Barat terhadap Israel sekarang tidak dapat dilepaskan dari keyakinan bahwa Allah telah ikut menderita di dalam penderitaan umat-Nya. Sayang sekali Israel sekarang tidak melihat penderitaan Allah di dalam wajah orang-orang Palestina dewasa ini yang mendambakan juga sebuah tanah air yang merdeka.
Moltmann mencatat sekian banyak hal yang merupakan muara dari penderitaan Allah di dalam kehidupan sosial-politik manusia. Ia bertanya, apakah makna pemutakhiran (the contemporization) Allah yang menderita di dalam kehidupan beragama masyarakat? Di dalam dimensi-dimensi manakah suatu masyarakat manusia berkembang di dalam iklim yang bebas dari sejarah Allah ini? Apakah konsekuensi-konsekuensi ekonomi, sosial dan politik dari Injil tentang Anak Manusia yang disalibkan sebagai ‘pemberontak’?12
Semua pertanyaan-pertanyaan ini agaknya baik untuk direnungkan dengan mempertimbangkan kenyataan konkret masyarakat kita sendiri di Indonesia dewasa ini. Di dalam kehidupan beragama misalnya, terlalu mudah kita mengklaim Allah sebagai Allah kita sendiri, yang “hanya” berpihak kepada kita, dan kalau perlu selalu mengikuti kemauan kita. Maka karena itu dengan sangat mudah juga kita mengklaim diri sebagai “anak Tuhan”. Klaim itu tidak salah, asal saja dilakukan dalam kerendahan hati, dengan selalu mengingat bahwa Allah sesungguhnya baik kepada semua orang (Mzm. 145:9). Bahwa Allah pun menerbitkan matahari-Nya dan menurunkan hujan bagi mereka.
Sidang Raya XV PGI yang diselenggarakan November 2009 dengan sengaja memilih tema ini (“Allah Itu Baik Kepada Semua Orang”) untuk menekankan bahwa Allah yang menderita di dalam Yesus Kristus itu tidak mau diklaim oleh siapa pun untuk mendiskreditkan pihak-pihak lain. Di dalam bidang kehidupan ekonomi, apakah makna penderitaan Allah? Wajah Allah tergambar di wajah orang-orang miskin yang dalam banyak hal terpuruk dan tertinggal karena praktik-praktik ekonomi yang tidak adil. Ekonomi kapitalisme yang dipraktikkan oleh Amerika Serikat sekarang ini mengalami kesulitan besar dan dampaknya terasa bagi seluruh umat manusia sebagai akibat krisis keuangan. Pemanasan global sekarang ini juga tidak dapat dilepaskan dari sikap dasar manusia yang ingin menguasai segala sesuatu. Barack Obama, di dalam pidato pengukuhannya sebagai Presiden USA menekankan perilaku kerakusan yang menghinggapi banyak orang. Mahatma Gandhi pernah mengatakan, sesungguhnya bumi menyediakan cukup hal bagi keperluan semua orang, tetapi tidak cukup bagi seorang yang rakus. Dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) VIII-PGI yang diselenggarakan di Cipayung dalam bulan November 2008 lalu diserukan untuk memberi perhatian serius kepada ekonomi kerakyatan yang memberdayakan masyarakat.
Di bidang politik orang sekarang berlomba-lomba untuk memperoleh kekuasaan. Pemilu telah diriuhrendahkan oleh sekian banyak caleg yang memasang fotonya di mana-mana. Bagaimana Allah yang menderita itu terefleksi dalam dimensi-dimensi politik itu? Sayang sekali, bidang ini juga telah dikuasai oleh “agama-agama politik” dan “teologi-teologi politik” (Moltmann). Memang dari semula, iman Kristen telah bergumul dengan agama-agama politik dari masyarakat. Di negeri kita tidak jarang kita ketemu dengan apa yang disebut politisasi agama. Di dalam politisasi agama, agama diperalat bagi tujuan kekuasaan. Maka kalau orang Kristen benar-benar hendak bercermin kepada Allah yang menderita di dalam Yesus Kristus, perjuangan di bidang politik mestinya tidak boleh memperalat agama. Tentu saja iman Kristen mengilhami dan memberi motivasi bagi perjuangan di bidang politik. Ini berbeda dengan mengutip ayat-ayat Alkitab bagi tujuan pemenangan sendiri.
Bukan Sikap Pesimisme
Apakah dengan menekankan kepada salib Kristus dan penderitaan Allah kita hendak membangkitkan sikap pesimisme di antara orang beriman? Tidak demikian. Menghayati kembali peranan salib Kristus dan bagaimana Allah berperan di dalamnya hendak menegaskan bahwa Allah sungguh-sungguh serius dengan persoalan-persoalan kita. Kalau Allah sungguh-sungguh serius dengan persoalan manusia, maka tentulah kita sebagai umat-Nya juga dipanggil untuk benar-benar serius dengan persoalan-persoalan kemanusiaan itu. Ini berarti keterlibatan penuh di dalam berbagai upaya penanggulangan persoalan manusia di mulai dari lingkungan kita masing-masing.
– Andreas A. Yewangoe –
- Dari De Grote Osthoek Encyclopedie en woorden boek (Deel 11) kita memperoleh informasi bahwa ada 5 (lima) jenis salib masing-masing disebut: anchteken, Grieks kruis, Latijn kruis, swastika, dan andrieskruis. Dalam penyaliban Yesus kelihatannya Latijns kruis yang dipakai. Ketika salib telah diambil-alih sebagai simbol kekristenan, banyak kerajaan-kerajaan di Eropa menempatkannya di bendera-bendera dan panji-panji mereka. Sedikit banyaknya tercatat 10 (sepuluh) jenis: Juliaans kruis, Herkruist kruis, Perron kruis, Spitspoetig kruis, spitskruis, Vorkkruis, Sterrekruis, Ruitvormig kruis, Toulouser/Occitaans kruis, dan Pijlkruis
- Sampai sekarang tidak diketahui siapa penyulut kerusuhan itu. Ada tudingan bahwa para provokatorlah yang menunggangi upacara perkabungan nasional di Kupang yang semula berjalan baik, namun tiba-tiba menjadi kacau dan rusuh.
- Deus absconditus dipertentangkan dengan Deus Revelatus (Allah yang menyatakan Diri). Tidak semua hal dinyatakan oleh Allah. Ada yang tersembunyi, kendati yang tersembunyi ini nanti akan dibukakan rahasianya. “Salib” dimasukkan sebagai karya Allah yang tersembunyi karena pada mulanya orang mengaggapnya sebagai sesuatu yang hina, namun setelah dibukakan justru mempunyai makna sangat
- Banyak bahan telah ditulis untuk memahami pandangan ini. Saya mengutip penjelasan pendek dari Alan Richardson & John Bowden, A New Dictionary of Christian Theology,( SCM Press: London, 1987), p. 566. Saya juga menulis sebuah artikel berjudul, ‘Theologia Salib di Indonesia Hari ini’, dalam kumpulan tulisan saya berjudul, Agama dan Kerukunan, (BPK GM: Jakarta, cetakan IV, 2009), p.222-237.
- Ia menulis buku penting yang sangat mempengaruhi teologi abad XX berjudul Theologie der Hoffnung [Teologi Pengharapan]. Pengharapan tidak ditempatkan di akhir teologi, tetapi justru menjadi titik-tolak berteologi.
- J. Moltmann, The Crucified God, (SCM Press: London, 1974), p. 65.
- Menurut J.K.Mozley, terdapat 3 motif mengapa Allah disebut tidak mampu menderita, yaitu: melindungi trasendensi ilahi. Allah dipandang sebagai tidak mempunyai titik-hubung, baik dalam maksud maupun dalam perasaan dengan kehidupan dunia; untuk mrlindungi kemuliaan Allah. Allah dianggap bahagian sempurna, dan oleh karena itu tidak dapat menderita; dan ketiga, untuk melindungi Allah dari antropomorfisme, artinya Allah tidak dapat digambarkan dalam istilah-istilah manusia. ( J.K.Mozley, The Impassibility of God: A Survey of Christian Thought, (Cambridge, 1926), pp. 173-174); A.A.Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, (BPK Gunung Mulia: Jakarta, cetakan IV) p. 349.
- Lihat misalnya D.Soelle, Lijden, (Driebergen, 1973), p. 34. Diterjemahkan dari bahasa Jerman, Leiden.
- H.E.W.Turner, “Patripassianism” dalam Alan Richardson & John Bowden, op.cit., p. 431.
- Kazoh Kitamori, Theology of the Pain of God, (London, 1966); A.A.Yewangoe, op.cit
- Kalau tidak salah, novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul, Malam
- Moltmann, op.cit., p. 317
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.