MELIHAT KE DALAM MATANYA
Suatu hari seorang buronan muda memasuki sebuah dusun yang kecil, berusaha bersembunyi dari para musuh. Penduduk dusun itu sangat baik kepadanya dan menawarkan tempat untuknya. Namun, ketika para serdadu musuh yang mencari buronan itu bertanya di mana ia bersembunyi, semua orang menjadi takut. Para serdadu itu mengancam akan membakar seluruh dusun dan membunuh semua orang, kecuali anak muda itu diserahkan kepada mereka sebelum fajar menyingsing. Penduduk dusun itu kemudian pergi kepada rabbi dusun dan bertanya apa yang harus mereka perbuat. Terjepit di antara dua posisi—menyerahkan anak muda itu atau menyaksikan umatnya terbunuh—sang rabbi masuk ke kamarnya dan membaca Alkitabnya, berharap dapat menemukan sebuah jawaban sebelum fajar menyingsing. Pagi-pagi benar, mata sang rabbi tertuju pada sebuah kalimat, “… lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa” (Yoh. 11:50).
Kemudian sang rabbi menutup Alkitabnya, memanggil para serdadu itu, dan memberitahu mereka di mana anak muda buronan itu disembunyikan. Setelah para serdadu menangkap buronan itu, diadakanlah sebuah perayaan di dusun karena sang rabbi berhasil menyelamatkan nyawa seluruh penduduk dusun. Namun sang rabbi tidak ikut dalam perayaan itu karena merasa sangat sedih. Ia tinggal di dalam kamarnya. Malam itu satu malaikat datang kepadanya dan bertanya, “Apa yang sudah kaulakukan?” Ia berkata, “Aku telah menyerahkan buronan itu kepada musuh untuk menyelamatkan seisi dusun.” Kemudian malaikat itu berkata, “Tapi, tidak tahukah kau bahwa engkau sudah menyerahkan Mesias?” “Bagaiamana aku tahu?” jawab sang rabbi dengan mulut bergetar. Kemudian malaikat itu berkata, “Seandainya saja, daripada membaca Alkitabmu, engkau mengunjungi anak muda itu barang satu kali saja dan melihat ke dalam matanya, engkau akan tahu.”
Kisah “Si Buronan dan Sang Rabbi” ini dikisahkan oleh Henri J.M. Nouwen di dalam bukunya, Spiritual Direction: Wisdom for the Long Walk of Faith (2006). Kisah ini sangat mengganggu umat beragama yang kerap berusaha menyelesaikan masalah sosial tanpa berniat pertama-tama “melihat ke dalam mata” sesama manusia di dalam lingkaran sosial itu. Seolah-olah semuanya bisa diselesaikan melalui apa yang tertulis di dalam Kitab Suci. Padahal, Kitab Suci sesungguhnya adalah lensa yang membantu kita untuk melihat ke dalam mata sesama kita, sehingga kita bisa memasuki relung batin sesama—sebelum kita menuliskan resep sosial untuk memperbaiki masalah sosial kita.
Kisah ini sesungguhnya juga menyadarkan kita yang terlalu ingin mengubah dunia tanpa menyadari bahwa dunia kita bukan hanya berarti seluruh planet yang disebut bumi, namun juga menunjuk pada orang-orang di sekeliling kita—concrete persons. Para pengubah dunia yang terkenal hampir bisa dipastikan tidak pernah punya pretensi untuk mengubah seluruh dunia ini. Yang mereka lakukan hanyalah memberikan diri kepada sesama yang di dalam jangkauan mereka, di sekitar dan di sekeliling mereka.
Itulah sesungguhnya yang mau disampaikan oleh Paulus, ketika ia menulis Galatia 6:10, “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.” Sepintas, setelah Paulus memaparkan bahwa perbuatan baik harus dilakukan “kepada semua orang,” ia menyarankan agar hal tersebut khususnya dilakukan kepada mereka yang seiman dengan kita (“terutama kepada kawan-kawan kita seiman“). Paulus sesungguhnya tidak sedang mengusulkan sebuah favoritisme, yang jelas berlawanan dengan iman Kristen. Kita bisa memahami teks ini hanya ketika kita tahu bahwa, pada zaman itu, orang-orang Kristen tinggal di dalam komunitas yang khusus (enclave), sehingga yang Paulus maksud dengan “kawan-kawan kita seiman” adalah mereka yang tinggal paling dekat dengan kita, yaitu para tetangga kita. Alkitab berbahasa Inggris versi The Message menerjemahkan secara sangat bebas, “… let us work for the benefit of all, starting with the people closest to us in the community of faith.” Prinsip fundamentalnya adalah untuk semua orang, namun prinsip praktisnya adalah bahwa kebaikan tersebut perlu dilakukan mulai dari yang terdekat, yaitu mereka yang tinggal dekat dengan kita—saat itu, mereka adalah tetangga yang sama-sama beragama Kristen. Untuk masa sekarang, mereka yang tinggal terdekat dengan kita mungkin saja justru orang yang tidak seiman dengan kita.
Prinsip yang sama dipaparkan di dalam Yeremia 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Orang Kristen tidak diundang untuk mengubah seluruh dunia; cukup mengubah diri menjadi lebih baik—diri yang kehadirannya mendatangkan kesejahteraan kota di mana mereka tinggal. Perubahan diri yang dituntut jadinya adalah perubahan dari keinginan “mengusahakan kesejahteraan sendiri” menjadi keinginan untuk “mengusahakan kesejahteraan kota.”
Jadi, musuh terbesar yang mengakibatkan kemandulan orang Kristen sebenarnya adalah diri mereka sendiri. Kita kerap membalik logika yang Yesus pernah katakan, “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat. 5:13). Kita kerap berdalih tidak bisa menjadi garam yang mengasini dunia sekitar karena kita diinjak-injak orang. Padahal sebaliknyalah yang terjadi: Kita diinjak karena kita tidak menjadi garam yang mengasini dunia sekitar. Gereja lebih sering diasini oleh dunia, daripada mengasini dunia.
ANATOMI KEGAGALAN GEREJA: IRELEVAN DAN INSIGNIFIKAN
Mengapa gereja kerap tidak relevan secara eksternal (bagi masyarakat) dan tidak signifikan secara internal (bagi warganya)? Ada beberapa sebab yang bisa kita sebutkan dan jelaskan secara rinci. Namun, cukuplah menyebutkan beberapa sebab yang paling dominan.
Insignifikansi Internal
- Institusionalisasi gereja-gereja agaknya makin mengental dan menjurus ke arah institusionalisme—yaitu, sebuah sikap gerejawi bahwa jati diri gereja ditemukan pada institusi yang hadir dalam struktur-struktur kekuasaan formal (misalnya: PGI, sinode, majelis jemaat dan sebagainya). Bukan berita baru jika kita mendengar bagaimana para kepemimpinan gerejawi merupakan ajang perebutan kekuasaan yang warna-warninya tidak berbeda jauh dari perebutan kekuatan politik di institusi-institusi politis. Maka, perselingkuhan tak senonoh (unholy alliance) antara “mimbar, takhta dan pasar”—gereja, kekuasaan dan uang—merupakan godaan paling menggiurkan sekaligus paling mematikan gereja. Maka, tidak heran jika kita menyaksikan bagaimana pemilihan pemimpin politis di banyak daerah di Indonesia ternyata sangat erat dipengaruhi atau memengaruhi kepemimpinan gerejawi. Kita sudah menyaksikan di sepanjang sejarah kekristenan bagaimana pola perselingkuhan tak senonoh semacam ini adalah benih dari luruhnya kredibilitas gereja di mata umatnya sendiri, maupun akhir-akhirnya di mata para politikus sekular.
- Uniformisme menjadi masalah lain yang tak kalah menjengkelkannya. Tak jarang kita tak sungguh-sungguh memahami bahwa kesatuan dan penyatuan tidak sama dan malah berlawanan artinya dengan penyeragaman. Sangat sering saya mendengar bagaimana institusionalisme yang melanda gereja-gereja (khususnya arus utama) di Indonesia menunjukkan taringnya melalui instruksi-instruksi “pusat” berbentuk penyeragaman di komunitas-komunitas lokal yang sebenarnya sangat majemuk. Uniformisme ini bisa muncul juga dalam ranah hubungan antar-gereja, di mana perbedaan diabaikan dan kesatuan dipaksakan di bawah sebuah payung yang dominan dan yang menyingkirkan siapa saja umat Kristen lain yang tidak sepaham dengan dirinya. Singkatnya, uniformisme adalah sebentuk monopoli kebenaran kristiani yang justru menjadi musuh dari ekumenisme sejati.
- Umat merasa gereja tak lagi relevan bagi pergumulan hidupnya sebab gereja dan para pemimpinnya terlalu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan gereja yang rutin dan tak punya cukup waktu menyapa pergumulan konkret umatnya. Rutinisme atau ritualisme ini semacam sebuah mesin “treadmill pelayanan” (ministry treadmill) yang berputar terus dan kita berada di atasnya, tanpa kuasa untuk berhenti; bahkan mesin rutin itu makin lama makin kencang berjalan. Yang tercipta akhirnya adalah keterpisahan total antara gereja dan kehidupan real. Gereja menjadi tempat umat melarikan diri dari kegersangan hidup (flight), namun di sana mereka tidak menemukan jawaban yang memampukan mereka berjuang (fight) di dalam kehidupan. Rutinisme ritual atau ritualisme rutin ini ternyata jauh lebih parah daripada yang kita bayangkan sebelumnya. Menurut hemat saya, inilah salah satu penyebab terbesar kekecewaan umat terhadap gereja. Gereja meneriakkan selalu transformasi tanpa sungguh-sungguh membuktikan dirinya sendiri telah mengalami transformasi tersebut. Yang muncul lantas hanyalah aktivitas tanpa visi; khotbah sloganistis tanpa kuasa; etiket yang ditonjolkan tanpa etika sama sekali.
Irelevansi Eksternal
Gereja juga mengalami irelevansi serius di tengah kehidupan bangsa. Partisipasi “garam” Kristen di tengah belanga bangsa ini tidak mengasinkan seluruh belanga selain malah menghanyutkannya hilang tak berbekas atau malah membuat masakan yang dihasilkan tak lezat karena kristal-kristal garam yang tak sungguh-sungguh larut menyedapkan. Transformasi sosial yang diimpikan gereja tidak berhasil dan malah berakhir dengan asimilasi gereja ke dalam tata sosial yang korup. Kerinduan para tokoh sosial Kristen untuk mencari dasar bersama (common ground) dengan elemen-elemen bangsa lainnya justru berujung pada hilangnya dasar keberadaan gereja itu sendiri. Ada beberapa segmen dari masalah irelevansi gereja secara sosial.
- Krisis kredibilitas; masyarakat yang haus teladan ternyata tidak menemukannya di dalam komunitas bernama gereja, sebab yang dilihat hanyalah bongkahan-bongkahan bangunan bersimbol Kristen yang tidak kena-mengena dengan pergumulan rakyat banyak. Di dalam bongkahan-bongkahan Kristen tersebut mereka justru menjumpai manusia-manusia yang entah tuli pada penderitaan getir rakyat banyak atau, sebaliknya, justru sangat doyan mendekatkan diri pada kekuasaan—politik maupun ekonomi—yang justru menjadi sumber penderitaan rakyat tersebut.
- Proses pemandulan intelektual Kristen yang berlangsung secara gradual namun tak pernah teratasi dengan baik. Kita menyelenggarakan terlalu banyak seminar mengenai partisipasi kristiani ke dalam pembangunan, namun dengan terlalu sedikit usaha memberdayakan para partisipannya. Atau, saluran-saluran pemberdayaan para partisipan ternyata dimonopoli oleh mereka yang justru masuk ke dalam birokrasi gereja. Para birokrat gereja lupa bahwa tugas mereka adalah menciptakan umat—khususnya generasi muda—yang mumpuni dari segi intelektualitas, integritas moral dan iman Kristen. Maka, tak heran, jika gagapnya orang-orang Kristen di dalam diskursus dan diskusi akademis dan intelektual menjadi pemandangan yang makin jamak dijumpai. Paling-paling mereka menjadi “jago kandang” yang berani bersuara lantang di acara-acara yang dibuat “untuk kalangan sendiri.”
- Masih banyak bukti irelevansi eksternal yang mampu saya kupas. Namun, saya membatasi diri untuk sampai pada yang contoh yang ketiga saja , yaitu apa yang sering saya sebut sebagai penyakit mediokritas (posisi serba-tanggung) yang menghinggapi pola-pola pelayanan sosial Kristen. Tak ada kreativitas dalam mengelola masalah yang senantiasa baru dan makin kompleks. Kita lupa bahwa extreme problems need extreme solutions. Sementara saudara-saudara yang beragama lain, maupun yang berlatar non-religius seperti banyak LSM, mampu dengan kreatif dan berani menyajikan program-program pemberdayaan sosial yang mantap, kita hanya menyajikan “solusi-solusi” yang itu-itu saja dan bisa jadi malah menambah rumit persoalan.
MENEMUKAN MODEL KEHADIRAN SOSIAL GEREJA YANG RELEVAN DAN SIGNIFIKAN
Bagaimanakah gereja kita dapat terhindar dari jebakan irelevansi eksternal dan insignifikansi internal di atas? Model keterlibatan sosial semacam apa yang perlu kita perjuangkan? James L. Hunter pernah memaparkan adanya empat model keterlibatan sosial gereja. Ia sendiri melihat model keempat yang paling tepat bagi konteks masa kini. Hunter mengajukan kritik terhadap tiga model pertama relasi kekristenan dan dunia, dengan basis ketegangan bahwa orang Kristen “bukan dari dunia” sekaligus “di dalam dunia.” Yang pertama adalah model defense-against yang diwakili oleh kelompok Injili-fundamentalis yang dengan superioritas kristianinya berusaha melawan dunia sekular begitu saja dan dengan demikian berambisi menobatkan dunia ini bagi Kristus. Dunia dianggap kotor dan harus diubah. Dan yang dimaksud dengan “dunia” adalah seluruh realitas yang non-Kristen, baik budaya, politik, agama lain dan sebagainya. Model ini semakin laku diterima di kalangan Kristen seiring dengan menggelembungnya sekularisasi modern. Ide tentang “mentransformasi dunia” atau “mandat budaya” laku terjual. Secara substansial, ide tersebut dihadirkan lewat usulan membina anggota jemaat untuk memiliki pandangan-dunia (wordview) yang berbeda dan bahkan berlawanan dengan pandangan-dunia sekular. Untuk itu, para pendukung model ini sangat gemar berusaha mengkristenkan titik-titik kekuasaan politik dan ekonomi demi melawan budaya sekular dan praktik-praktik yang menyertainya (pornografi, aborsi, feminisme, dsb.). Sebaik apa pun motif model ini, yang muncul adalah praktik-praktik hidup yang tak jarang sangat violent, intolerant dan exclusivistic.
Model yang kedua adalah relevance-to yang tampil paling jelas di dalam mentalitas partisipatoris dari kelompok liberal-moderat. Mereka sangat meyakini bahwa demi menjadi relevan bagi dunia yang bermasalah ini, kekristenan harus melakukan transformasi diri dan meresimbolisasi diri agar diterima oleh masyarakat yang lebih luas. Keinginan mereka untuk menjadi relevan dan berpartisipasi ke dalam dunia tidak jarang berujung pada pengaburan dan terasimilasinya identitas kristiani di dalam dunia.
Model yang ketiga adalah purity-from, yang tampil lewat sekte-sekte yang memisahkan diri dari dunia yang dianggap kotor. Bagi mereka, satu-satunya cara untuk menegaskan iman adalah dengan membentuk ruang-ruang bernafas Kristen yang sedapat mungkin bebas dari pengaruh dunia. Dunia yang kotor dilihat bukan sebagai rumah mereka, sebab mereka mengidamkan rumah kekal di surga yang akan mereka masuki setelah kematian atau kehancuran dunia ini.
Hunter dengan tegas menolak ketiganya sebagai model-model yang gagal menjawab tantangan dunia masa kini. Secara khusus, Hunter membenturkan ketiga model tersebut dengan tantangan kemajemukan sosial—atau, isu perbedaan (difference)—yang tak mungkin kita abaikan. Di dalam model defense-against, sang liyan yang berbeda dianggap sebagai ancaman dan musuh. Mereka bisa menjadi sahabat dengan syarat mereka bertobat. Jika tidak, mereka harus diperangi. Bagi model relevance-to, perbedaan diabaikan dan disepelekan, sebab di balik semua perbedaan yang tampak (ras, agama, gender dsb.), diakui adanya kesamaan yang universal. Masalahnya, sama menurut siapa? Tentu saja menurut penganut model ini. Bagi model purity-from, perbedaan dipandang sebagai “kegelapan” yang secara kontras berbeda dengan mereka sebagai “terang” dan karena itu patut untuk dihindari sejauh mungkin.
Singkatnya, sekalipun ketiga model ini memiliki kelebihan yang harus disimak baik-baik oleh gereja masa kini, mereka tetap tidak memadai sebagai model kehadiran sosial Kristen di masa kini. Ada baiknya kita memperhatikan kata-kata Hunter dalam merangkum sikapnya terhadap ketiga model ini.
Singkatnya, ketiga paradigma ini menangkap sesuatu yang penting bagi pengalaman, kehidupan, identitas dan kesaksian gereja. Keprihatinan untuk menjadi “relevan bagi” dunia, “bertahan melawan” dunia dan “murni dari” dunia semuanya, dengan cara tertentu, mempercakapkan keprihatinan-keprihatinan alkitabiah yang otentik. Namun keinginan untuk menjadi “relevan bagi” dunia telah sampai pada ongkos mengabaikan perbedaan. Keinginan untuk “bertahan melawan” dunia berakar pada sebuah keinginan untuk mempertahankan perbedaan, namun hal ini telah diwujudkan lewat cara-cara yang, di satu pihak, agresif dan konfrontatif dan, di pihak lain, secara kultural sepele dan tak berdampak. Akhirnya, keinginan untuk menjadi “murni dari” dunia telah menghasilkan sebuah keterbebasan dan penarikan-diri dari kehadiran aktif di wilayah-wilayah yang luas dari kehidupan sosial. Semuanya ingin menghadapi dunia secara imani, namun semuanya mencapai akhir yang meminimalkan ketegangan inheren yang muncul dalam diri orang-orang yang dipangil untuk “berada di dalam dunia namun bukan dari dunia.” (hlm. 223)
Dengan kata lain, perlu dicari sebuah model lain yang bisa menegaskan suruhan Yesus agar kita “berada di dalam dunia namun bukan dari dunia” tanpa terjebak ke dalam selokan yang diciptakan oleh ketiga model sebelumnya. Model keempat yang diusulkan oleh James D. Hunter adalah “kehadiran yang setia” (faithful presence). Sikap ini menegaskan identitas kristiani di tengah keanekaragaman identitas lain, dan menegaskan diri sebagai komunitas eksemplaris yang memiliki watak moral yang kuat, lantas memasuki dunia sebagai pembawa warta indah tersebut, tanpa memiliki pretensi mengambil-alih karya Allah dalam mengubah dunia. Saya percaya, itulah masa depan kekristenan yang perlu kita upayakan pula.
Berikut ini saya akan sampaikan beberapa prinsip dasar dari model kehadiran yang setia (faithful presence):
- Model ini berangkat dari pemahaman bahwa Allah yang mengerjakan seluruh proses perubahan dunia; bukan gereja.
- Gereja hanyalah terlibat di dalam misi Allah tersebut. Gereja bukan pemilik misi.
- Misi Allah tersebut adalah misi dari Allah Tritunggal yang dicirikan oleh relasionalitas tiga pribadi ilahi (relasional), keterarahan Allah pada dunia yang memuncak pada inkarnasi Kristus (inkarnasional), dan pengutusan Kristus dan Roh Kudus oleh Sang Bapa (misional). Gereja harus mencerminkan tiga dimensi itu bersama-sama.
- Misi Allah itu adalah misi kerajaan Allah yang ingin menyemaikan nilai-nilai kerajaan Allah (penciptaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan sebagainya) di tengah realitas dunia kini dan di sini, bukan kelak dan di sana.
- Misi Allah itu ditujukan pertama-tama kepada dunia yang dicintai-Nya, bukan kepada gereja. Itu sebabnya, jika gereja hendak terlibat di dalam misi Allah, gereja harus juga mencintai apa yang dicintai Allah, yaitu dunia—terlepas dari seluruh kuasa dosa yang masih berusaha menancapkan pengaruhnya.
- Gereja hadir di tengah dunia menjadi tanda kehadiran ilahi. Ia merepresentasi Kristus, sekaligus mempresentasi Kristus, bagi dunia. Tugas representasi dan presentasi ini ada inti dari model kehadiran yang setia.
- Keterlibatan gereja di dalam misi Allah menuntut gereja untuk hadir sebagai sahabat bagi dunia, melalui gaya hidup yang mencerminkan kesanggrahan (hospitality) Allah bagi dunia.
Although the world is full of suffering, it is full also of the overcoming of it.
HELEN KELLER
Pdt. Joas Adiprasetya
(Bersambung)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.