Pohon Ara yang Tidak Berbuah Markus 11:13-14,20 menggelar sebuah kisah yang sangat kontroversial serta mengusik nurani: Dan dari jauh Ia melihat pohon ara yang sudah berdaun. Ia mendekatinya untuk melihat kalau-kalau Ia mendapat apa-apa pada pohon itu. Tetapi waktu Ia tiba di situ, Ia tidak mendapat apa-apa selain daun-daun saja, sebab memang bukan musim buah ara. Maka kata-Nya kepada pohon itu: “Jangan lagi seorang pun makan buahmu selama-lamanya!” Dan murid-murid-Nya pun mendengarnya … Pagi-pagi ketika Yesus dan murid-murid-Nya lewat, mereka melihat pohon ara tadi sudah kering sampai ke akar-akarnya.
Drama apa yang sebenarnya sedang terjadi? Yesus mengutuk pohon ara yang tidak berbuah. Kenapa tidak berbuah? Sebab memang belum musimnya. Tidak tahukah Yesus bahwa buah ara itu musiman? Tidak mungkin Dia tidak tahu, karena Dia Mahatahu.
Menyelami Tindakan Yesus
Namun mengapa Dia tetap mengutuki pohon ara itu sehingga tidak akan berbuah lagi untuk selama-lamanya, bahkan kemudian mati mengering? Bukankah ini tidak adil menurut pertimbangan kita. Itu vonis ‘kematian’ abadi. Sangat tidak sepadan dengan ‘kesalahan’-nya, kalau itu pantas disebut sebagai kesalahan. Namun bukannya Tuhan sendiri yang mengatur bahwa pohon ara akan menghasilkan buah pada musimnya? Sedang saat itu sedang tidak musim. Di mana letak ‘kesalahan’ pohon ara itu? Rasa keadilan kita terusik, meskipun perbuatan itu dilakukan oleh Yesus. Ini benar-benar tidak adil. Dihukum tanpa berbuat salah. Dikutuk karena tidak menghasilkan buah yang belum musimnya. Dizalimi …
Bagi yang pernah punya pengalaman diperlakukan tidak adil, dizalimi, pasti tidak sukar memahami hal tadi. Rasa kemanusiaan kita memberontak terhadap setiap ketidakadilan yang terjadi di depan mata kita, terlebih bila hal itu menimpa kita. Banyak atasan, penguasa, orang-orang yang merasa lebih berhak, yang lebih tua, yang lebih terhormat, atau yang punya ‘gerombolan’ dan merasa punya kuasa, merasa bebas melakukan tindakan apa pun terhadap yang lebih lemah tanpa mengindahkan soal keadilan, bahkan kewajaran.
Kembali ke soal pohon ara tadi. Apakah Yesus tidak bijaksana sehingga melakukan ‘keteledoran’ itu? Apakah pohon ara itu tidak akan ‘meratap’ menuntut keadilan, andaikata ia bisa melakukannya? Sungguh sial nasibnya. Kita prihatin terhadap nasib yang menimpanya. Kita menuntut bela atas ketidakadilan yang diterimanya dan yang mengusik hati nurani kita. Inilah bentuk solidaritas yang bisa kita galang untuk menyuarakan keadilan dan meminta kepada Tuhan untuk mendapat pembelaan yang seadil-adilnya. Namun? Bukannya Tuhan sendiri yang melakukannya? Lalu ke mana lagi kita akan menuntut bela dan memohon keadilan?
Bukan Tentang Pohon Ara
Semua perasaan dan tekad itu sangat bisa dipahami ketika perhatian kita hanya tertuju pada konteks dan persepsi bahwa lakon kejadiannya adalah Yesus versus pohon ara. Sangat manusiawi. Namun apakah demikian maksud Yesus? Bagi Yesus, lakon utamanya bukanlah pohon ara, melainkan murid-murid-Nya. Ini bukan soal Dia dengan pohon ara, tetapi soal Dia dengan murid-murid-Nya. Pohon ara hanya digunakan sebagai sarana bagi pengajaran-Nya.
Yesus tidak menginginkan murid-murid-Nya seperti pohon ara yang hanya menghasilkan buah pada musimnya. Berbuat baik, menolong orang lain, menjadi garam dan terang, serta menyaksikan kebaikan Tuhan hanya pada ‘musim’-nya. Hanya ketika hati sedang senang. Hanya ketika jiwa tidak terancam. Hanya jika lingkungan mau menerima dengan baik. Hanya jika keamanan dan kenyamanan terjamin. Bukan itu yang dikehendaki Yesus. Dia mengharapkan murid-murid-Nya tidak menjadi ‘pelayan’ dan rasul musiman. Dalam segala keadaan mereka harus tetap bersedia mengabarkan Kabar Baik yang diberikan-Nya. Bahkan ketika tahu bahwa nyawa adalah taruhannya. Mereka harus siap memberikan pelayanan kapan pun dibutuhkan. Mereka harus senantiasa berbuah meskipun tidak sedang musimnya.
Apa relevansi pesan ini bagi kita, para pengikut Yesus yang hidup di zaman ini? Perintah dan ketetapan-Nya tidak pernah berubah, baik dulu, kini, maupun nanti. Yesus tidak ingin kita menjadi anak-anak Tuhan yang ‘musiman’. Hanya berbuat baik, menolong orang lain, menyaksikan kebaikan Tuhan pada saat kita senang, beruntung, atau sedang bersukacita. Benar-benar pada ‘musim’-nya. Apalagi jika motivasi kita hanya supaya kelihatan baik, mendapat penghargaan dan sanjungan dari orang lain, menunjukkan perilaku mulia agar orang lain terkesan sehingga kepentingan kita bisa segera dipenuhi. Itu bukan lagi musiman tapi malah ‘karbit’-an. Hal-hal seperti itu dinilai Yesus seperti pohon ara yang menghasilkan buah ‘hanya’ pada musimnya.
Berbuah Meski Tidak Musimnya
Kepada umat-Nya, Yesus menuntut untuk selalu menghasilkan buah sekalipun tidak pada musimnya. Karunia-karunia yang dicurahkan bagi anak-anak-Nya didesain untuk mampu mengatasi hal-hal yang ‘tidak musiman’ itu. Mampukah dalam kekalahan, kita tetap membawa damai dan sukacita? Mengapa tidak? Kekalahan apa yang lebih besar dari kekalahan kita terhadap dosa yang membawa maut? Dan akibat apa yang bisa kita derita dari sebuah kekalahan melebihi kematian abadi sehingga ‘terpisah dari Allah’? Semua itu sudah terjadi, kita alami, dan sudah berlalu dalam perjalanan hidup kita saat kita mengenal, menerima, dan diselamatkan oleh Yesus Kristus. Kemanusiaan kita yang dikuasai oleh dosa sudah mati dan dikuburkan bersama kematian Yesus di kayu salib. Sekarang kita adalah ciptaan baru yang dibangkitkan bersama kebangkitan Yesus pada Hari Paska yang membawa kemenangan atas dosa dan maut itu. Jadi hal apa lagi yang cukup menjadi alasan bagi kita untuk tidak ‘berbuah’ karena bukan musimnya? Kita bukan lagi seperti pohon ara yang menghasilkan buah secara musiman. Kita telah diubahkan menjadi pohon penghasil buah sepanjang tahun.
Tidak lagi merupakan alasan yang valid bagi kita bahwa hanya karena kita rugi berdagang, kalah kontestasi, putus dengan pacar, gagal menjadi juara, kecewa dengan seseorang, tidak dihargai dan diterima ide serta gagasan kita, sedang sakit, kurang mendapat penghargaan, ataupun hal-hal buruk lain yang menimpa kita, lalu kita undur dari pelayanan, berhenti menjadi penolong orang lain, menyesal dan tidak lagi mau berbuat baik, enggan bahkan menolak memberitakan serta menyaksikan kebaikan Tuhan. Apakah itu musim ‘tidak berbuah‘ kita? Seperti pohon ara yang dijumpai Yesus dan murid-murid-Nya? Kisah di atas tidak berhenti pada peristiwa pohon ara yang tidak berbuah karena belum musimnya saja. Kisah itu masih berlanjut cukup panjang dan membawa sebuah konsekuensi yang lebih panjang pula.
Terus Berbuah atau Mati
Yesus mengutuki pohon yang tidak menghasilkan buah itu untuk selamanya tidak berbuah lagi. Menjadi pohon yang mandul. Pohon yang hanya hidup tetapi tidak menghasilkan karya kehidupan apa-apa. Dan ternyata keesokan harinya pohon itu mati, kering sampai akar-akarnya. Tidak saja tidak berguna lagi, tapi bahkan mati kering dan tak terselamatkan. Yesus tidak menginginkan kita seperti itu. Jika menjadi saksi kebaikan Tuhan hanya pada musimnya, sesuai suasana hati dan keputusan akal yang bertujuan tertentu, maka sangat bisa jadi kita akan dibiarkan untuk tidak menghasilkan karya kehidupan lagi. Sepertinya tidak ada yang tanggung ketika berurusan dengan Tuhan dalam menghasilkan buah-buah yang menyaksikan kebaikan-Nya. Senantiasa berbuah walaupun tidak pada musimnya, atau tidak usah berbuah saja selamanya. Pilihannya hanyalah: mengalami kehidupan yang penuh kemenangan dan syukur walaupun kondisi sedang tidak menguntungkan atau menyenangkan, atau mengalami kematian rohani dalam ketenangan tidak berbuah—meskipun sedang dilimpahi berkat—dan secara perlahan mengering menuju kematian abadi, terhilang dan terpisah dari Allah selamanya. Tanggung berarti tidak bersikap tegas, masuk dalam barisan tapi tidak melakukan kewajiban, hal ini akan membawa akibat yang fatal seperti Firman Tuhan dalam Wahyu 3:16, “Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku”. Diludahkan. Yang tadinya dipilih, menjadi tidak dikehendaki lagi. Dibuang dari kumpulan yang hidup. Dipisahkan dari komunitas rohani yang bergaul dengan Allah. Apakah kita berani membayangkannya?
Bagaimana Bisa Terus Berbuah
Bagaimanakah kita bisa menghasilkan buah meski tidak musimnya? Mampu berbagi sukacita dan kasih setiap saat, sekalipun dalam kondisi terpuruk dan sangat rawan. Kemanusiaan kita memang tidak memungkinkannya, tapi bersama Yesus kita akan mampu melakukannya, seperti yang dikatakan di Yohanes 15:5: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barang siapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
Jangan menjadi manusia yang menyandang predikat ‘ars brevis vita longa’, hidup panjang namun hanya mampu berkarya sedikit dan dalam waktu yang pendek. Tidak produktif. Teladanilah Yesus yang mendapat predikat ‘ars longa vita brevis significado’, mampu berkarya besar secara signifikan, berefek panjang dan kekal dalam hidup-Nya yang singkat.
Tuhan memberkati.
Sujarwo
2 Comments
Lukas Eko Sukoco
Juni 4, 2020 - 3:42 pmSangat Inspiratif. Bagus.
Lukas Eko Sukoco
Juni 4, 2020 - 3:43 pmbagus…
inspiratif banget