“Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” (ay. 33). Itu pertanyaan yang Yesus ajukan ke para murid. Kedua orang ini sontak terdiam dan tak bisa menjawab, sebab mereka sebenarnya sadar bahwa percakapan mereka di sepanjang perjalanan itu tak pantas dilakukan. Bayangkan! Baru saja Yesus mengatakan bahwa diri-Nya akan menderita dan bahkan mati, para murid justru membicarakan siapa yang terbesar di antara mereka. Bukan saja yang mereka bicarakan “berbeda” dari yang diucapkan Yesus, malah “berlawanan!” Yesus mengajarkan gerak turun dan berkorban dari diri-Nya, para murid memperdebatkan gerak naik dan berkuasa.
Tentu saja, bukan para murid yang aneh, melainkan Yesuslah yang aneh. Tidak aneh bagi budaya umum untuk mempercakapkan siapa yang paling berkuasa dan yang berhak menjadi pemimpin. Justru Yesus yang aneh. Semua orang menghendaki Dia menjadi Mesias-Raja yang naik dan berkuasa; Yesus justru menandaskan bahwa Mesias justru menjadi hamba yang dihina dan direndahkan.
Setepatnya, itulah wajah Kerajaan Allah. Sang Raja hadir di dalam kehinaan dan penderitaan. Kerajaan Allah adalah kerajaan yang sungsang dan terbalik (upside down). Ia menjungkirbalikkan nilai-nilai normal dalam budaya umum. Itu sebabnya, alih-alih menampilkan pemimpin necis yang mempesona sebagai model, Yesus justru menampilkan seorang anak kecil sebagai model kepemimpinan yang rela merendahkan diri (ay. 35-37).
Karena itu, apakah kita mengizinkan berita Kerajaan Sungsang itu mengganggu cara berpikir kita yang “normal” ini? Apakah kita memberi diri melewati jalan sepi perendahan diri, karena kita mengikuti tapak-tapak Kristus Sang Mesias-Hamba dan Mesias-Sahabat itu?
ja
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.