PESAN PASTORAL TERKAIT AKSI TEROR TERHADAP GEREJA-GEREJA DI SURABAYA  

“Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat”(Yoh 17:15)

Kita kaget, hati kita tersayat, nurani kita menjerit karena terjadi pengeboman di beberapa gereja di Surabaya. Padahal, kita baru saja merasa “lega” sebab kerusuhan di Mako Brimob yang dilakukan napi terorisme bisa diatasi pada hari kamis, 10 Mei 2018.

Di antara beberapa gereja yang mengalami pengeboman adalah GKI Diponegoro Surabaya. Dalam peristiwa itu seoraang Penatua, lima orang anak yang penerima beasiswa dari GKI Diponegoro, dan seorang petugas keamanan gereja menjadi korban luka. Kelima orang anak dan seorang Penatua sudah diizinkan pulang dan kembali ke rumah, sedangkan petugas keamanan gereja, yang mengejar pembawa bom agar tak masuk ruang gereja, mengalami luka berat karena bom meledak saat dia menarik sang pelaku bom bunuh diri. Petugas Keamanan Gereja, sang pahlawan itu, sudah menjalani operasi dan masih dirawat di Rumah Sakit.

Terkait dengan hal tersebut, ijinkan BPMS GKI menyampaikan beberapa hal:

  1. Kita berduka cita dan berempati untuk para korban dan keluarga. Kita berdoa agar tragedi yang dialami dapat dilewati dengan kekuatan Tuhan. Kami menghimbau agar umat bersama-sama meringankan duka cita yang dirasakan keluarga.
  2. Tindakan teror tidak dibenarkan oleh masyarakat Indonesia, dari suku dan agama mana pun. Tindakan teror karenanya, tidak bisa diterima, apa pun dasar dan tujuannya. Terorisme merendahkan keluhuruan agama yang pada hakekatnya merupakan sumber kasih dan perdamaian. Karena itu, BPMS mendorong jemaat-jemaat GKI untuk bergandengan tangan dengan seluruh komponen masyarakat Indonesia, untuk bersama-sama melawan terorisme.
  3. Membunuh korban bukan tujuan akhir dari terorisme. Mereka meneror supaya muncul ketidak-percayaan sosial, sehingga masyarakat Indonesia akan terpecah belah dan lemah. Karena itu, kita perlu mempererat kohesi sosial dan menjadikan tragedi kemanusiaan ini sebagai momentum untuk meningkaatkan persatuan, mewujudkan komitmen kita dengan semakin nyata untuk menjaga NKRI yang kita cintai.
  4. Terorisme bertujuan untuk menyebar rasa takut. Kita perlu tetap tenang dan percaya kepada kuasa Tuhan yang menjaga bangsa kita. Rasa takut adalah anugerah, namun kita tidak boleh membiarkan rasa takut mengendalikan sikap dan tindakan kita. Karena itu, kita tidak perlu reaktif dan emosional, lalu secara spontan menyebarkan foto, video, melalui media sosial. Tindakan itu sama artinya dengan menyebarkan teror.
  5. Terorisme juga ingin membuat pemerintah dan aparat keamanan tidak lagi dipercaya masyarakat. Kita perlu mendoakan dan mendukung pemerintah dan aparat keamanan untuk bisa menindak tegas para teroris, sesuai dengan hukum yang berlaku.
  6. Aksi teroris yang secara serentak terjadi membuktikan bahwa sel-sel teroris hidup dan mungkin sudah berkembang di banyak tempat di negeri ini. Bersama dengan segenap komponen masyarakat, kita perlu bekerja sama dengan pemerintah dan semua agama untuk mengurangi radikalisme, yang dalam wujudnya yang awal adalah sikap intoleransi.
  7. Kita percaya, Tuhan melindungi kita dari pada yang jahat (Yoh 17:15). Karena itu, kita tidak akan kalah lalu berubah menjadi jahat hanya karena mereka berbuat jahat kepada kita. Kita perlu mengalahkan kejahatan dengan kasih, persaudaraan, perdamaian, yang perlu terus kita wujudkan dalam hidup bergereja, bermasyarakat dan bernegara.
  8. Kita bersama-sama menyerukan agar Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, dapat segera mengeluarkan Paraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Anti Terorisme.

Jakarta, 13 Mei 2018,

Pdt. Budi Cahyono Sugeng
Ketua Umum

Pdt. Arliyanus Larosa
Sekretaris Umum

Video GKIPI