Jawab orang itu, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Lukas 10:27)
Cinta itu akan teruji bukan pada keadaan yang mudah, namun justru pada saat yang sulit. Saat situasi masih dalam keadaan yang nyaman dan aman, mencintai akan mudah dilakukan. Namun bagaimana jika situasi berbalik menjadi tegang dan sulit, apakah cinta itu akan tetap teguh berdiri?
Yesus dengan tegas memberikan pengajaran mengenai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Kita begitu mudah mengingat hukum kasih itu. Namun apakah hukum kasih itu sungguh teruji dalam kehidupan kita? Jika kita menempatkan diri di dalam kisah perumpamaan orang Samaria yang murah hati itu, posisi mana yang sering kita ambil? Apakah kita berada di posisi seorang imam dan seorang Lewi: dua orang yang tahu persis hukum kasih namun melewatkan sesamanya manusia yang terluka dan butuh pertolongan itu? Atau pada posisi orang Samaria yang mau menolong?
Sayangnya, kebanyakan orang lebih sering memikirkan alasan apa yang nyaman dalam mengasihi orang lain. Akhirnya kasih itu menjadi semakin bersyarat. Yesus memberikan teladan dalam diri seorang Samaria: seorang asing yang sering dianggap kafir itu. Orang Samaria itu turun menghampiri sesamanya yang terluka, membalut lukanya, membopongnya, hingga menjamin perawatannya sampai sembuh. Inilah cinta yang tanpa syarat dan murni teruji: cinta kepada Allah yang teruji dalam cinta pada sesama manusia. Cinta seperti inilah yang perlu kita lakukan seperti apa yang Yesus katakan, “Pergilah dan perbuatlah demikian!” [Pdt. Daniel Kristanto Gunawan]
REFLEKSI:
Jika kita mencintai Allah dengan segenap hati, hal itu tidak bisa dilepaskan dari cinta kepada sesama manusia dalam segala situasi.
Ayat Pendukung: Rut 2:10-14; Mzm. 146; Luk. 10:25-37
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.