“…. melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Filipi 2:7
Pada suatu hari Konfusius, seorang filsuf yang terkenal, menempuh perjalanan jauh menyeberangi padang gurun bersama beberapa muridnya. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari akhirnya persediaan air minum habis, sehingga mereka semua berjalan dengan lemah dan gontai.
Suatu ketika salah seorang dari muridnya menemukan ceruk kecil di bawah batu-batuan yang berisi genangan air yang dangkal. Dengan segera murid itu mengambil mangkuk nasinya, dan dengan susah payah hanya mampu menyedok sebanyak setengah mangkuk saja. Ia lalu mengantarkan air dalam mangkuk itu kepada gurunya,
Ketika Konfusius menempelkan mangkuk itu ke bibirnya, ia merasa semua mata muridnya memandangnya. Ia tidak jadi meminum isi mangkuk itu, malahan menuangnya ke pasir gurun yang panas sambil berkata, “Air ini terlalu sedikit untuk kita semua, dan terlalu banyak untuk satu orang saja. Mari kita lanjutkan perjalanan ini.” (dari buku Champion)
Sebagai seorang pemimpin, Konfusius dapat menjalin persahabatan yang sangat indah dengan para muridnya, oleh karena dia—seperti Tuhan Yesus—telah menggunakan kelenturan sikapnya. Yesus Kristus, yang sebenarnya berhak menghukum perempuan yang tertangkap basah karena berzinah, ternyata membebaskannya dengan berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yohanes 8:11).
Jadi Yesus Kristus dalam kelenturan-Nya itu telah bersikap sebagai seorang pemimpin yang tegas, dan seorang sahabat yang membela dengan penuh belas kasih. Walau sebagai yang berwenang Dia boleh saja menjatuhkan hukuman, tapi Dia telah mengosongkan diri-Nya, menjadi seorang sahabat yang penuh dengan pemahaman terhadap wanita yang diperlakukan dengan tidak adil itu. Mengapa laki-laki yang berzinah dengan wanita itu tidak ikut diseret bersamanya? Siapa tahu bahwa justru wanita ini telah termakan oleh bujuk rayunya.
IN JESUS THE SERVICE OF GOD AND THE SERVICE OF THE LEAST OF THE BRETHREN WERE ONE.
(Dietrich Bonhoeffer)
Ketika Yesus Kristus mengosongkan diri-Nya, kita tidak boleh memandang biasa-biasa saja karena hal itu sungguh sangat dahsyat bagi-Nya. Dia sedang menanggalkan kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah dan memasuki keadaan sebagai manusia biasa. Ini adalah kerendahan hati yang paling dalam.
John Bunyan (1628-1688) berkata, “Orang yang berada di bawah tidak perlu merasa takut terjatuh. Orang yang rendah hati tidak takabur atau arogan. Jika orang merendahkan diri, maka ia akan memperoleh Tuhan sebagai penuntun hidupnya!”
Kata-kata John Buyan ini sesungguhnya ditujukan kepada kita, apakah sebagai seorang pendeta dan penatua, atau sebagai seorang anggota jemaat biasa, apakah sebagai seorang pemimpin atau orang yang dipimpin. Jika kita mengutamakan sikap rendah hati maka kita akan memperoleh Tuhan sebagai penuntun hidup kita!
Dalam kerendahan hati-Nya Yesus makin dapat memberikan tuntunan dalam hidup kita. Semua yang letih lesu dan berbeban berat diberi-Nya kelegaan (Matius 11:28). Yang sedang dilecehkan dan disingkirkan, akan diundang-Nya untuk beroleh kesembuhan dan keselamatan (Markus 10:52). Pemuda Nain yang sudah mati dibangkitkan dan diserahkan kepada ibunya (Lukas 7:15). Dan masih ada begitu banyak peristiwa yang menunjukkan kepada kita betapa dengan kerendahan hati-Nya Yesus Kristus memimpin umat-Nya, dan dengan semangat persahabatan Dia melayani. Semua itu yang membuat misi keselamatan-Nya berhasil. Tentu saja kita boleh mengatakan, “Hanya karena kasih-Nya!” Tujuan-Nya yang mulia itu telah membuat seluruh kehidupan-Nya menjadi bermakna.
PURPOSE IS WHAT GIVES LIFE A MEANING.
(C.H. Parkhurst)
Namun tahukah Saudaraku bahwa Yesus Kristus tidak sedang menyapa angin atau benda mati? Pada saat ini, melalui perenungan ini, Dia sedang menyapa kita, pribadi demi pribadi. Setelah mengetahui semua ini maka kita dipanggil untuk meneladan sikap hidup-Nya. Semboyan-Nya, adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.
Adalah lebih berbahagia menjalankan kepemimpinan yang melayani dan bersahabat kepada sesama manusia, daripada hanya mau terus-menerus dipimpin dan dilayani. Marilah kita menjadi anak-anak Tuhan yang makin dewasa dalam iman dan pelayanan. Bagi anak-anak Tuhan yang menuju ke arah kedewasaan iman, Tuhan juga pasti menyediakan berkat khusus yang membahagiakan.•
» Pdt. Em. Daud Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.