Ada sebuah legenda dalam kitab Talmud yang amat menarik dan relevan bagi kita. Alkisah rabi Yosua ben Lewi menemui nabi Elia yang sedang berdiri di depan sebuah gua. Ia bertanya:
“Kapankah sang Mesias datang?”
“Tanyakan sendiri kepadanya,” jawab Elia.
“Di manakah dia?”
“Ia ada di pintu gerbang kota.”
“Bagaimanakah saya dapat mengenalinya?” Tanya rabi Yosua lebih lanjut.
“Ia duduk di antara orang-orang yang miskin dan penuh luka. Orang-orang yang lain membuka semua balutan luka-luka mereka, kemudian membalutnya lagi. Tetapi sang Mesias membuka balutan lukanya sendiri kemudian membalutnya lagi satu persatu, sambil berkata kepada dirinya sendiri: ‘Dengan begini, bila aku dibutuhkan, aku bisa selalu siap untuk memberikan pertolongan, tanpa perlu membuang waktu.’
Rabi Yosua ben Lewi kemudian menemui sang Mesias di pintu gerbang kota.
“Damai sejahtera bagimu, wahai panutanku dan guruku.”
Sang Mesias menjawab: “Damai sejahtera juga bagimu, wahai putra Lewi.”
“Kapankah sang Mesias datang?” Tanya Rabi Yosua ben Lewi.
“Hari ini.”
Rabi Yosua kembali menemui nabi Elia, yang segera bertanya kepadanya: “Apakah yang dikatakannya kepadamu?”
“Ia membohongiku. Ia berkata: ‘Hari ini Aku datang.’ Padahal ia tidak datang.”
Nabi Elia berkata: “Inilah sebenarnya yang hendak dikatakannya kepadamu: ‘Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya…!’” (Mazmur 95:7)
Itulah perbedaan yang mendasar antara imam Eli dan Samuel dalam 1 Samuel 3:1-15.
Samuel muda mulai magang pada imam Eli pada masa Israel sedang paceklik firman dan penglihatan-penglihatan dari Tuhan. Saat itu imam Eli telah renta bahkan kabur mata. Tak berdaya bahkan tak dapat melihat dengan jelas. Inikah sebabnya mengapa ia tidak lagi dapat mendengarkan firman Tuhan dan mempunyai visi sebagai imam Tuhan di Silo?
Menurut narasi 1 Samuel 3 ini tidaklah demikian. Imam Eli sendirilah yang sebenarnya mengalami paceklik firman dan visi dari Tuhan. Ialah yang tak berdaya mendengarkan sapaan Tuhan yang mengingatkannya akan segala perbuatan anak-anaknya, Hofni dan Pinehas, yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Ialah juga yang tidak mau melihat dengan mata jujur apa yang dilakukan oleh anak-anaknya itu, sehingga ia tidak mampu menegur mereka sebagai ayah dan sebagai imam Tuhan.
Ini mengingatkan saya pada apa yang pernah terjadi ketika Indonesia dan banyak negara di Asia dilanda krisis moneter, sekitar tahun 1998. Saat itu saya masih tinggal di Belanda. Setiap hari kami mendengarkan berita tentang keadaan di tanah air dengan hati terkoyak dan cemas. Ketika kami sibuk memikirkan bagaimana caranya menolong teman dan saudara yang membutuhkannya, ada teman-teman asal Indonesia yang memanfaatkan situasi di Indonesia itu untuk memperkaya diri.
Cukup banyak dari antara mereka yang pergi ke Indonesia membawa uang Gulden banyak-banyak, yang saat itu amat tinggi kursnya. Mereka berbelanja properti yang pada waktu itu banyak dijual dengan amat murah karena banyak orang sangat membutuhkan uang tunai. Sedangkan yang tidak mampu berbelanja properti, mereka menggunakan uang mereka dengan cara lain yang lebih murah namun tetap menguntungkan. Misalnya ada yang lalu bekerja sama dengan petugas yang korup, membeli berton-ton beras murah yang sedianya dikirimkan ke daerah-daerah untuk membantu warga masyarakat yang berkekurangan. Entah bagaimana mereka kemudian dapat menjualnya dengan harga biasa di Jakarta. Menurut beberapa orang yang melakukannya mereka mendapatkan keuntungan minimal 125 persen.
Ini seharusnya mengingatkan kita juga pada keadaan di sekitar kita saat ini. Tahukah kita berapa jumlah orang miskin di Indonesia sejak harga BBM naik? Tahukah kita berapa jumlah orang yang menderita AIDS dan tertular virus HIV di negeri kita saat ini? Tahukah kita berapa banyak daerah di Indonesia yang saat ini dilanda dan terancam banjir? Sadarkah kita apa saja yang akan diderita oleh warga masyarakat di daerah-daerah itu akibat banjir? Tahukah bahwa selain di daerah-daerah, di wilayah Jakarta terdapat orang-orang yang menderita busung lapar? Bila pemerintah jadi menaikkan tarif dasar listrik, sadarkah kita akan akibatnya bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah?
Barangkali kita tidak tahu persis angka-angkanya. Tetapi mestinya kita secara garis besar mengetahuinya. Tetapi apakah yang kita lakukan dalam situasi ini? Tetap menjalani kehidupan kita seperti biasa, bekerja, makan, minum, belanja dan tidur dengan nikmat seolah tidak terjadi apa-apa? Bila demikian maka seperti Eli kitapun sedang mengalami paceklik firman dan visi dari Tuhan. Dan mestinya kita belajar dari Samuel.
Samuel muda yang sedang magang itulah yang justru dapat mendengar suara Tuhan yang memanggil namanya. Dan Samuel belajar, – ironisnya dari imam Eli yang renta dan kabur mata itu,– bahwa suara itu adalah suara Tuhan. Tuhan yang menyapanya dan memanggilnya. Samuel lalu juga belajar untuk sungguh-sungguh mendengarkan Tuhan dengan membuka diri kepada-Nya, membuka diri pada apapun yang dikehendaki-Nya darinya. Yang kemudian amat menarik adalah bahwa dalam ayat 15 pengalaman Samuel mendengarkan sapaan Tuhan itu disebut sebagai “penglihatan” (RSV & KJV21: vision).
“… Samuel segan memberitahukan penglihatan itu kepada Eli…”
Seraya mengerdipkan matanya sang narator hendak mengatakan ini kepada kita, para pembaca kisah pemanggilan Samuel menjadi nabi Tuhan ini: “barangsiapa mendengar dengan baik, maka ia akan dapat melihat sesuatu”. Barangsiapa membuka telinga kepada Tuhan, maka ia akan memperoleh penglihatan. Barangsiapa benar-benar mendengarkan firman Tuhan, maka ia akan mendapatkan visi. Barangsiapa sungguh-sungguh mendengarkan Tuhan, maka ia akan menyaksikan perbuatan-perbuatan tangan Tuhan serta memahami kehendak-Nya baginya.
Pada imam Eli kepekaan mendengarkan firman Tuhan ditumpulkan oleh pengejawantahan kasih yang bias terhadap anak-anaknya. Akibatnya ia hanya mendengar apa yang ingin didengarnya dan melihat apa yang ingin dilihatnya. Bukan apa yang Tuhan ingin ia dengar dan lihat. Pada Samuel yang sebaliknya terjadi:
“Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar…” (ayat 10)
Kata-kata ini tidak hanya sekali itu diucapkan Samuel, tetapi terus diulangi dan dipeganginya di sepanjang hidup mengabdi Tuhan melayani umat Israel sebagai nabi Tuhan. Itu sebabnya Samuel selalu mempunyai visi yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Mulai dari ketika menggantikan imam Eli memimpin umat Israel, mengurapi dan mendampingi raja Saul, hingga mengurapi Daud untuk menggantikan Saul sebagai raja Israel.
Kata-kata yang sama seharusnya juga terus-menerus kita ulangi dan pegangi di sepanjang hidup kita mengabdi Tuhan melayani sesama. Berarti dalam berbagai situasi kehidupan, dalam berbagai kesempatan perjumpaan dengan sesama kita, dalam berbagai saat pengambilan keputusan; kecil-besar, biasa-penting.
Namun jangan kiranya dilupakan kata kunci dari ini semua, yaitu: kepekaan. Kepekaan untuk mengenali kehendak Tuhan dalam berbagai situasi kehidupan serta melakukannya.
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
1 Comment
bibit sudibyo
Februari 17, 2011 - 7:23 ampak pdt, sugeng enjang!
KE PEKA AN : Apakah kepekaan zaman sekarang , semestinya sama dg zamannya Eli / Sam ?? artinya , bisa mendengar panggilan atau suara TUHAN, langsung? Adakah diantara kita (yg tergabung di GKI PI, khususnya) mempunyai kepekaan seperti itu??
Atau apakah KEPEKAAN mendengar suaranya zaman skrg sudah lain ‘bentuknya’?
Atau memang kita semua sudah ‘tuli’ untuk mendengar SUARA-NYA (jujur), sehingga ….. jauh dari HADIRAT-NYA??
Atau bahasa kitab suci itu memakai bahasa ‘manusia’ sehingga suara TUHAN di pakai kata se-hari2 yaitu ‘mendengar’ yang mungkin ‘mendengar’ disini dalam artian lain, bukan mendengar dari telinga??, tapi (mungkin) kata hati atau . . . .
LAstly, apakah KEPEKAAN itu bisa/ harus dilatih ntuk semua orang, atau hanya orang2 tertentu aja / hamba2NYA seperti Eli waktu itu??
TERAkhir : maaf klo bahasanya atau kalimatnya susah dimengerti, maklum orang awam, ya??!!