NATAL KU NATAL TUHAN KU

Belum ada komentar 181 Views

Beberapa minggu sebelum Hari Natal, Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat agar merayakan Natal dan pergantian tahun dengan tidak bermewah-mewah, melainkan secara sederhana. Tentunya kita dapat saja berasumsi bahwa yang diimbaunya adalah masyarakat umum, atau siapa pun yang biasa merayakan pergantian tahun dengan meriah dan mewah di hotel-hotel bintang lima.

Namun bila kita bersedia jujur terhadap diri kita sendiri, tidak jarang kita, orang-orang percaya, merayakan Natal secara berlebihan. Bahkan kalau bisa sebesar, semewah, semegah dan seindah mungkin. Bukankah kita hendak merayakan kedatangan sang Raja dunia, sang Mesias, sang Juru selamat hidup kita, begitu biasanya dasar pemikirannya.

Namun di balik itu semua, kita mesti berani bertanya kepada diri kita sendiri, apakah memang itu alasan utamanya. Tidakkah orang lain, termasuk Presiden Joko Widodo, bisa melihat betapa perayaan-perayaan Natal kita cenderung besar-besaran, mewah, dan jauh dari sederhana? Lagi pula, tidak sedikit orang yang mendapat kesan bahwa perayaan Natal kerap kali digelar sebagai semacam “show of force”. Oleh sebab itu pertanyaan berikutnya kepada diri kita sendiri adalah, cerminan apakah kecenderungan bermegah-megah ini? Lalu pertanyaan yang paling dalam serta menentukan adalah, apakah cara merayakan Natal seperti ini yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri?

Teks Alkitab yang menjadi dasar dari tema seluruh rangkaian Natal jemaat kita, GKI Pondok Indah pada tahun 2015, adalah Yesaya 9:2-7. Gambaran dari teks itu memang luar biasa, bahkan indah, menyejukkan, serta ideal. Memang bila kita hanya memerhatikan perikop kita, maka isinya adalah kabar baik: janji, bahkan realisasi pembebasan dan penyelamatan yang didamba-dambakan umat Israel.

Namun bila kita mencermati beberapa pasal sebelum dan sesudah pasal 9, maka jelaslah kiranya bahwa pasal 9 adalah janji pembebasan dan keselamatan dari Tuhan, hanya bila Israel taat kepada Tuhan. Taat berarti bergantung hanya kepada Tuhan dan tidak kepada kuasa atau kekuatan manapun.

Juga tidak kepada kuasa dan perlindungan bangsa-bangsa yang menurut perhitungan manusiawi umat Israel akan sanggup melindungi dan memberikan rasa aman kepada mereka. Sesungguhnya bangsa-bangsa itu takkan berdaya di hadapan Tuhan. Dan Tuhanlah satu-satunya yang dapat melindungi Israel. Tuhanlah satu-satunya yang dapat memberikan Israel rasa aman yang sejati.

Tetapi berbagai peringatan Tuhan kepada umat-Nya, yang disampaikan oleh nabi-nabi-Nya, tak dihiraukan. Israel bergeming. Israel lebih percaya kepada pertimbangannya sendiri. Israel menggantungkan harap dan nasibnya kepada bangsa-bangsa besar yang diyakininya dapat melindunginya dan memberikan rasa aman kepadanya. Dan akhirnya Israel, umat Allah itu, berpaling kepada bangsa Mesir, untuk memohon pertolongan dan perlindungan atas ancaman Babel dan Asiria.

Maka, gambaran pembebasan dan penyelamatan Allah di dalam perikop kita langsung digantikan oleh hukuman Tuhan, yang menjadi nyata lewat bangsa-bangsa yang menjadikan Israel sebagai bangsa jarahan dan jajahan. Israel direnggut dari akar mereka, dijauhkan dari Yerusalem dan Bait Allah yang kudus. Mereka tinggal di tanah asing, meratapi tanah air dan Yerusalem nun jauh.

Kabar pembebasan dan keselamatan disampaikan, untuk disambut dengan semestinya. Oleh karena itu, kabar itu dapat merupakan batu sandungan untuk mengingatkan yang bersangkutan untuk mengarahkan segenap hati, cipta dan diri pada percaya dan ketaatan kepada Tuhan. Bila kabar itu tidak dihiraukan, maka ia akan menjadi berita penghukuman. Namun bila ia disambut dengan percaya dan ketaatan, ia akan menjadi bak air sejuk di padang gurun kehidupan.

Menantikan kedatangan Tuhan tidaklah persis sama dengan menantikan Hari Natal dengan segala ingar-bingar, gemerlap hadiah dan jamuan yang meriah. Itu adalah natal kita sendiri, yang sesuai dengan dambaan hati dan selera diri. Natal yang hanya indah dalam sekejap, dan akan luntur kemilaunya, begitu kita kembali memasuki hari-hari kelabu dan keras dari kehidupan kita sesudah Hari Natal.

Natal Tuhan adalah Natal sang Juru Selamat yang berbela rasa kepada dunia dan orang-orang papa dan berdosa. Natal yang tak mungkin ditemui dalam perayaan besar-besaran di Gelora Bung Karno, atau di ballroom hotel berbintang lima. Sebaliknya ia adalah Natal yang menghibur mereka yang berduka, memberi makan mereka yang lapar, menjenguk mereka yang berada dalam penjara dan kamp-kamp pengungsian, memperjuangkan hak-hak orang kecil yang didiskriminasi oleh sistem peradilan, mendamaikan pihak-pihak yang berperang. Natal Tuhan adalah Natal bagi dunia dan segenap umat manusia.

Natal Tuhan adalah kabar baik yang menempatkan kita juga pada pilihan, apakah menyambutnya sebagaimana yang dikehendaki-Nya sehingga kita menerimanya bak air sejuk di gurun, atau tidak. Natal kita mestinya adalah Natal Tuhan. Natal kasih yang tak terbatas bagi segenap ciptaan. Natal yang menempatkan Natal kita dalam kerangka karya-Nya.

Wahai, IA adalah teman kita yang akrab!
IA adalah teman kita semua: para musuh polisi.
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta.
Marilah kita datang kepada-Nya…
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.
(W.S. Rendra: Mazmur Mawar)

| Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...