Konon energi yang diperlukan untuk mengayuh sebuah tongkat golf dan untuk mengayuh sebuah cangkul sama besarnya. Soalnya, mengapa seorang pengusaha kaya lebih suka mengayuh tongkat golf-nya ketimbang mengayuh cangkul, sebaliknya, seorang petani lebih suka mengayuh cangkulnya ketimbang tongkat golf?
1. Motivasi Pelayanan, Apakah Itu?
Motivasi secara mudah diartikan sebagai “corak utama (motif) yang muncul dalam hidup, yang membuat seseorang terdorong melakukan sesuatu.” Motivasi selalu sangkut-menyangkut dengan isi hati seseorang; ia tak tampak, kecuali ditampakkan. Ia tak mudah dikenali, kecuali secara sengaja direfleksikan.
Nah, ketika berbicara mengenai motivasi pelayan kristiani, maka motivasi di sini dipahami sebagai “corak utama yang ada di hati seorang pelayan kristiani yang menjadi daya dorong baginya untuk melakukan sebuah pelayanan.” Secara hakiki prinsip teologis kristiani menegaskan bahwa apapun yang kita kerjakan–termasuk pelayanan kita!–adalah sebuah respons/reaksi atas aksi Allah yang telah menyelamatkan kita dan yang mengundang kita untuk hidup sebagai murid-Nya. Jika kita sepakat dengan prinsip ini, maka di manakah letak motivasi? Motivasi tepat berada di antara aksi Allah dan reaksi manusia. Motivasi adalah daya dorong yang membalikkan arah panah “aksi kasih Allah” menuju “reaksi kasih manusia.”
Dengan demikian, motivasi bisa dilihat dari dua sudut. Pertama, dari sudut Allah, motivasi muncul karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi dan memanggil kita. Kedua, dari sudut manusia, motivasi muncul supaya kita bisa mengasihi dan melayani Allah. Dari sudut pandang yang pertama kita berdoa, “Tuhan, berilah aku motivasi yang benar untuk melayani-Mu!” Dari sudut pandang yang kedua kita berjuang dan berusaha memurnikan motivasi. Secara populer kemudian kita sering mendengar, bahwa motivasi kita melayani adalah dalam rangka mengucap syukur atas anugerah Allah!
Pertanyaan yang segera muncul: Apakah mungkin kita memiliki motivasi melayani yang sungguh-sungguh murni? Jawabnya: Tak mungkin ada. Mari kita secara jujur mengakui betapa kompleksnya hati manusia, betapa rumitnya hidup beriman itu, betapa sukarnya memiliki hati yang murni di hadapan Tuhan. Serohani apapun seseorang, tidaklah mungkin ia memiliki hati yang melulu hanya untuk melayani Tuhan. Pasti ada alasan-alasan lain yang ikut memotivasi pekerjaan pelayanan kita.
Soalnya sekarang ada tiga. Pertama, di mana letak motivasi-motivasi imbuhan itu dalam seluruh kesadaran batin kita? Apakah mereka berada di atas dan malah mengungguli motivasi utama kita? Jika itu terjadi, maka pelayanan menjadi bias dan tercemar. Namun jika tidak, maka bisa diharapkan kita mampu mengontrol semua motivasi imbuhan tersebut. Kedua, sekalipun tetap saja ada motivasi imbuhan lain dalam melayani, apakah mereka pada dirinya dapat dibenarkan secara kristiani? Misalnya, kita melayani karena memiliki motivasi (imbuhan) untuk membina diri lewat pelayanan, atau karena kita ingin membangun gereja kita. Pada galibnya semua itu bukan motivasi yang secara total salah. Motivasi-motivasi itu dapat dimaklumi, bukan dibenarkan! sejauh tidak diutamakan dan tak mengganggu motivasi utama kita. Ketiga, idealnya motivasi kita memang murni sebagai respons syukur kepada Allah, namun jika ternyata ada motivasi lainnya, apakah dalam hidup kita terjadi sebuah proses yang disengaja dan berkelanjutan untuk belajar memurnikan motivasi pelayanan kita atau tidak? Atau kenyataan tersebut dibiarkan begitu saja dan malah dipelihara?
2. Belajar dari Maria dan Yudas Iskariot
Kisah devosi Maria dalam Yohanes 12:1-7 patut dipelajari ketika kita berbicara mengenai motivasi. Dalam kisah tersebut kita melihat dua tokoh drama selain Yesus sebagai tokoh utama, yaitu: Maria dan Yudas. Jika penilaian kita pada kedua tokoh ini hanya ditujukan pada apa yang mereka lakukan secara inderawi, maka jelas tindakan (ucapan) Yudaslah yang baik dan tindakan Maria keliru. Nasihat Yudas jelas amat bijak, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (ay. 5). Sebaliknya, tindakan Maria meminyaki kaki kotor Yesus dengan setengah kati minyak narwastu murni mahal seharga minimal 300 dinar, jelas amat berlebihan dan keliru, karena dapat dilihat sebagai sebuah pemborosan (ay. 3).
1 Dinar senilai upah
pekerja harian. Jika upah
sehari senilai Rp. 30.000,
maka minyak yang tertuang
itu senilai Rp 9.000.000,-
Namun–syukurlah!–Yesus tidak memberikan penilaian hanya atas dasar apa yang dilihat dan didengar; Ia melihat hati yang tak tampak. Singkatnya: motivasi! Maka dengan demikian, ucapan Yudas menjadi salah, walau pada dirinya ucapannya baik, karena dilandasi motif ingin mencuri (ay. 6). Sebaliknya, tindakan pemborosan yang dilakukan Maria menjadi benar, walau sebenarnya berlebihan dan boros. Atau lebih tepat: dibenarkan!
Apakah sebenarnya motivasi Maria? Bacalah ayat 1 kisah ini. Di sana dikatakan begini, “Enam hari sebelum Paskah Yesus datang ke Betania, tempat tinggal Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati.”
Di sini skema supaya-karena muncul dengan jelas. namun selain itu juga muncul hubungan antara ingatan-harapan. Maria memiliki ingatan bagaimana Yesus membangkitkan Lazarus. Peristiwa itu punya dampak baginya. Ia ikut merasakan arti kebangkitan itu. Ingatan itu memunculkan iman pada Kristus. Sebaliknya, berkali-kali Yesus memberitakan bahwa Paskah mendatang adalah momen kematian-Nya. Maria sebagai salah seorang murid tentu acapkali mendengarnya. Itu sebabnya ia punya harapan tertentu kepada Yesus, menjelang hari kematian-Nya (bdk. ay. 7-8).
Enam hari sebelum Paskah… | Yesus sudah menggaungkan kematian-Nya pada saat-saat Paskah Yahudi |
akan datang | supaya | harapan | harap |
Yesus datang ke Betania, | Tempat pelayanan Maria terjadi | kasih | |||
Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati. |
Maria melihat dan ikut mengalami makna kebangkitan Lazarus, kakaknya. |
sudah terjadi | karena | ingatan | iman |
Dan kini, iman-harap dan ingatan-harapan Maria itu menjadi motivasi utamanya menuangkan minyak narwastu mahal dan menyeka kaki kotor Yesus. Tindakan Maria dengan demikian menjadi tindakan kasih (baca: pelayanan) yang dilandasi iman dan harapan (bdk. 1 Kor. 13:13).
3. Beberapa Ciri Motivasi Pelayanan
Dari dua sub-bagian di atas kita akhirnya dapat mengidentifikasi beberapa ciri motivasi pelayanan kristiani.
- Motivasi menunjuk pada alasan yang ada dalam hati;
- Motivasi mengarahkan dana mengontrol tindak pelayanan;
- Motivasi dilandasi dua sisi yang sama penting dan bahkan saling menunjang, yaitu motif iman-harap atau motif karena-supaya;
- Motivasi itu dinamis dan hidup, ia dapat luruh atau bertumbuh;
- Motivasi perlu diungkapkan dengan jelas dalam aksi nyata!;
- Manusia tak mungkin pernah– namun harus selalu berusaha– memiliki motivasi pelayanan yang murni dan benar;
- Yesus lebih mementingkan motivasi daripada aksi.
4. Belajar dari Abraham Maslow
Abraham Maslow, seorang psikolog, pernah menyatakan bahwa motivasi manusia muncul karena adanya kebutuhan yang perlu dipenuhi. Manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut. Untuk itu Maslow membuat skema yang menunjukkan jenjang kebutuhan asasi manusia.
Maslow menjelaskan bahwa secara umum manusia beranjak dari kebutuhan yang terdasar menuju yang teratas. Ketika sebuah kebutuhan secara relatif (tidak mutlak 100% terpenuhi), maka seseorang akan beralih untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Dari kerangka Maslow ini, pelayanan yang benar dengan demikian merupakan perwujudan serta pemenuhan kebutuhan teratas, yaitu aktualisasi diri. Aktualisasi diri tak sama dengan menonjolkan diri, namun lebih berarti menghadirkan diri sebagaimana adanya kita, utuh dan integrated. Pertanyaannya sekarang, “diri” macam apa yang ingin kita hadirkan dalam pelayanan? Dalam hal ini kita meyakini bahwa “diri” yang kita hadirkan adalah “diri” yang sudah dikasihi, diselamatkan dan disapa oleh Allah sendiri. Dengan kata lain, aktualisasi diri adalah sebuah kebutuhan untuk menghadirkan diri kita sebagai respons terhadap karya kasih Allah.
“Diri” di sini bersifat utuh dan integrated, melingkupi keseluruhan aspek hidup (rohani-jasmani). Maka pelayanan memang lantas tak harus melulu bernuansa “gerejawi”. Ia tercemin dalam keseluruhan sendi hidup. Atau dengan bahasa Paulus, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita” (Kol. 3:17; bdk. 1 Kor. 10:31). Jika kita bedah ayat ini maka akan terlihat pola pelayanan semacam ini:
Bentuk & Ungkapan Pelayanan yang Tampak | Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau Perbuatan… |
Keutuhan Pelayanan | …Lakukanlah semuanya itu… |
Dasar & Alasan Pelayanan | …Dalam nama Tuhan Yesus… |
Semangat & Tujuan Pelayanan yang Tak Tampak | ..Sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. |
Soalnya sekarang, apakah pelayanan kita sudah sungguh-sungguh menjadi wujud aktualisasi diri atau sekedar mencerminkan sebuah pelarian atau kompensasi dari kebutuhan level 1-4 di atas? Apakah pelayanan sekedar demi memenuhi kebutuhan makan-minum? Apakah pelayanan sekedar demi mencari rasa aman yang tak didapat di rumah? Apakah pelayanan sekedar demi mencari kasih dan kekasih? Apakah pelayanan sekedar demi keinginan diperhatikan, dihargai dan mendapat kedudukan? Anda sendiri yang bisa menjawabnya! [Joas Adiprasetya]
4 Comments
timoty.shores
April 26, 2010 - 8:44 pmAgaknya berlebihan bila mengatakan Yesus lebih mementingkan motivasi daripada aksi (poin.7), yang Yesus inginkan adalah baik motivasi maupun aksi harus benar,yang selalu ditentang Yesus adalah sikap legalisme dari para ahli kitab dan farisi(Mat.23:1-36) sampai sekarang sikap inipun masih terdapat dalam diri para “pelayan Kristen” dalam memaknai “Pelayanan”…Untuk ini perlu perenungan dari Yeh.36:27 setelah itu secara alami/natural akan keluar dari diri(hati) seorang “Pelayan Kristen” seperti pada Kol.3:17 dan 1Kor.10:31,dan bukan keluar dari hasil intelektualnya
Ng Yong Khiang
April 27, 2010 - 10:22 amSaya merasa pendapat sdr Timoty kabur, karena sekalipun dia menyatakan bahwa motivasi dan aksi harus benar, tetapi ayat-ayat yang dikemukakan (Kor dan Kol) justru mendukung pandangan bahwa motivasi itu yang utama. Saya memahami pandangan sdr Timoty yang ingin meluruskan pandangan di artikel seolah-olah (bisa ditafsirkan) motivasi adalah segala-galanya. Barangkali ada ketakutan bahwa seseorang boleh berbuat apa saja asal motivasi benar. Contoh: motivasi saya adalah ingin membantu dana gereja, tetapi saya korupsi atau mencuri demi hal itu. Itu yang kelihatannya ingin diluruskan. God bless.
Henra Napitupulu
Mei 7, 2010 - 5:25 pmKetika seeorang ingin melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh dan tulus, Roh Kudus lah yang bekerja di dalam dia.
Sepertinya penulis lebih mempertimbangkan sisi manusia ( duniawi ) dengan segala kelemahannya ( motovasi2 ) daripada mempertimbangkan keberadaan Roh Kudus yang nyata yang dikaruniakan Tuhan Yesus sebelum naik ke sorga dan Roh Kuduslah yang membimbing kita khususnya kita yang mengimani Yesus, masih ada sampai saat ini hingga kedatangan Yesus yang kedua kali. Roh Kudus dan Roh Duniawi akan berperang terus menerus dalam hati dan diri seeorang dalam pergumulan selama hidupnya. Jadi yang membedakan orang yang melayani Tuhan adalah Roh yang bekerja dalam dirinya, Roh Kudus atau Roh Duniawi.
Joas Adiprasetya
Mei 20, 2010 - 8:13 amSdr. Henra, thanks untuk responsnya. Saya tidak melihat bahwa perspektif yg saya ambil hanya mempertimbangkan sisi manusia dan segala kelemahannya. Hanya saja, memang, perspektif kita berbeda saja. Thanks.