Orang bilang bahwa dalam mempertimbangkan atau mengalami banyak hal, yang menentukan adalah “suasana hati.” Dalam pengalaman sehari-hari, memang kerap hal itu terjadi. Ketika hari mendung, seorang muda menjadi gelisah bahkan susah hati, makan makanan yang selezat apapun serasa hambar. Apalagi bila yang membuat hati susah adalah sebuah kenyataan yang menusuk perasaan: ingatan pada sang kekasih yang begitu saja meninggalkannya.
Di Barat dikenal istilah winter depression, atau depresi musim dingin. Banyak orang yang tinggal di negeri empat musim, bila musim gugur tiba, mulai gelisah. Ketika angin mulai cenderung bertiup kencang dan daun-daun berguguran, mulailah alam berubah. Dan ketika musim dingin benar-benar tiba, sebagian besar dari mereka larut dalam depresi yang parah. Alam yang kelabu karena hampir setiap pohon tidak berdaun, ditambah suhu yang dingin, mengingatkan mereka pada diri mereka yang sendirian dan kesepian.
Begitu pun murid-murid pada akhir hari Minggu kebangkitan, dalam Lukas 24:13-33. Mereka dalam perjalanan pulang dari Yerusalem ke desa mereka Emaus. Perjalanan yang tidak menyenangkan, menuju ke matahari terbenam, seperti hati mereka yang sedang terbenam, menghadapi berbagai peristiwa hari itu di sekitar Guru dan Junjungan mereka. Dengan masygul mereka bercakap-cakap, tanpa dapat mengingkari perasaan bingung, bahkan putus asa.
Namun benarkah hanya “suasana hati” yang menentukan di situ? Bukankah “suasana hati” seseorang tidak akan berubah kendati keadaan di sekitar membaik? Sebab pada akhirnya yang menentukan adalah sesuatu di balik suasana hati itu, yang menjadi penyebabnya. Di balik kegelisahan dan susah hati si anak muda di atas, bukanlah sekadar sang kekasih yang meninggalkannya, melainkan pertanyaan yang sulit dijawabnya sendiri. Pertanyaan, bahkan kekhawatiran tentang masa depan hidup dan relasinya. Pada banyak orang yang mengalami depresi musim dingin, bukan cuma musim dingin itu sendiri yang menyebabkannya. Penyebabnya kerap kali adalah berbagai pertanyaan yang menghantui. Pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan, kesendirian, bahkan tentang kematian.
Pada kedua murid dari Emaus itu, jelas sebagaimana kemudian ditunjukkan oleh Tuhan sendiri, bukan sekadar suasana senja yang membuat mereka masygul, bingung dan putus asa. Ada sesuatu yang lain yang mengganggu mereka.
Syukurlah Tuhan yang bangkit berkenan menghampiri mereka, bahkan mengiringi mereka dalam perjalanan yang tidak menyenangkan menjelang senja yang kelam. Perjalanan itu pun menjadi semacam perjalanan pastoral, perjalanan pembimbingan, perjalanan yang melegakan dan membebaskan. Karena Tuhan tidak akan membiarkan kekasih-kekasih-Nya dalam keadaan seperti itu. Dan inilah hakikat Paska, yaitu Tuhan yang tidak membiarkan satu pun anak-Nya terasing dari-Nya, apalagi tidak mengenali-Nya.
Mereka tidak mengenali Yesus. Mungkin silau mentari menghalangi mata mereka, karena mereka berjalan menuju matahari yang sedang terbenam. Namun sebenarnya yang menghalangi mereka untuk mengenali Tuhan yang hadir di tengah mereka, adalah diri mereka sendiri. Padahal sebagai murid Yesus Kristus, mereka seharusnya memahami berbagai peristiwa di sekitar Tuhan mereka dengan lebih baik ketimbang orang lain.
Maka Yesus, dengan cara-Nya yang khas, membuka mata kedua murid dari Emaus itu. Dia mengajar dan mengajak mereka untuk melihat rentetan kejadian di sekitar Tuhan mereka dari sudut pandang lain, yang tepat, yaitu sudut pandang Tuhan. Dalam terang itu Yesus pun menyingkapkan kepada mereka makna kedatangan, kematian, dan kebangkitan-Nya, Paska. Paska yang dicirikan oleh penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus, yang adalah bukti dan jaminan bahwa Tuhan mengampuni dan mengasihi anak-anak-Nya.
Dia pun menjelaskan apa yang tertulis dalam Kitab Suci kepada mereka. Bukan hanya untuk membuat mereka mengerti, melainkan juga agar mereka memahaminya dalam terang kehendak dan kasih-Nya, yang nyata dalam diri Tuhan mereka, seperti yang dilakukan-Nya setelah itu ketika Dia memperlihatkan diri kepada semua murid. Dia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci (Lukas 24:45).
Masalah para murid Emaus, bahkan segenap murid Yesus, adalah fokus mereka. Alih-alih berfokus pada segenap peristiwa Kristus, janji-janji-Nya, dan harapan di dalam diri-Nya, mereka memusatkan pandangan mereka yang terperangkap itu pada diri mereka sendiri dan kekhawatiran serta ketakutan mereka. Mereka tak mampu melihat lebih jauh dari itu. Fokus mereka terpancang pada Yesus, Guru mereka yang mati disalib, bukan pada Yesus, Tuhan mereka, yang bangkit. Syukur Tuhan berkenan membuka mata dan pikiran mereka.
Seperti para murid, ada banyak hal yang menghalangi kita berfokus pada Kristus yang rela mati dan bangkit kembali bagi kita. Salah satu di antaranya adalah kecenderungan kita untuk mempunyai ‘gambaran’ tentang Tuhan yang berbeda-beda, sesuai dengan idealisme serta harapan kita sendiri-sendiri. Misalnya, ‘gambaran’ tentang Tuhan yang ada dalam benak kita adalah sekadar Tuhan yang seperti ‘Sinterklas’ membagi-bagikan hadiah sesuai pesanan, atau Tuhan yang tugasnya hanyalah mendengarkan serta mengabulkan doa dan permintaan kita. Tuhan yang menghitung-hitung jasa dan kesalahan kita, serta bertindak sesuai dengan balans kita.
Tak jarang pula Tuhan menurut kita mestinya adalah Tuhan yang hanya berpihak kepada kelompok kita sendiri, orang-orang percaya, karena kitalah yang menurut hemat kita paling layak menikmati hak istimewa itu. Kitalah anak-anak Raja, atau umat Allah, begitu kerap kali penyebutan diri yang kita pakai. Sayangnya bersamaan dengan itu, kita dengan sembrono mengatakan bahwa orang yang tidak seiman, bahkan tidak segereja dengan kita, takkan dipedulikan Tuhan.
Relasi dengan Tuhan sering kali kita praktikkan dengan hanya mementingkan soal-soal rohani dan mengabaikan masalah-masalah kemasyarakatan, atau bahkan sebaliknya. Selain itu fokus kita juga dapat mengalami distorsi oleh berbagai masalah serta kesulitan dalam hidup, penyakit menahun dan terminal, dan banyak lagi. Bahkan distorsi yang sama juga bisa disebabkan oleh keberuntungan dan rezeki.
Maka itu tak heran bila kita pun sulit mengenali, apalagi mengalami kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dia yang senantiasa berjalan bersama kita, di sisi, di belakang, dan di depan kita, tak kita kenali. Kita sibuk dengan berbagai hal lain, sehingga justru yang terutama dalam hidup, kita abaikan.
Syukur seperti kepada kedua murid Emaus, Tuhan juga menghampiri kita dengan berbagai cara yang bisa kita kenali bila kita bersedia “membuka mata dan pikiran” kita. Dia datang dan menunjukkan fokus yang tepat. Fokus pada Kristus yang bangkit pada hari raya Paska. Fokus pada Kristus yang, karena kasih-Nya dan keprihatinan-Nya, rela berkorban, menderita bahkan menyerahkan nyawa, bukan cuma bagi diri kita, atau hanya untuk orang percaya. Dia mengemban kasih dan keprihatinan Allah akan kesejahteraan dunia ini serta segenap umat manusia, anak-anak-Nya. Fokus pada hidup yang berpengharapan di dalam Dia yang bangkit. Sekali lagi harapan itu bukan hanya tentang kita sendiri, melainkan juga menyangkut dan bagi segenap ciptaan, tanpa kecuali. Sebab pada hakikatnya itulah Paska.
Dengan fokus yang tepat, tidak perlu kita terperangkap pada hal-hal yang suram, kelam dan menyedihkan. Senja, bahkan hari mendung, juga indah. Memang ia remang-remang dan akan menjadi gelap. Namun ia menjanjikan hari cerah, dan fajar, hari baru. Musim dingin juga indah. Memang ia kelabu dan dingin. Namun jangan dilupakan bahwa sesudahnya akan datang musim semi yang semarak oleh bunga warna-warni, kemudian musim panas yang hangat. Yang diperlukan adalah fokus yang utuh, tidak berat sebelah, dan tidak berhenti di tempat, melainkan membuka diri pada harapan.
Dengan fokus yang tepat, kedua murid dari Emaus mengenali Tuhan mereka. Kita pun niscaya akan mengenali-Nya pula dalam “perjalanan” kita masing-masing. Perjalanan hidup yang terkadang berat, bahkan kejam. Perjalanan hidup dengan segala liku-likunya, bebannya, masalah dan kesulitannya. Betapa pun Tuhan senantiasa mengiringi langkah kita. Dan kita akan dapat mengenali-Nya!
Oleh karena itu perjalanan hidup kita bukanlah perjalanan ke arah matahari terbenam, yang suram dan kelam, tetapi ke arah matahari terbit, penuh harapan!
Dia datang mengiringi langkah hidup kita.
Dib’rikan-Nya diri, menyemai harapan.
Tangan-Nya t’rus menatang, genggam tangan kita
menyongsong fajar kebangkitan-Nya.
» Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.