Adalah seorang bapak yang bekerja sebagai karyawan dengan penghasilan terbatas. Sejak tahun 2017 ia terus didera keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Mulai dari kisah sakit orangtuanya, lalu membantu menanggung beban ekonomi mertuanya, kemudian ia sendiri menderita sakit pankreas pada tahun 2018, dan tahun ini anak sulungnya meninggal karena COVID. Begitu beruntun kejadian tidak menyenangkan ini dialaminya.
Apakah yang akan Anda pikir dan rasakan bila berada di tempatnya? Betapa malang nasibnya, bukan? Apakah yang akan Anda serukan pada Tuhan? Apakah Anda masih bisa mengatakan bahwa Tuhan itu baik? Apakah Anda masih merasakan pemeliharaan-Nya? Pasti keadaan yang demikian membuat seseorang sangat sulit melakukannya.
Namun, tahukah Anda bahwa bapak itu masih mampu mengatakan, “Tuhan itu Baik!” Wow, bagaimana mungkin? Ternyata, ia memulai dengan satu prinsip sederhana, yaitu menemukan kasih Allah setiap waktu. Ia terinspirasi lagu Kidung Jemaat 439, “Bila Topan K’ras Melanda Hidupmu” dan terkesan pada bagian refrainnya yang mengatakan, “berkat Tuhan mari hitunglah dan engkau akan kagum oleh kasih-Nya.”
Apa yang dilakukannya untuk menemukan kasih Allah? Ia menghitung berkat-Nya setiap saat, setiap waktu. Mulai dari menemukan Allah di pagi hari. Ia bersyukur atas napas hidup yang dimilikinya. Dengan napas baru itu, meski berat menjalani bertubi-tubi penderitaan, Allah memberinya kesempatan untuk terus berjuang. Ketika ia makan, ia memerhatikan setiap makanan yang terhidang di hadapannya, dan dengan penuh syukur menyantapnya karena Allah masih bersedia memberinya makan. Ketika orangtuanya sakit, begitu banyak sahabat memberikan perhatian dalam doa dan dukungan, bahkan bantuan finansial pun diterimanya. Ia merasakan Allah terus bekerja. Ketika anaknya meninggal, ia melihat bahwa Allah memberinya kesempatan untuk memiliki perasaan orangtua yang menemani anaknya hidup dan mengantarkannya ke pemakaman. Sakit dan pilu hatinya adalah alat Tuhan untuk kelak menguatkan orang lain.
Dari kisah tadi, kita bisa mengetahui bahwa sebagai saksi, kita harus memiliki kemampuan untuk jeli terhadap setiap karya kasih Tuhan yang kecil dan kadang-kadang seperti tak tampak, atau yang rutin. Kejelian ini adalah sebuah pilihan untuk melihat bahwa persoalan yang Allah berikan tak melebihi kekuatan kita dan Dia tak akan memberikan ular beracun pada setiap anak-Nya yang meminta roti atau susu. Saksi adalah orang yang mengalami langsung sebuah peristiwa. Menyaksikan kasih Allah bukan soal bagaimana kita bercerita tentang Allah dan melakukan penginjilan, melainkan bagaimana kita merasakan sendiri Allah bersama kita (Imanuel). Ketika kita ‘sudah’ merasakan kehadiran Nya yang menuntun hidup kita, upaya untuk menyaksikannya pada dunia akan berjalan dengan sendirinya, tanpa disuruh, tanpa paksaan atau kewajiban, melainkan sebuah kejadian otomatis yang meluap karena kegembiraan berjumpa dengan-Nya dalam kehidupan.
Kali ini tulisan saya tidak panjang lebar. Biarlah tulisan ini singkat, tetapi ziarah panjang kehidupan kita diisi oleh proses pencarian, penemuan, dan perjumpaan dengan Allah yang benar benar hidup di dalam diri kita semua. Cari, temukan, dan jumpai Allah, niscaya Anda akan kagum oleh kasih Nya dan otomatis menjadi saksi-Nya!•
|PDT. BONNIE ANDREAS
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.