Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, hati mereka sangat tertusuk. Mereka menyambutnya dengan kertak gigi. (Kisah Para Rasul 7:54)
Kebenaran itu bersifat faktual, karena bukan sekadar persepsi, pendapat, dan pemikiran seseorang. Namun hakikat kebenaran lebih daripada faktual. Kebenaran haruslah membebaskan (Yoh. 8:32). Ironisnya, manusia cenderung menolak kebenaran. Mereka ingin tetap terbelenggu oleh pemikirannya sendiri.
Para anggota Sanhedrin seharusnya mendedikasikan dirinya pada kebenaran. Namun pada kenyataannya, mereka lebih dikuasai oleh perasaan benci sehingga menyalibkan Yesus. Saat Stefanus menyampaikan teguran bagaimana mereka bertindak seperti nenek moyang Israel yang menganiaya para nabi, hati mereka tertusuk. Mereka geram dan marah. Lebih daripada itu mereka secara brutal menyeret Stefanus dan melemparinya dengan batu. Stefanus wafat sebagai seorang martir yang mempertahankan kebenaran. Saat kebenaran diterima dengan hati terbuka, ia akan membebaskan dan membarui.
Seringkali ketidakbenaran menyelinap di dalam diri kita, tetapi kita sering membiarkan dan merawatnya, sehingga menjadi “pembenaran”. Akibatnya, saat kita diperhadapkan dengan kebenaran, naluri “pembenaran” itu menjadi mekanisme pertahanan diri. Kita mencari berbagai alasan pembenaran diri agar bisa menyingkirkan kebenaran tersebut. Kita menolak kebenaran karena merasa aman dengan topeng kepalsuan. Kebenaran Kristus menyingkapkan semua kemunafikan agar kita mengalami pembebasan. [Pdt. Yohanes Bambang Mulyono]
DOA:
Terangilah hati kami ya Roh Kudus agar kami senantiasa rendah hati untuk mengenal kebenaran Kristus yang memerdekakan dari dosa. Amin.
Ayat Pendukung: 2 Taw. 24:17-24; Mzm. 148; Kis. 6:1-7; 7:51-60
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.