Saudara, mari kita ingat-ingat, sudah berapa kali atau berapa belas kali atau bahkan berapa puluh kali kita mengikuti Perayaan Paska? Tapi juga tolong ingat-ingat, berapa Perayaan Paska yang masih berkesan sampai hari ini buat kita?
Beberapa tahun yang lalu, saya merayakan paska sendirian. Sendirian, tanpa teman dan tanpa keluarga. Bukan karena saya mau menyendiri, tetapi karena saya sakit dan saya tidak dapat pulang ke rumah orang tua di Jakarta. Di tempat kost saya, semua penghuni sibuk mengikuti Perayaan Paska, termasuk teman-teman kuliah saya. Sehingga tinggallah saya sendirian di rumah.
Terpikir juga, bagaimana merayakan paska seorang diri? Dalam kesendirian itu, saya mencari Yesus. Bagaimana cara merayakan-Nya di tempat yang sederhana seperti ini? Tanpa tata ibadah, ornamen paska, apalagi pengkhotbah. Dengan cara apa Ia menyapa saya yang lemah dan tidak berdaya?
Merefleksikan hidup seperti waktu itu, jangan-jangan ada ribuan orang Kristen yang tidak mengalami sakit di pembaringan seperti saya, tetapi juga merasakan hal sama, yaitu kesendirian. Sekalipun ia datang di kebaktian paska subuh, atau ikut berteriak memuji Tuhan dalam perayaan paska, bahkan menjadi orang yang sangat sibuk mempersiapkan rangkaian acara paska di gerejanya, tetapi waktu semua sudah berakhir dan masing-masing pulang ke rumah, terasa sekali kesendirian dan sengsara batin. Dan dengan suara hati yang tersisa mereka berteriak, “Di mana Yesus?”
Sayang sekali dalam hal ini kita tidak bisa berkaca dan menemukan jawabannya pada detik-detik menjelang mati-Nya. Sebab pada waktu itu juga, Yesus merasa sendirian. Ia sendirian seperti kita. Bahkan lebih parah dari kita, Ia sendirian di dalam sengsara-Nya, sakit-Nya, juga mati-Nya. Tentu Ia tidak bisa mengaduh pada ibu-Nya, “Ibu, aku lelah dan kesal.” Ia juga tidak bisa berbagi dengan para murid dan mengatakan, “Jangan seperti orang yang menyiksa saya, mereka tidak bermoral dan jahat. Tolonglah Aku!” Tidak! Dia tidak dapat berdiskusi dengan siapa pun dan tidak bisa mencari, bahkan menemukan satu orang pun untuk menghibur dan menolong-Nya. Jangankan dengan ibu-Nya atau para murid, dengan Bapa di Surga pun Ia merasa ditinggalkan.
Kalau begitu, bagaimana kita menjawab teriakan kesendirian kita? Bagaimana ribuan orang yang merasa tersiksa dalam batin dan keputusasaan dapat bangkit bebenah diri serta mengisi hati?
Ada 2 tokoh yang setidaknya dapat membantu kita menemukan jawabannya. Tokoh yang pertama adalah tokoh yang tidak tercatat dalam banyak kisah tentang kematian Yesus. Yaitu tokoh para murid. Kemana mereka? Mereka tidak mencoba untuk menindaklanjuti mayat Yesus. Tidak ada catatan berita dalam Injil bahwa mereka mempedulikan Yesus yang tidak bernafas itu. Mereka semua hilang, tercerai berai. Sampai suatu saat mereka berkumpul bersama kembali. Bukan di kubur Yesus, tetapi di tempat yang sangat pribadi dan rahasia. Mereka sedih, mereka mungkin bingung, tetapi yang pasti mereka kuatir dan takut kalau-kalau mereka harus mengalami hal yang sama tragisnya dengan Yesus.
Mereka tidak mencari, tetapi juga tidak menemukan jawaban atas kegetiran hati yang terasa berhari-hari. Bahkan mereka terlarut dalam duka mereka sehingga hidup mereka hanya terfokus pada diri dan suasana hati. Apakah tokoh seperti itu dapat menjadi contoh buat kita?
Tokoh kedua adalah para perempuan yang mengunjungi makam Yesus lebih dari satu kali. Belum 3 hari Yesus terbaring kaku dalam gunung batu itu, tetapi para perempuan telah datang melihat saat-saat Yesus dimasukkan dalam kubur, belum puas mereka mengenang Yesus, mereka menyempatkan diri duduk di depan makam, bahkan setelah mereka pulang mereka mempersiapkan diri lagi untuk datang kembali ke makam membawa rempah-rempah dan wewangian.
Kita tentu dapat mengacungkan jempol untuk kegigihan para perempuan yang menunjukkan cintanya pada mayat Yesus. Inisiatif mereka, perhatian mereka, kesetiaan mereka, bahkan uang mereka dicurahkan untuk Yesus yang telah mati itu. Mungkin kalau mereka diwawancara dengan pertanyaan “Menurutmu, siapakah Yesus itu?”, mereka akan menyaksikan Yesus demikian,
“Dulu, Yesus adalah orang yang luar biasa”
“Dulu, Yesus adalah guru yang bijaksana”
“Dulu, Yesus adalah penyembuh yang penuh kuasa”
“Dulu, Yesus adalah sahabat yang penuh cinta kasih”
“Dulu, Yesus adalah seorang yang gigih dalam bersaksi, melayani dan mengayomi”
Dan masih banyak lagi segudang kenangan tentang Yesus yang sudah lalu.
Tentu dibandingkan tokoh yang pertama kita akan memilih tokoh kedua. Dibanding para murid yang pasif, lebih baik menjadi para perempuan yang sibuk dan aktif. Dibandingkan para murid yang berduka dan menyendiri, lebih baik menjadi para perempuan yang mencari Yesus di antara orang mati.
Namun apa kata nats bacaan kita? Keduanya bukanlah tokoh yang ideal. Melainkan keduanya adalah tokoh yang sangat manusiawi. Hanya saja mereka memilih cara yang berbeda untuk mengenang matinya Yesus. Padahal, kekuatan makna paska justru bukanlah pada hal itu. Bukanlah pada sikap yang aktif atau pasif dalam menghadapi masalah atau kesendirian, bukanlah suasana hati yang sedih atau yang mencoba bangkit kembali. Melainkan pada cara kita memandang Yesus.
Para murid maupun para perempuan memandang Yesus yang telah lalu. Tetapi hari ini kita diajak untuk melihat Yesus yang tidak pernah berhenti bekerja, berkarya dan menyatakan kuasanya, dahulu, sekarang maupun yang akan datang. Jangan sampai kita berkata para orang lain,
“Dulu saya diberkati, sekarang tidak lagi.”
“Dulu saya sempat mengalami kuasa Tuhan, sekarang belum lagi”
“Dulu Tuhan mengubah saya, sekarang tidak terasa kuasa-Nya”
“Dulu Dia hidup dalam hati saya, sekarang saya seperti mau mati rasanya”
Saudara, mengapa kita mencari Yesus yang dulu? Marilah kita temukan Dia yang ada sekarang. Dia yang mengetuk pintu hati kita, Dia yang telah memenangkan hidup kita dari maut, Dia yang telah membayar dengan harga yang mahal sehingga kita bisa selalu berharap dan melihat kuasa-Nya. Saudara, Ia telah bangkit. Ayo bangkitkan pikiran kita, hati kita, semangat kita, tekad kita untuk memberitakan kebangkitan-Nya, kuasa-Nya, kasih-Nya atas hidup kita dulu, kini, dan nanti. Selamat Menghayati makna Paska yang sesungguhnya!
Riani Josaphine
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.